Pertambangan & Energi

“Muba Minta Tambahan JarGas, Wong Deket Sumur Kok Mandinya Tetap Pakai Ember!”

ist

SAUDARA-saudara kita hidup di tengah ladang durian, tapi sarapannya tiap hari tetap nasi uduk pinjaman tetangga. Itulah nasib sebagian warga Musi Banyuasin (Muba) yang duduk manis di atas cadangan gas alam, tapi tungku dapurnya masih dicecap bau elpiji 3 kg yang makin sulit dipeluk karena antreannya lebih ramai dari konser BTS.

Wakil Bupati Muba, Kyai Rohman, dalam audiensi di Jakarta, tak lagi pakai pantun atau pidato berbunga. Beliau blak-blakan, minta tambahan sambungan jaringan gas (JarGas) rumah tangga sebanyak 40.523 sambungan untuk tahun 2026.

Sebelumnya, sudah ada 17.118 sambungan tersebar di Sekayu, Sungai Lilin, dan Bayung Lencir. Tahun 2025 nanti, Babat Supat dapat jatah 5.143 sambungan. Tapi tentu belum cukup. Wong Muba ini bukan sekadar ingin masak cepat, tapi ingin adil “Gas dari Muba, masa yang pakai malah bukan wong Muba?”

Coba kita pikir, selama ini daerah penghasil gas kadang cuma kebagian asapnya, seperti pepatah “Lumbungnya padi, lauknya cuma garam”.

Padahal Muba ini, kata Direktur Migas Laode Sulaeman, adalah penghasil gas alam yang potensial, jadi ya wajar kalau permintaan tambahan sambungan ini seperti minta kembali dompet sendiri yang sempat tertinggal di warung tetangga.

Kalau pakai analogi sayur lodeh, Muba ini sudah punya kelapa, sayuran, dan bumbu. Tapi kompornya masih pinjam dari rumah sebelah. Lha piye jal? Jadi, penambahan 40.523 sambungan itu bukan ngelunjak, tapi wajar. Wong rakyatnya ingin masak lebih efisien, sehat, dan hemat.

Menurut data dari Kementerian ESDM, sejak program jaringan gas rumah tangga dimulai tahun 2009, sudah lebih dari 800 ribu sambungan rumah terpasang di Indonesia. Tapi jumlah ini belum sebanding dengan total rumah tangga yang jumlahnya tembus 70 juta lebih,  dari jumlah itu, warga Muba yang sudah tersambung baru secuil. Kalau dibandingkan dengan martabak, baru kulitnya doang yang terasa, topping-nya belum.

Apalagi kita bicara soal efisiensi. Penggunaan gas jaringan ini bisa menghemat biaya rumah tangga hingga 30% dibanding elpiji, dan lebih ramah lingkungan. Jadi bukan cuma urusan dapur, tapi juga urusan masa depan bumi yang makin kepanasan gara-gara emisi.

Bayangkan kalau semua warga Muba sudah tersambung jaringan gas hidup bakal lebih rapi. Tak ada lagi tabung melon yang dijual diam-diam di gang belakang. Tak ada lagi gosip ibu-ibu rebutan antre elpiji saat subuh, seperti rebutan kunci kamar kos.

Wak Kyai Rohman menyampaikan harapannya penuh semangat, katanya, “Insya Allah, dibawah kepemimpinan Pak Bupati HM Toha dan saya, kami ingin mempercepat pelayanan terbaik untuk wong Muba. Wong gasnya dari sini, masa yang masak malah tetangga sebelah”

Laode dari Direktorat Migas pun langsung mengiyakan, beliau setuju, karena “yang punya gas, ya harus lebih dulu merasakan nikmatnya”. Betul juga sih, kalau mau adil, ya jangan seperti pesta kawinan yang makanannya dibagikan dulu ke RT sebelah sebelum tuan rumah sempat cicip.

Keadilan itu bukan cuma soal hukum dan pasal, tapi juga soal dapur yang menyala, nasi yang tanak, dan anak-anak yang bisa makan tanpa asap mengepul ke mana-mana.

Wong Muba itu bukan pengemis gas, tapi tuan rumah energi, maka layaklah mereka hidup di rumah yang menyala tanpa harus berutang elpiji ke tetangga sebelah.

Kalau negeri ini ingin disebut berdaulat energi, maka mulailah dari yang kecil dari sambungan gas rumah tangga untuk rakyat kecil, dan jangan lupa, kalau kita punya gas, punya ladang, dan punya rakyat, tapi masih antre elpiji, maka negara harus segera bangun, tak lucu kalau si empunya gas malah sibuk beli korek.

Muba sudah bersuara. Tinggal PGN dan kementerian yang harus mendengar dan bekerja, karena di Muba, suara perut rakyat lebih jujur dari janji kampanye.

“Jangan sampai wong Muba cuma jadi penjaga Sumur, tapi tetap masak pakai kayu bakar, sakitnya tuh di perut, bukan di hati!”.[***]

Terpopuler

To Top