Sumselterkini.co.id,- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi momen krusial bagi pemangku kepentingan untuk merumuskan visi dan strategi komprehensif dalam memanfaatkan energi terbarukan. Tantangan seperti infrastruktur yang masih belum memadai, kurangnya investasi, dan perlunya pemberdayaan persepsi publik terkait manfaat energi terbarukan harus segera diatasi. Sebagai salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, Sumatera Selatan memiliki kesempatan untuk menjadi pionir dalam penggunaan energi bersih. Tentu saja, hal ini tidak hanya akan meningkatkan daya saing regional, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Sejalan dengan kebutuhan global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menghadapi perubahan iklim, Sumatera Selatan memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti energi air, surya, angin, dan biomassa. Provinsi ini menawarkan potensi besar untuk mengembangkan sektor energi terbarukan. Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan kebijakan yang tepat, komitmen yang kuat dari pemimpin daerah, dan dukungan dari masyarakat luas.
Hasil sementara Pilkada 2024 di Sumatera Selatan menempatkan Herman Deru sebagai pemenang kembali, berpasangan dengan Cik Ujang, mantan Bupati Lahat yang juga seorang pengusaha batu bara dengan koneksi kuat dalam industri energi ekstraktif. Keberhasilan mereka dalam Pilkada 2024 dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi perkembangan energi terbarukan di provinsi ini. Di satu sisi, latar belakang bisnis Cik Ujang di sektor batu bara dapat memperkuat arus investasi dan pengembangan infrastruktur energi yang ada.
Namun, di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa kepentingan industri batu bara dapat menghambat transisi menuju energi yang lebih bersih di Sumatera Selatan. Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh pengalaman Cik Ujang yang menekuni bidang pemerintahan saat menjabat sebagai Bupati Lahat, sekaligus berperan sebagai pengusaha batu bara di kabupaten yang sama melalui PT. Ayik Batu Gung. Posisinya sebagai oligarki lokal sekaligus pemimpin daerah menimbulkan keraguan dan pertanyaan mengenai apakah transisi ke energi terbarukan akan menjadi prioritas di Sumatera Selatan dalam lima tahun ke depan.
Menatap Wajah Transisi Energi di Sumatera Selatan
Agenda transisi dari energi fosil, seperti batu bara, ke energi terbarukan merupakan norma global yang telah disepakati dan diterima oleh Pemerintah Indonesia. Wacana transisi energi ini terus digaungkan oleh pemerintah dan menjadi fokus kajian akademisi dari berbagai sektor, termasuk kajian politik. Dalam mewujudkan agenda global ini, penerimaan di tingkat lokal tidak dapat diabaikan. Transisi energi bukan hanya soal keterlibatan pemerintah pusat; yang lebih penting adalah bagaimana aktor lokal terlibat secara serius untuk menyukseskan agenda tersebut. Agenda ini akan lebih mudah diterima jika sesuai dengan norma dan kepentingan di tingkat lokal.
Di Sumatera Selatan, agenda ini menjadi sangat penting, mengingat sebagian besar sumber daya energi di daerah ini berasal dari sektor batu bara. Batu bara tidak hanya memenuhi kebutuhan energi lokal, tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap kebutuhan energi nasional. Misalnya, Kabupaten Muara Enim sebagai penghasil batu bara terbesar di Sumatera Selatan mayoritas dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT. Bukit Asam. Selain itu, Kabupaten Lahat, yang merupakan penghasil batu bara terbesar kedua, sebelumnya dipimpin oleh Cik Ujang, mantan bupati yang kini terpilih sebagai wakil gubernur Sumatera Selatan berpasangan dengan Herman Deru, sang petahana.
Menyoroti visi dan misi pasangan Herman Deru dan Cik Ujang, terdapat nomenklatur menarik pada misi ketiga, poin I, yang berbunyi “Mendorong optimalisasi penggunaan energi terbarukan.” Namun, pertanyaannya adalah apakah ini sekadar formalitas atau sebuah komitmen yang nyata? Poin tersebut tidak secara jelas mengindikasikan bahwa pemerintah Sumatera Selatan akan menjadikan agenda transisi energi ini sebagai prioritas dalam program kerjanya ke depan. Keterbukaan dalam menilai komitmen tersebut sangat penting, terutama mengingat besarnya tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan di daerah ini.
Dalam konteks politik, latar belakang Cik Ujang di industri batu bara memunculkan kekhawatiran bahwa kepentingan elit yang terlibat dalam sektor ini akan mendominasi agenda transisi energi dan mengabaikan potensi pengembangan energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Dalam sistem oligarki, sekelompok kecil individu yang memiliki kekuasaan dan pengaruh secara signifikan dapat memengaruhi arah kebijakan (Winters, 2011). Di Sumatera Selatan, wakil gubernur yang terpilih juga merupakan bagian dari elit tersebut.
Mengacu pada penjelasan yang disampaikan oleh Jeffrey A. Winters (2011) dalam bukunya yang berjudul Oligarchy, segintir orang (elit) yang memiliki basis sumber daya material yang besar pada praktiknya hanya berfokus pada upaya mempertahankan pendapatan dan kepemilikannya atas properti. Dalam konteks transisi energi, hal ini tentu akan memengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan publik ke depan. Keberadaan aktor oligarki di dalam pemerintahan Sumatera Selatan akan memberikan keleluasaan untuk mendorong kebijakan yang secara praktik lebih menguntungkan elit daripada mewujudkan agenda transisi energi.
Sistem politik di Indonesia sering mengungkapkan istilah “kutukan periode kedua” (The Curse of the Second Period), yang merujuk pada fenomena di mana pemerintahan kepala daerah, khususnya dalam masa periode kedua, sering kali dijadikan ajang untuk mengembalikan modal politik yang besar yang dikeluarkan selama proses Pilkada. Dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar di Sumatera Selatan, tentu saja biaya politik yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Sistem politik Indonesia yang terbuka ini juga membuka peluang bagi praktik politik uang antara patron dan klien dalam proses pemilu.
Hal ini menciptakan peluang besar bagi oligarki, termasuk di tingkat lokal, untuk terlibat dalam proses politik. Mereka dapat bertarung secara langsung dalam arena politik, seperti pada Pilkada 2024 di Sumatera Selatan. Keputusan petahana untuk menggandeng wakilnya yang merupakan oligarki lokal tidak hanya didasarkan pada pengalaman di pemerintahan daerah sebagai bupati, tetapi juga dilandasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan modal anggaran Pilkada yang lebih besar. Tentu saja, langkah ini dapat berisiko bagi proses transisi menuju energi terbarukan di Sumatera Selatan, mengingat adanya basis kepentingan oligarki yang berbeda.
Masalah sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan batu bara sebenarnya sudah lama dirasakan oleh masyarakat Provinsi Sumatera Selatan, termasuk di daerah yang menjadi wilayah pertambangan batu bara serta daerah yang dipimpin oleh wakil gubernur terpilih saat menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Lahat. Khususnya, masyarakat yang berada di wilayah Merapi, Kabupaten Lahat, merasakan dampak lingkungan yang cukup parah, seperti polusi debu dan pencemaran air, yang dapat mengganggu aktivitas masyarakat serta memberikan dampak buruk bagi kesehatan.
Selain itu, masalah yang ditimbulkan oleh industri batu bara ini adalah banyaknya angkutan batu bara yang sering melintas di luar jam operasional dan di jalan yang tidak diperuntukkan, sehingga sering mengakibatkan kemacetan bahkan kecelakaan. Hal ini sering kali menyebabkan konflik dengan masyarakat sekitar. Tidak hanya di darat, angkutan batu bara di sungai juga berpotensi menyebabkan pencemaran. Terbaru, jalur angkutan batu bara di Sungai Lematang yang kembali dibuka, mengarah ke Sungai Musi, menunjukkan risiko pencemaran yang lebih besar.
Padahal, jika dilihat dari konsep transisi energi, besarnya sumber daya air yang ada di Sumatera Selatan, seperti Sungai Musi dan sembilan anak sungainya, termasuk Sungai Lematang, seharusnya sudah sejak lama dimanfaatkan untuk energi terbarukan. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, bukan hanya menjadi rencana saat ini, mengingat keduanya telah menjabat sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa agenda transisi energi di Sumatera Selatan kemungkinan besar tidak menjadi prioritas utama bagi pemerintah terpilih.[***]
Ibrayoga Rizki Perdana
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada