Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Sepakbola Tidak Bisa Lepas Dari Politik?

ist

SEPAKBOLA  tak hanya sekedar olahraga terpopuler di dunia melainkan juga bertransformasi menjadi sebuah industri yang sangat menggiurkan, dengan memiliki penggemar yang tersebar di seluruh penjuru dunia sepakbola juga menjadi Primadona bagi banyak kepentingan salah satunya adalah politik.

 

Dimana politik bersama dengan bisnis dan kekuatan uangnya yang luar biasa adalah penyebab sepakbola bisa menjadi seperti sekarang ini, meski di identik dengan hal yang kotor tetapi politik memang tidak akan pernah bisa dipisahkan dari sepakbola sebagai olahraga nomor satu di dunia.

 

Sepakbola kerap dipakai dan dimanfaatkan oleh banyak pihak sebagai corong media untuk berbagai kepentingan, bahkan tidak sedikit pula tim dan para suporternya yang melibatkan diri kedalam suatu pandangan politik tertentu. Pemandangan tersebut bukanlah hal yang baru dan sejarah sendiri sudah membuktikannya di masa lalu, dimana ada campur tangan Benito Mussolini di sepakbola Italia di bawah rezim fasis yang ia Pimpin, Italia berhasil menjuarai Piala Dunia 2 kali bruntun pada edisi 1934 dan 1938 beli Azzurri juga menjadi Kampiun Olimpiade 1936.

 

Namun kesuksesan itu juga dibarengi dengan kontroversi Italia menjadi tuan rumah Piala Dunia 1934 setelah sebelumnya I’ll do she berhasil melobi para petinggi FIFA, ada kabar pula yang menyebut bahwa Mussolini telah menyuap terlebih dahulu wasit yang memimpin laga final. Selain itu I’ll do she juga dikabarkan mengirim khusus bersenjata ke ruang ganti pemain untuk menyampaikan pesan yang berbunyi “juara atau mati”.

 

Ego politik Mussolini memang berhasil mengubah wajah timnas Italia sekaligus menyebar doktrin fasisme. namun meski begitu Ia tetap dibenci rakyat Italia yang jijik melihat para penggawa Glee Azzurri yang dipaksa melakukan salam fasis sebelum berlaga terlepas dari itu.

 

I’ll do she adalah tokoh dibalik terbentuknya Serie A pada musim 1929 selain dipakai untuk berpolitik sepakbola juga jadi corong dari berbagai bentuk perjuangan dan perlawanan politik salah satu yang masih langgeng melakukan hal tersebut adalah para pendukung Livorno dan Rayo Vallecano yang diketahui berpaham politik sayap kiri sepakbola jadi sarana mereka untuk memperlihatkan biologi politiknya sekaligus menentang segala bentuk komersialisasi sepakbola yang sangat kapitalis.

 

Sementara itu Barcelona seperti sudah menjadi representasi dari semangat perlawanan bangsa catalan terhadap Spanyol tak sedikit dari pemain Barca yang juga mendukung kemerdekaan catalan. Tak jarang pula kita melihat para pendukung Barca membentangkan spanduk atau bendera bertuliskan “catalonia is not Spain Hai afiliasi“.

 

Politik di dalam sepakbola memang tak bisa dihindarkan. Lalu bagaimana FIFA menyikapi hal tersebut sebagai organisasi tertinggi di sepakbola FIFA punya kampanye yang bertajuk kick politik out of football.  Pasal 4 ayat 5 low of the games 2021-2022 yang dirilis immpb juga mengatur soal pelarangan berbagai atribut politik pandangan politik atau agama di dalam sepakbola aturan tersebut diimplementasikan dengan baik saat bersentuhan dengan konflik israel-palestina.

 

Klub-klub sepakbola Eropa banyak yang memilih menghindar dan bungkam terhadap apa yang terjadi dengan Palestina. Pasalnya FIFA dengan tegas melarang dan menghukum siapa saja yang bersuara atau memperlihatkan dukungannya kepada Palestina baik di media sosial maupun atribut yang dipakai di lapangan.

 

Seperti halnya sudah ada beberapa klub yang terkena sanksi salah satunya adalah Glasgow Celtic tak hanya sekali celtik pernah dua kali dijatuhi denda oleh UEFA setelah pendukung mereka kedapatan mengibarkan bendera Palestina saat berlaga di kompetisi eropa. Dewan FIFA juga menyatakan bahwa mereka harus tetap netral dalam menyikapi masalah politik. akan tetapi kebijakan kick politik out of football menjadi hipokrit alias munafik kalau melihat sikap FIFA dan UEFA terhadap apa yang terjadi dengan Ukraina standar ganda FIFA dan UEFA sangat kentara kalau mereka sangat ikut campur ke dalam konflik Rusia Ukraina sejak Rusia melakukan operasi militer ke Ukraina pada 24 Februari lalu.

 

Sepakbola Rusia dan para pemain Rusia ikut jadi korban dimulai dengan FIFA yang menendang Rusia dari kualifikasi piala dunia 2022 lalu diikuti wayang juga menendang tim nasional dan klub Rusia dari berbagai kompetisi internasional maupun regional ada motif politik dibalik keputusan FIFA dan UEFA untuk memboikot Rusia dari pentas sepakbola dunia. Rumornya sanksi itu diberikan setelah muncul banyak desakan dari para pemimpin barat tak bisa dipungkiri bahwa olahraga termasuk sepakbola adalah salah satu alat politik Vladimir Putin di Kancah internasional dan dengan sanksi tersebut Rusia dan Putin menjadi terisolasi.

 

Sikap FIFA UEFA dan masyarakat sepakbola Eropa tentang konflik Ukraina Rusia dan Palestina-Israel menjadi bukti bahwa jargon “Kick Politik Out Of Football” adalah sebuah gimik politik belaka. Dan justru  keputusan FIFA untuk menghukum Rusia dan membiarkan Israel jelas sangat bermuatan politis.

 

Singkatnya sebagai organisasi tertinggi sepakbola dunia tentu tak bisa dilepaskan dari politik dimana terdapat banyak kepentingan di sana yang mana FIFA adalah salah satu lembaga terkorup di dunia terbukti  pada 2015 lalu sembilan orang pejabat FIFA didakwa dalam kasus penyuapan pemerasan penipuan transfer hingga pencucian uang skandal FIFA tahun 2015.  Sampai berkembang hingga memunculkan dugaan suap terkait sponsor proses seleksi tuan rumah Piala Dunia 2010. Sampai pemilihan presiden FIFA tahun 2011. Korupsi hak siar Piala Dunia 2014 hingga pemilihan Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018.

 

FIFA dan antek-anteknya perlihatkan belakangan ini juga semakin menunjukkan fakta bahwa sepakbola sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari politik bahkan bisa dibilang FIFA punya agenda politiknya sendiri. Tak  lepas dari fakta bahwa banyak petinggi FIFA dan federasi sepakbola di seluruh dunia yang dipimpin oleh politisi tentu mencari kesempatan di dalam hal ini. Contohnya Federasi Olahraga Nasional kita saja rata-rata dipimpin oleh seorang politisi atau minimal seorang dengan pangkat Jenderal. Jadi memisahkan politik dari sepakbola sungguh omong kosong besar. Sebab sebagian pihak olahraga tidak melihat sepak bola sebagai hiburan semata justru sebagai industri lahan untuk berpolitik.[***]

 

 

 

 

Penulis : Muhammad Ikhsan Nurhadi

Mahasiswa Ilmu Politik

Fisip Uin Raden Fatah Palembang

 

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com