TRANSAKSI janggal sebesar Rp 349 triliun terus menuai kritik dan polemik. Tak hanya Kementerian Keuangan, para politisi di Senayan juga terkesan berang. Benarkah dana itu terkait dengan Pemilu? Polemik transaksi janggal bernilai ratusan triliun rupiah terus bergulir. Sejak dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, isu ini terus menuai kontroversi. Sejumlah lembaga jugamerasa terusik, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pasalnya, Mahfud sempat menyebut transaksi janggal tersebut melibatkan para pegawai di lingkungan kementerian yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku tak tahu menahu soal transaksi janggal bernilai ratusan triliun ini. Sri Mulyani mengakui, Kemenkeu sudah menerima surat dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait laporan tersebut. Namun, ia tak menemukan angka seperti yang disampaikan Mahfud. Mahfud dan Sri Mulyani bertemu untuk mendiskusikan masalah itu. Informasi soal transaksi mencurigakan ini semakin terang usai pertemuan. Mahfud mengklarifikasi, bahwa transaksi bernilai triliunan rupiah itu merupakan laporan terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), bukan laporan korupsi. Dan setelah melalui penyelidikan, transaksi mencurigakan ini bertambah nilainya dari yang semula hanya Rp 300 triliun menjadi Rp 349 triliun. Transaksi mencurigakan ini disebutkan banyak melibatkan dunia luar, bukan hanya di internal
Kemenkeu saja.Usai pertemuan antara Mahfud dan Sri Mulyani, polemik ini sempat mereda. Namun,isu ini kembali ramai dibicarakan kala Komisi III DPR memanggil PPATK untuk meminta penjelasan. Dalam rapat tersebut bahkan ada ancaman yang dilontarkan oleh salah satuanggota Dewan bagi pihak–pihak yang membocorkan transaksi mencurigakan. Di depanparlemen, PPATK menegaskan, bahwa transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun yang sedang ramai dibicarakan merupakan TPPU. Senada dengan Mahfud, PPATK juga menyatakan, transaksi janggal tersebut tidak semuanya terjadi di Kemenkeu. Namun, ada kasus lain yang berkaitan dengan ekspor-impor hingga perpajakan. Aksi saling tantang antara Mahfud dan sejumlah anggota Dewan pun tak terhindarkan. Rapat selanjutnya pada tanggal (29/03/2023), Rapat ini membuka banyak fakta barudari babak baru transaksi gelap Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan. Dengan gamblang, Mahfud MD mengatakan Sri Mulyani ketika berbicara di Komisi XI dua hari lalu menyampaikan keterangan data yang berbeda dari data yang dipegangnya. Misalnya, terkait data nominal transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain senilai Rp 35 triliun, hanya disampaikan Sri Mulyani sebesar Rp 3,3 triliun. Selain itu,terkait data temuan transaksi mencurigakan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar Rp 189 triliun, kata dia juga dikesampingkan saat pemaparan itu. Padahal, itu menjadi bagian penting dalam temuan transaksi mencurigakan yang totalnya senilai Rp 349 triliun.
Dia menegaskan bahwa temuan ini tidak pernah ditindaklanjuti sama sekali. Namun, sebagaimana yang disampaikan Sri Mulyani dua hari lalu bahwa temuan PPATK ini sudah semuaditindaklanjuti, menurut Mahfud menjadi bukti bahwa Sri Mulyani diberikan informasi yang keliru oleh bawahannya.Mahfud, dalam kesempatan ini, juga mencurigai ada pihak yang dengan sengaja menutupi akses Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terhadap data yang disampaikan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Maka dari itu, dalam beberapa kali pernyataan kepada publik ada ketidaksepahaman yang muncul. Dia mencontohkan, dalam sebuah pertemuan bersama Kemenkeu dan PPATK, Sri Mulyani ditanyakan soal uang Rp 189 triliun. Sri Mulyani mengaku tidak mengetahui adanya data tersebut, berdasarkan laporan pejabat eselon I Kemenkeu.
Dalam sidang dengan Komisi III, Mahfud menunjukkan bukti berita acara penyerahan informasi transaksi janggal yang diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu. Dia mengungkap nama-nama pihak yang menyerahkan dan menerima laporan transaksi janggal.
Nama-nama itu dari PPATK dan Kementerian Keuangan. Dari pihak yang terlibat serah terima itu dan termuat dalam berita acara adalah Kiagus Ahmad Badaruddin selaku Kepala PPATK periode 2016-2020. Lalu ada Dian Ediana Rae yang saat itu merupakan wakil ketua PPATK periode 2016-2020. Kemudian, ada Heru Pambudi, yang saat itu merupakan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Sumiyati selaku Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan sejak 2017 hingga 2021, serta ada dua nama lain yang masing-masing dari Itjen Kemenkeu dan
Ditjen Bea dan Cukai. Mahfud MD mengungkapkan alasannya baru mau membongkar dugaan kasus transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun. Mahfud bercerita, ini bermula dari pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo pada Februari 2023, setelah penyelenggaraan acara Satu Abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, Jawa Timur. Ketika terjadi kasus pemukulan anak dari eks pejabat eselon 3 di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, terungkap ke publik dan dikuliti harta kekayaannya yang sangat jumbo dan di luar profil, ia mengaku mulai tertarik mengusut lebih dalam.
Rapat Komisi III DPR memunculkan usulan pembentukan Pansus ini buntut polemik dugaan TPPU Rp 349 triliun di Kemenkeu. Usulan berasal dari Komisi III DPR Fraksi PAN Mulfachri Harahap. Dia berharap dengan adanya pansus masalah transaksi mencurigakan ini bisa terbuka jelas. Namun, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menolak pansus tersebut. Dia berpandangan kasus ini bisa diungkap oleh Komite TPPU yang diketuai oleh Mahfud MD dan wakilnya Airlangga Hartarto, serta sekretaris Kepala PPATK dan anggota komite Sri Mulyani. DPR seharusnya mendukung Prof Mahfud MD dalam penyelesaian kasus transaksi janggal ini, karena beliau sangat membantu dalam peran kerja di DPR, seperti di bidang pengawasan. Biasanya seseorang yang duduk dibangku kekuasaan, ketika masuk kedalam sistem, bukannya merubah sistem tetapi malah terseret kedalam sistem itu sendiri, tetapi Prof Mahfud MD berani dan memperlihatkan dia tidak terseret kedalam sistem tapi mencoba membangun branding image baru bahwa diposisi pemerintah sekalipun, meskipun sama-sama pemerintah suatu permasalahan itu harus dibuka secara bersama-sama dan transparan.
Terkait dari data itu apakah valid atau tidak, kita bisa melihat dari sumber datanya, sumber datanya ini dari PPATK, memang dia punya wewenang untuk mendeteksi transaksi mencurigakan, ketika dalam tugasnya tersebut menemukan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang maka tugas selanjutnya adalah menyampaikan temuan tersebut pada penyidik, yang salah satunya ada dikementrian keuangan, saya melihat kenapa kemudian pak mahfud begitu yakin terhadap data yang dia sampaikan karena memang data ini bukan data yang dia kumpulkan sendiri atau bukan data yang bersumber dari netizen, tapi ini adalah data yang disampaikan oleh PPATK. Dalam kesempatan lain PPATK juga menyampaikan bahwa betul temuan beliau sejak 2009-2023 ada transaksi mencurigakan sebesar 349T, terkait data yang disampaikan, saya yakin bahwa data itu adalah data yang valid, justru kalau kemudian menyampaikan data yang tidak valid ini menjadi bumerang tersendiri. Fokus kita adalah tindak lanjut mengenai data ini karena jumlah uang yang tidak sedikit.
Menurut saya ini salah satu momentum yang baik untuk internal kemenkeu melakukan pembersihan baik SDM maupun birokrasinya, dari sisi pengawasan internalnya. kemenkeu harus intropeksi dan menjadikan momen ini sebagai perbaikan. Jika semua proses tadi belum bisa mengangkat solusinya Pansus mungkin bisa menjadi salah satu pilihan, karena melibatkan lebih dari satu komisi dan dapat memperjelas mengenai situasi dan datayang dirasa belum jelas serta berharap melalui Pansus yang akan bekerja tersebut akan memberi masukan pola pengelolaan dan transparansi keuangan negara.[***]
Penulis: Rendra Syah Putra
Mahasiswa FISIP UIN Raden Fatah