ISTILAH kutu loncat memang tidak ditemukan dalam teori politik, tetapi kata tersebut muncul sebagai sebutan bagi pelaku politik yang suka pindah-pindah partai. Selanjutnya, perilaku politisi yang berpindah-pindah dari satu partai politik ke partai politik lainnya telah dianggap sebagai suatu hal yang biasa oleh sebagian politisi, meskipun dianggap aneh dan tidak pantas bagi pandangan publik.
Sejumlah argumentasi mereka kemukakan sebagai pembenaran atas tindakan dan keputusan yang diambil. Publik melihat secara jelas bahwa perilaku tersebut selalu dilatari oleh peristiwa politik yang terjadi, seperti pemilihan Ketua Partai, proses pencalonan calon pejabat politik (kepala daerah maupun anggota legislatif), dan peritiwa lain yang beririsan dengan politik.
Peristiwa-peristiwa tersebut umumnya melahirkan kelompok-kelompok yang tidak puas (barisan sakit hati), itulah yang kemudian menyebabkan loyalitas seorang politisi terhadap partainya menjadi luntur, kecintaan terhadap partai berubah menjadi kebencian, ikrar sumpah setia terhadap partai yang pernah diucapkan lenyap begitu saja dalam sanubarinya.
Kondisi tersebutlah yang mendorong seorang politisi untuk begitu mudah menerima pinangan dari partai politik lain atau bahkan menawarkan diri untuk masuk dalam barisan partai politik tertentu.
Lalu, apa motif partai politik begitu mudah menerima dan mengakomodir seorang figur yang berpindah dari partai tertentu, bahkan ditempatkan pada posisi strategis yang seharusnya ditempati oleh kader yang telah lama mengabdikan diri.
Meskipun tidak diungkap secara tegas, tapi sangat mudah terbaca oleh publik bahwa seorang figur yang memiliki kemampuan finansial yang besar akan lebih mudah memperoleh posisi penting dalam partai politik meskipun dirinya bukan kader.
Alasannya, jelas bahwa sistem politik dan demokrasi yang ada saat ini memerlukan biaya yang tidak sedikit (politik biaya tinggi). Kalau demikian, apakah niat (Innamal A’maalu Binniyat) atau motif seseorang berpolitik, memilih dan masuk dalam organisasi partai politik?. Faktor ideologikah?, hasrat berkuasakah?, ataukah untuk mencari atau mengumpulkan kekayaan?. Secara verbal, mereka pasti akan mengatakan bahwa motifnya adalah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi fakta yang kebanyakan publik saksikan adalah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Memilih bertahan pada partai tertentu atau memutuskan untuk beralih pada partai lain memang adalah hak politik yang dimiliki oleh setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi.
Tapi perilaku tersebut sangat tidak etis dan mempertontonkan politik elit yang tidak matang dan dewasa, serta memberi kesan publik bahwa politik tidak lebih dari petualangan mencari keuntungan (kekuasaan dan materi) bukan karena faktor ideologis yang melahirkan loyalitas terhadap partai yang dipilih sebagai basis perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. [***]
Oleh : Taufik Akhyar
Dosen Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang