KALAU bicara soal telur, pikiran kita biasanya melayang ke ayam goreng di warung pecel lele, telur ceplok setengah matang yang jadi rebutan di warung soto, atau telur asin yang biasanya nongol di rak-rak toko oleh-oleh. Tapi di lautan Nusantara, ada telur yang nilainya jauh lebih ribet ketimbang emas putih telur penyu.
Baru-baru ini, negeri ini kembali disuguhi drama telur penyu yang nyaris jadi dagangan gelap. Di Sambas, Kalimantan Barat, ada 5.400 butir telur penyu diselundupkan lewat jalur pelabuhan. Jumlahnya bukan main, kalau diibaratin, itu sudah bisa bikin seisi kabupaten sarapan omelet tiga kali sehari.
Sementara di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, ada 671 butir telur penyu diamankan, plus empat ekor penyu yang sempat jadi “tamu istimewa” di sebuah resort.
Sekilas angka-angka itu cuma statistik, namun jika dipikir dalam-dalam, itu sama saja kita lagi ngerampas masa depan generasi penyu. Karena kalau 5.400 telur itu menetas, maka ada ribuan bayi penyu yang bisa jadi pahlawan laut di masa depan. Tapi apa daya, di tangan yang salah, telur-telur itu dianggap lebih mirip “obat kuat” ketimbang anugerah alam.
Hahay..antara obat perkasa & kuliner eksotis, katanya….pertanyaan paling bikin geregetan, kenapa sih telur penyu masih laku?. Jawabannya nggak melulu soal duit, ada faktor psikologis, budaya, sampai mitos yang menempel di kepala sebagian orang.
Ada yang percaya telur penyu bikin badan makin perkasa, semacam “red bull alami” versi laut. Ada pula yang nganggepnya makanan eksotis, sekali makan bisa bikin status sosial naik satu level.
Padahal, kalau mau jujur, keperkasaan itu bukan ditentukan dari apa yang kita telan, tapi apa yang kita kerjakan. Laki-laki kuat itu bukan yang habis makan telur penyu bisa lari lima kilo tanpa ngos-ngosan, tapi yang berani bilang “aku nyuci piring hari ini biar istriku istirahat”. Nah, itu baru namanya jantan.
Di sisi lain, pemerintah lewat KKP, Polairud, dan LKKPN udah jungkir balik, operasi gabungan, patroli, sampai edukasi ke pengelola resort. Rasanya kayak bapak guru yang udah capek-capek ngajarin muridnya jangan nyontek, eh… tetap saja ada yang main kertas kecil di bawah meja.
Masalahnya, penegakan hukum memang penting, tapi nggak cukup. Kalau pasar masih doyan, selalu ada yang nekat jualan. Istilahnya, selama ada pembeli, penjual akan muncul. Ini sama kayak sate taichan, dulu siapa sangka orang bakal beli sate tanpa bumbu kacang dengan harga dua kali lipat? Eh ternyata laku.
Kata pepatah bijak, “jangan taruh semua telur di satu keranjang.” Nah, kasus ini seolah ngasih pesan kalau semua telur penyu terus-terusan ditaruh di keranjang perdagangan ilegal, tamatlah riwayat ekosistem laut kita.
Penyu itu bukan sekadar hewan lucu buat difoto turis. Ia adalah “petugas kebersihan laut,” pemakan ubur-ubur, penjaga keseimbangan ekosistem. Hilang penyu, ubur-ubur bisa merajalela, lalu nelayan menjerit karena ikan-ikan kecil berkurang.
Penyu itu ibarat kakek tua di kampung yang diam-diam ngurusin musholla setiap hari, kalau dia hilang, baru terasa karpet kotor, lampu nggak pernah nyala, adzan jadi sepi.
Sambas menunjukkan betapa bisnis telur penyu masih berskala masif, ribuan butir, jaringan rapi, ada oknum aparat pula yang terlibat. Sedangkan Anambas lebih unik, selain telur, ada resort yang memelihara penyu buat tontonan turis, dua-duanya bikin kepala geleng-geleng.
Bedanya, Anambas justru berpeluang menjadikan penyu sebagai daya tarik wisata, cuba bayangkan kalau pelepasan tukik jadi acara rutin turis, bisa jadi “sunrise show” setiap bulan. Orang luar negeri rela bayar mahal demi nonton bayi penyu merangkak ke laut. Itu jauh lebih menguntungkan ketimbang jual telur diam-diam dengan risiko ditangkap polisi.
Kalau boleh memilih, lebih baik Anambas dan Sambas dikenal sebagai “kampung penyu” ketimbang “pasar telur gelap”, karena sekali penyu hilang, butuh puluhan tahun buat ngebalikinnya.
Penyu betina balik ke pantai tempat dia menetas buat bertelur lagi setelah belasan tahun. Jadi kalau sekarang kita rampas telurnya, sama aja kita nodong masa depan cucu-cucu kita.
Buat apa sih kita bangga punya laut luas, kalau isinya tinggal kapal, sampah plastik, dan cerita sedih tentang satwa yang punah?
Belajarlah dari telur penyu, kecil, rapuh, tapi menyimpan masa depan lautan, kalau manusia bisa menahan diri buat nggak serakah, penyu masih punya harapan. Kalau enggak, ya siap-siaplah, kita akan dikenang anak cucu bukan sebagai bangsa bahari, tapi sebagai bangsa yang tega makan habis warisan lautnya sendiri.
Oleh sebab itu, perlu edukasi jalan terus, pemerintah harus kreatif bikin kampanye, bukan cuma pasang baliho, tapi bikin konten yang nyambung ke anak muda, film pendek, lagu, atau challenge media sosial. Kalau bisa bikin viral joget, kenapa nggak bisa bikin viral pelepasan tukik?
Jadikanlah wisata penyu, bukan dagangan peny. Sambas dan Anambas bisa jadi contoh, libatkan masyarakat, jadikan pelepasan tukik sebagai daya tarik ekonomi.
Bikin penegakan hukum tegas, biar kapok, jangan ada lagi celah, apalagi keterlibatan oknum aparat. Kalau aparat ikut main, rakyat kecil tambah apatis. Ubah persepsi, karena telur penyu bukan obat kuat, bukan makanan eksotis. Obat kuat sejati itu olahraga, istirahat cukup, dan hati yang tenang.
Penyu sudah bertelur di pantai Nusantara jauh sebelum republik ini ada. Tugas kita sederhana jangan sampai generasi selanjutnya hanya bisa lihat penyu di buku pelajaran.[***]