Kisah dagelan lintas lautan dan upaya menyelamatkan penyu dari nasib jadi sarapan Serikin
“Jangan mentang-mentang telur bentuknya bulat, lalu bisa keluyuran lintas negara kayak turis bawa koper!” ujar Bang Salim sambil menggoyang sendok kopi di warung pelabuhan.
WAJAHNYA serius, tapi bibirnya tak tahan untuk meringis, karena yang ia bicarakan bukan telur biasa, tapi telur penyu. Telur-telur eksotis yang lebih layak jadi bayi-bayi bersirip ketimbang menu sarapan di pasar gelap Serawak.
Ceritanya dimulai dari Pelabuhan Sintete, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Sabtu pagi (6/7), seorang petugas menemukan hal janggal sebuah peti kemas yang aromanya bukan aroma ekspor ikan asin atau kopi, melainkan amis-amis masa depan penyu yang kandas. Dalam peti itu, terselip 96.050 butir telur penyu jumlah yang jika dijadikan telur dadar bisa menyambung nyawa satu RT selama seminggu.
Dari hasil investigasi, ternyata pemilik operasi ini bukan sembarang orang. Salah satunya oknum TNI AD berinisial SD, dan satunya lagi ibu-ibu tangguh bernama MU, warga sipil yang tampaknya punya ‘startup telur’ lintas pulau.
“Dia udah nyelundup dari Tambelan ke Batam, terus muter ke Sintete. Tahun 2024 dia udah kayak ekspeditor telur profesional” jelas Ipunk, Direktur Jenderal PSDKP, dengan nada sinis tapi penuh semangat di konferensi pers.
“Kalau dihitung harga pasar di Serawak, itu senilai Rp1,1 miliar. Tapi kalau dihitung dari nilai ekologis dan potensi ekowisata, kerugiannya bisa sampai Rp9,6 miliar! Itu sudah termasuk potensi gagal selfie wisatawan karena penyu punah.”
“Telur penyu ini nggak punya paspor, tapi perjalanan mereka lebih panjang dari anak rantau,” cibir Ipunk. Dari Tambelan, Kepulauan Riau, telur-telur dikirim menggunakan kapal, mampir di Batam, lalu ‘transit’ di Sambas, sebelum akhirnya dipasarkan ke luar negeri, khususnya ke Pasar Serikin, Sarawak, Malaysia.
Tapi nasib memang suka ngasih bonus plot twist. Otoritas Malaysia lebih cepat geraknya. Di Jumat (11/07), empat WNI termasuk IEP (yang ternyata langganan beli dari MU) diciduk ketika menjajakan telur-telur itu di pasar tradisional Sarikin.
Bahkan otoritas Malaysia sempat geleng-geleng, “Kenapa telur yang mestinya menetas jadi penyu malah dijual kayak kacang rebus?” katanya mungkin dalam hati, karena kalau diucapkan dalam bahasa Melayu resmi, pasti terdengar lebih sopan.
“Lu bayangin, Lim. Dari Tambelan ke Serikin itu berapa ribu kilometer? Ini bukan telur ayam yang nyelundup lewat selokan!”
“Iya, bro. Ini udah kayak ‘Traveloka versi telur’. Harusnya kita booking aja si telur buat pulang kampung, minimal dia bisa menetas di kampung halaman,” timpal Bang Ucup sambil menyeruput kopi susu dan ngetawain realita.
“Tapi serius, Cup. Gua liat berita, itu bisa kena hukuman 8 tahun dan denda Rp1,5 miliar, loh!”
“Ya pantas. Biar kapok. Penyu bukan objek wisata perut, tapi makhluk hidup yang harus dijaga. Kalau terus-terusan diburu, nanti anak cucu kita tahunya penyu itu cuma dari stiker stasiun pengisian BBM!”
“Sekali layar terkembang, telur penyu jangan dijual ke seberang”
Begitulah kira-kira pepatah baru yang lahir dari kasus ini. Penyu bukan hanya hewan eksotik, tapi juga simbol ketekunan.
Bayangkan, mereka berenang ribuan mil hanya untuk bertelur di pantai yang sama tempat mereka lahir. Tapi manusia dengan mudah mencuri masa depan itu hanya untuk keuntungan sesaat.
Penyu bukan pecel lele. Telurnya bukan camilan. Dia bagian dari rantai kehidupan laut. Kalau punah, bukan cuma laut yang kehilangan keseimbangan, tapi pariwisata juga ikut tekor. Di era digital, netizen mungkin lebih tertarik selfie bareng penyu daripada bareng pak RT.
Kejahatan lintas negara ini bukan sekadar soal uang. Ini soal tanggung jawab, ekologi, dan akal sehat. KKP, PSDKP, TNI, dan Polis Diraja Malaysia sudah memberi sinyal kuat jangan coba-coba main-main sama penyu. Mereka bukan hanya makhluk Tuhan, tapi juga investasi masa depan.
Sebagai warga waras yang masih bisa bedakan antara telur dan telur-teluran, kita wajib jadi bagian dari solusi. Edukasi, pengawasan, dan bahkan banyolan pun bisa jadi senjata melawan kejahatan ini.
Penutup “Kalau ingin rejeki bulat, bukan telur penyu yang harus dicari, tapi akhlak yang tidak kempes”
Ingat, bro, hidup itu seperti penyu pelan tapi pasti. tapi kalau digoreng pakai minyak dosa, ujung-ujungnya pahit juga.
Kalau kamu ketemu orang jualan telur penyu di pasar, jangan cuma foto buat konten TikTok. Laporkan!, karena cinta laut bukan hanya soal liburan, tapi juga tentang pilihan.
“Jangan sampai cucu kita nanti nanya ‘Kakek, penyu itu binatang apa sih?’ lalu kita cuma bisa jawab ‘dulu, cucu… dulu dia ada. Sekarang tinggal kenangan, Ddan gorengan.”[***]
Catatan Redaksi: Tulisan ini diangkat dari rilis resmi KKP tentang kasus penyelundupan telur penyu. Beberapa tokoh dan dialog fiktif ditambahkan untuk gaya naratif yang lebih ringan dan menghibur. Data, lokasi, serta kutipan pejabat KKP tetap sesuai fakta. Cerita ini bertujuan mengedukasi publik soal pentingnya menjaga kelestarian penyu.