DULU orang tua kita bilang, “Cari papan itu lebih susah dari cari pasangan,” sekarang perumpamaannya kudu diperbarui “Yang penting bukan cuma papan, tapi baja di balik papan”. Itulah sebabnya Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, blusukan ke jantung baja nasional, Krakatau Steel (KS) di Cilegon, Banten. Bukan untuk pesen keris atau beli panci, tapi untuk mengintip masa depan rumah rakyat yang bisa jadi, sebentar lagi, dibangun lebih cepat dari mie instan dan lebih kuat dari cinta sepihak.
Bayangkan begini rumah-rumah rakyat, bukan lagi dibangun dengan peluh kuli yang lima kali istirahat dan dua kali kabur, tapi dicetak, dipotong laser, lalu disusun seperti main Lego raksasa.
Fahri bilang, Krakatau Steel bukan cuma pabrik, tapi fondasi dari mimpi besar, kalau rumah sakit punya IGD, rumah rakyat punya KSD Krakatau Steel Darurat!. “Tiap tahun, 2 juta rumah bisa direhab dengan Rp43,6 triliun. Kalau tiap rumah dikasih Rp17,5 juta untuk bahan bangunan, masa KS cuma nonton?” ujar beliau, mungkin sambil menahan napas karena bajanya terlalu kuat.
Ada tiga jurus pamungkas yang sedang disiapkan pemerintah, mirip jurus silat versi pembangunan. Pertama Renovasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Yang rumahnya udah mirip gudang ayam, bisa disulap jadi Istana mini dengan kerangka baja ringan, dinding tahan gempa, dan sanitasi yang tak bikin nyamuk pesta pora. Kedua Pengembangan kawasan berbasis lokalitas.
“Rumah pesisir tuh ya rumah panggung, bukan rumah beton yang kelelep tiap pasang,” tegas Fahri, mungkin sambil membayangkan rumah Bugis di tepi laut pakai teknologi laser cutting.
Ketiga, hunian vertikal di kota. Ini bukan tentang apartemen mewah berfasilitas kolam renang dan gym, tapi rumah susun rakyat yang murah, sehat, dan nggak nyolong angin tetangga.
“Kalau KS bisa bikin teknologi water treatment yang murah dan bagus, sanitasi nasional bisa selamat. Jangan cuma bangun baja, bangun juga peradaban,” kata Fahri, yang kalimatnya layak dicetak di spanduk RW. Ini bukan utopia, tapi realita yang bisa dicapai kalau semua pihak kolaborasi dan nggak rebutan stempel proyek.
Yang menarik, bukan cuma Kementerian PKP yang semangat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga sudah siap dengan Rp22 triliun untuk 1.000 kawasan pesisir. Di sinilah peluang KS makin kinclong. Rumah apung, rumah panggung, hingga tanggul tahan badai bisa jadi ‘produk unggulan’.
KS bahkan diminta bikin showroom rumah rakyat berbasis baja dan sanitasi sehat. Biar nggak cuma showroom mobil yang dikunjungi pejabat, tapi juga rumah masa depan rakyat jelata. Bisa dicoba “Open House Rumah Baja- Gratis Bakso dan Brosur”
Direktur KS, Pak Hernowo, ternyata bukan hanya jualan semangat. “Kita udah coba di Morangke rumah apung, di IKN kita bikin hunian empat lantai,” katanya.
Bahkan KS sedang kembangkan rumah cetak sehari jadi, bayangkan, pagi tanah kosong, sore ada rumah. Mirip sulap tapi pakai mesin dan teknologi, bukan jin dari botol. Meski masih mahal, mereka yakin harga bisa turun seiring skala besar. Kayak beli gorengan satuan mahal, grosiran lebih murah asal jangan dikasih plastik panas.
Ada pepatah lama, “Di mana ada baja, di situ ada harapan”. Eh…., nggak ada sih pepatah begitu, tapi rasanya pas. Karena KS bukan hanya menjual logam, tapi menjual kemungkinan bahwa rakyat bisa punya rumah cepat, kuat, dan terjangkau. Pembangunan itu bukan soal semen, tapi soal sistem, bahwa kalau kita mau sedikit imajinatif, rumah panggung bisa bertemu teknologi, dan rumah rakyat tak lagi hanya impian.
Oleh karena itu, daripada terus menyewa kontrakan yang bocor kalau gerimis dan panas kalau siang, mungkin sudah waktunya kita berpikir swasembada papan bukan mustahil. Bukan rumah dari langit, tapi rumah dari logika dan baja.
Kalau industri baja kuat, rakyat pun tak perlu menunggu puluhan tahun untuk punya atap sendiri. Jangan cuma swasembada beras, tapi juga swasembada tempat rebahan, karena tidur nyenyak itu hak segala bangsa, asal jangan diemperan.[***]