Properti

Inflasi Versi Perumahan, dari Angka jadi Atap, dari Statistik jadi Asa

ist

BIASANYA kita cuma dengar “inflasi cabai naik, inflasi beras bikin kening berkerut, inflasi bawang bikin pedagang sayur jadi influencer dadakan,” sekarang ada gebrakan baru inflasi versi perumahan.

Ide ini muncul dari Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait yang kepingin capaian pembangunan rumah diumumkan rutin, mirip cara Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi setiap bulan. Misalnya, kalau inflasi diumumkan di layar TV, harga cabai sekilo bisa bikin rakyat menjerit, maka nanti capaian rumah juga bisa bikin rakyat ikut sorak-sorai “Alhamdulillah, bulan ini seratus ribu rumah baru berdiri!”.

Bukankah itu lebih segar ketimbang berita tiap pagi yang isinya cuma kurs dolar, harga minyak, dan gosip selebritas putus-nyambung?

Kalau inflasi diukur dari perut berapa harga cabai, telur, dan beras di pasar, maka inflasi perumahan ini diukur dari kepala, alias atap rumah. Pepatah lama bilang, “sandangan, pangan, papan adalah kebutuhan pokok.” Dua sudah ada yang dihitung inflasinya pangan lewat harga makanan, sandangan lewat indeks harga pakaian, tinggal papan yang sering kelewat.

Menteri Maruarar seakan ingin berkata “Masa’ harga cabai diumumin tiap bulan, tapi jumlah rumah rakyat nggak pernah diumumin? Kan aneh, bro”.

Ibarat pesta hajatan, lauk-pauknya diumumin terus, berapa banyak ayam goreng, berapa kilo sate kambing, tapi kursinya nggak pernah dihitung. Lha wong orang mau makan juga butuh tempat duduk, bukan berdiri di tengah jalan. Sama halnya, rakyat mau hidup sejahtera ya butuh rumah, bukan sekadar tahu harga cabai.

Selama ini, urusan perumahan sering jadi cerita abu-abu, target rumah sekian juta, yang jadi berapa? Kadang klaim sepihak bikin publik bingung, mirip teman yang sering bilang diet sukses padahal celananya makin ketat.

Nah, dengan BPS turun tangan, data jadi punya “independen auditor”, seandainya 20 ribu pegawai BPS tersebar di seluruh Indonesia, jadi mata dan telinga yang bisa menghitung rumah betulan, bukan rumah-rumahan di brosur. Kalau dulu kontrolnya cuma dari laporan balai perumahan, sekarang ada statistik yang bisa bikin publik bilang “Oke, angkanya jelas, nggak sekadar klaim”.

Transparansi ini penting, dalam politik, kata orang bijak, “angka tak pernah bohong, kecuali dimanipulasi.” Dan di sinilah publik bisa menaruh harapan, data rumah rakyat diumumkan terbuka, sehingga pemerintah tidak hanya sibuk menggambar denah di atas kertas, tapi benar-benar menyiapkan atap untuk rakyat kecil.

Kalau inflasi cabai saja bisa jadi obrolan di warung kopi, mengapa capaian rumah tidak? Coba setiap bulan BPS mengumumkan, “Jumlah rumah layak huni bertambah 150 ribu unit.” Bisa-bisa tetangga kita langsung komentar, “Wah, berarti tahun depan giliran komplek kita dapat rumah subsidi, ya?”.

Anak muda juga bisa lebih optimis, kalau selama ini mereka sibuk menghitung cicilan KPR, seperti menghitung hutang warung Indomie, kini ada patokan resmi rumah benar-benar bertambah, bukan sekadar janji kampanye.

Bagi investor, data ini bisa jadi patokan bikin keputusan, kalau rumah bertambah sekian juta, berarti semen, cat, sampai genteng juga ikut laku, ekonomi bergerak, rakyat senang, negara pun dapat berkah.

Ada pepatah “Rumah adalah sekolah pertama, meja makan adalah kelasnya, orang tua adalah gurunya”. Bagaimana mau jadi sekolah pertama kalau bangunannya saja tidak ada?. Anak-anak butuh ruang belajar, bukan hanya dinding tripleks bolong yang kalau hujan jadi akuarium dadakan.

Inflasi versi perumahan ini lebih dari sekadar angka, ia adalah ukuran martabat bangsa. Negara yang mampu menyediakan rumah layak untuk rakyatnya berarti serius menyiapkan generasi yang sehat, berpendidikan, dan berdaya saing.

Lucu juga sebenarnya, selama ini kita ribut soal harga cabe rawit yang bikin air mata, tapi lupa bahwa ada jutaan keluarga yang menangis bukan karena pedasnya cabe, melainkan pedihnya hidup tanpa rumah layak.

Dengan adanya “inflasi versi perumahan,” publik bisa ikut mengawasi, pemerintah bisa lebih transparan, dan rakyat punya alasan untuk percaya bahwa janji rumah bukan sekadar slogan kampanye.

Jadi, kalau nanti Anda dengar berita “Inflasi naik 0,2 persen, jumlah rumah baru naik 50 ribu unit”, jangan heran, itu tanda negara mulai belajar bahwa kesejahteraan bukan hanya soal perut kenyang, tapi juga kepala tenang di bawah atap sendiri.

Akhir kata, pepatah modern boleh kita tambahkan “Rumah bukan sekadar tembok dan genteng, tapi juga statistik yang bikin rakyat tenang”. Semoga pemerintah konsisten, BPS terus jaga integritas data, dan rakyat makin dekat dengan mimpi sederhana punya rumah sendiri.[***]

Terpopuler

To Top