SAAT kipas angin hanya menghasilkan angin sehangat napas sapi, warga Dusun Pasir Babussalam tumplek blek di balai desa. Keringat ngucur, baju lepek, tapi tetap semangat ngumpul soalnya kabarnya kebakaran udah makin dekat ke kebun durian Pak Lurah.
Di sudut ruangan, duduklah Pak RT Mukri, tokoh kharismatik lokal yang pernah viral gara-gara berusaha memadamkan api hutan pakai ember bocor warisan mertuanya. Modalnya cuma semangat, doa, dan sandal jepit yang udah ngelupas sebelah.
“Pak RT, itu api di ujung kebun siapa punya, ya?” tanya Ibu Rosnawati sambil menatap ke arah asap yang menggulung seperti rokok kretek sultan.
Pak RT garuk kepala. “Kayaknya bukan punya siapa-siapa, Bu. Itu api, tiba-tiba muncul aja. Mungkin dia kesepian.”
“Waduh, jangan-jangan korek saya ketinggalan waktu ngebakar daun kering minggu lalu…” celetuk Pak Karta, si pemilik lahan setengah hektare dan alasan setengah matang.
Tiba-tiba, drone dari pusat lewat di atas kepala, suaranya kayak tawon marah, dan gak lama kemudian, mobil-mobil BPBD datang. Helikopter berisik menari-nari di langit. Dari dalam turun seseorang berjaket rompi kuning Menteri KLH/BPLH, Pak Hanif Faisol Nurrofiq.
“Assalamualaikum, Bapak Ibu! Saya nggak datang buat jalan-jalan. Ini sudah 354 hotspot, dan 9 firespot aktif, lho! Rokan Hilir ini udah kayak jagung bakar edisi extra crispy!” ujarnya sambil nunjuk-nunjuk peta dari iPad.
Pak RT Mukri cuma manggut-manggut sambil nyengir kuda “Waduh, kita viral ya, Pak Menteri?”
“Viral kebakarannya, bukan inovasinya, Pak. Lahan gambutnya kering. Akses air minim. Kalo dibiarin, ini bukan cuma dusun yang sesak, tapi provinsi bisa batuk bareng”
Dengan gaya bak kapten pasukan Avengers, Pak Menteri kasih aba-aba ke operator. Lima helikopter BNPB dilepas. Air digelontor dari langit, seperti hujan lokal ala Tuhan pakai ember. Totalnya? dua juta lebih liter air. Bayangkan, kalau itu dibotolkan, cukup buat hajatan se-Indonesia.
Belum cukup, garam pun ditebar ke awan 1.000 kilogram NaCl. Anak-anak kampung sempat bingung, kirain mau bikin kerupuk raksasa di udara.
“Bukannya kita lagi krisis garam ya, Pak?” celetuk Pak Karta lagi.
“Buat hujan buatan ini, harus garam dapur. Bukan garam himalaya. Jadi aman,” jelas tim OMC sambil terus memantau langit eh, maksudnya awan.
Masalahnya, lahan gambut itu bukan kayak rumput biasa, dia bisa nyimpan bara seperti mantan yang belum move on. Luar mati, dalamnya masih panas. Kalau diinjak bisa meletus, kayak popcorn stres. Nah, itulah yang bikin pemadaman harus super niat dan super kompak.
Sayangnya, selama ini upaya pencegahan masih kayak angin segan, kipas pun enggan. Edukasi kurang, patroli lemah, dan masih ada yang anggap membakar lahan itu cara hemat-hemat tenaga, padahal bikin negara keluar duit miliar-miliar.
“Kita harus berubah. Gak bisa nunggu musim hujan terus. Karhutla itu bukan urusan satu instansi, tapi semua. Dari RT sampai Presiden,” kata Pak Menteri sambil ngelap keringat yang hampir kayak guyuran hujan buatan.
Pak RT Mukri berdiri, dengan suara yang sedikit serak karena kebanyakan hisap asap (bukan rokok).
“Saya janji, Pak. Tahun depan, kami bakal bikin lomba padam api, bukan lomba bakar lahan”
Api itu seperti utang, kalau kecil bisa diatur, kalau dibiarin jadi bencana. Rokan Hilir bukan cuma butuh semprotan dari udara. Tapi juga pencerahan dari tanah.
Edukasi harus turun ke kebun, bukan cuma ke seminar dan jangan lagi ada yang bangga karena lahan terbakar cepat bersih, sebab bersih belum tentu beres.
Karhutla bukan soal cuaca atau nasib. Tapi soal niat dan sistem. Kalau api bisa dicegah dari korek, kenapa tunggu helikopter?. Jangan sampai Indonesia dikenal dunia bukan karena batik atau rendang, tapi karena ‘asap ekspor tahunan’.[***]
Tulisan ini merupakan narasi feature-esai dengan gaya cerpen fiktif. Tokoh dan peristiwa di dalamnya sebagian merupakan rekaan, digunakan sebagai media edukasi dan penyadaran publik tentang pentingnya pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Disampaikan dengan pendekatan humor dan perumpamaan untuk menjangkau pembaca secara lebih luas, tanpa mengurangi keseriusan isu yang diangkat. Redaksi mendukung upaya kolaboratif lintas sektor dalam penanggulangan karhutla secara adil, efektif, dan berkelanjutan.