ADA pepatah lama di pasar tradisional “Kalau mau jajan jangan selalu hutang sama tetangga, lama-lama nggak enak badan”. Pepatah itu kini mirip dengan nasib banyak negara di dunia yang selama puluhan tahun tergantung pada dolar Amerika untuk segala macam transaksi. Mau beli beras dari Thailand? Bayar pakai dolar. Mau impor mobil dari Jepang? Dolar juga. Bahkan beli durian Medan ke Singapura pun tetap lewat dolar. Jadinya, negara-negara Asia ini, seperti anak kos yang tiap kali mau makan mie instan harus minta izin dompet tetangga dulu.
Tapi sekarang, Indonesia dan Jepang mencoba jurus baru LCT (Local Currency Transaction) dan QRIS Antarnegara. Skemanya sederhana tapi revolusioner transaksi langsung pakai Rupiah dan Yen, lalu dipermudah dengan QRIS yang bisa dipakai lintas negara. Kalau ini berhasil meluas, kita pelan-pelan bisa mengurangi ketergantungan pada “si abang dolar” yang selama ini jadi raja warung dunia.
Bayangkan anda turis Indonesia di Osaka, jalan-jalan ke World Expo 2025, perut keroncongan, mampir ke food truck jual takoyaki. Biasanya, anda harus menukar Rupiah ke Yen, lalu Yen itu entah dari mana kursnya berubah seperti karet gelang, kadang mulur kadang mungkret. Nah, dengan adanya QRIS Indonesia-Jepang, tinggal buka aplikasi pembayaran, scan kode JPQR Global, dan cling! Takoyaki sudah berpindah tangan tanpa perlu “ngamen” di money changer.
Lucunya, transaksi itu bukan cuma memudahkan dompet turis. Ia juga simbol kalau Indonesia bisa bawa teknologi pembayaran yang lahir di Tanah Air untuk bersanding dengan sistem Jepang. Bukan main, dulu orang Indonesia kalau ke Jepang bawa oleh-oleh kerupuk udang, sekarang bawa QRIS!
Di balik layar, yang lebih penting justru LCT Rupiah-Yen, ini seperti dua sahabat lama yang akhirnya ngobrol tanpa harus lewat juru bicara. Dulu, setiap kali Rupiah mau ngobrol sama Yen, harus lewat dolar dulu. Jadinya, percakapannya penuh basa-basi, biaya tambahan, bahkan kadang salah paham. Sekarang, dengan skema LCT, Rupiah dan Yen bisa saling sapa langsung “Apa kabar, bro? Mau barter mobil dengan sawit? Gass!”
Data Bank Indonesia mencatat, periode Januari Juli 2025, nilai transaksi LCT Indonesia – Jepang mencapai USD 5,1 miliar (ironisnya masih dihitung dolar di laporan), naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Artinya, semakin banyak pebisnis yang sadar “Kenapa harus ribet pakai dolar kalau bisa langsung Rupiah–Yen?”
Tentu, isu ini bukan sekadar jajan takoyaki atau belanja oleh-oleh di Bandara Haneda. Ini bagian dari strategi halus yang dilakukan banyak negara Asia de-dolarisasi alias mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Kalau Amerika suka pakai dolar sebagai “alat politik” misalnya bikin sanksi atau membatasi transaksi, maka Asia pelan-pelan mencari jalannya sendiri.
Indonesia- Jepang dengan LCT dan QRIS ini ibarat pasangan yang sepakat bikin tabungan bersama, tanpa titip uang di tetangga yang suka tiba-tiba menutup pintu.
Jepang butuh sawit, nikel, dan kopi, Indonesia butuh mesin, mobil, dan teknologi, kalau bisa barter langsung pakai Rupiah dan Yen, kenapa harus lewat dolar yang kadang lebih galak daripada satpam komplek?
Ekonomi dunia mengajarkan satu hal jangan taruh semua telur di satu keranjang, apalagi kalau keranjang itu keranjangnya Paman Sam yang suka goyang-goyang sendiri.
Dengan mengembangkan transaksi langsung Rupiah-Yen, kedua negara memberi contoh bahwa diversifikasi itu penting. Asia tidak harus meninggalkan dolar sepenuhnya, namanya juga masih jadi mata uang utama dunia, tapi setidaknya kita punya alternatif.
Bahkan, bayangkan kalau suatu hari QRIS antarnegara ini meluas ke ASEAN, Korea, sampai India. Bisa jadi Asia punya ekosistem pembayaran sendiri, mandiri, dan tidak gampang “dikerjain” oleh fluktuasi dolar.
Kalau dipikir-pikir, langkah ini mirip dengan kehidupan sehari-hari. Jangan selalu tergantung sama satu sumber. Kalau lapar, jangan cuma andalkan warteg Bu Yati, coba juga masak mie instan sendiri. Kalau nyetrika baju, jangan cuma andalkan laundry kiloan, sesekali angkat setrika biar tahu rasanya. Begitu juga dengan negara jangan selalu bergantung pada dolar, punya jalur alternatif bikin hidup lebih tenang.
QRIS dan LCT adalah simbol kemandirian finansial Asia, mereka tidak menggembar-gemborkan perang mata uang, tapi memberi jalan damai transaksi lebih efisien, UMKM terbantu, turis dimudahkan, dan hubungan ekonomi Indonesia-Jepang makin erat.
Implementasi QRIS Indonesia-Jepang dan LCT Rupiah-Yen adalah langkah kecil dengan dampak besar. Ia menunjukkan bagaimana dua negara Asia bisa bekerja sama, memperkuat perdagangan dan pembayaran digital tanpa harus selalu menoleh ke dolar. Dalam jangka panjang, ini bisa jadi model untuk kawasan Asia yang lebih mandiri, lebih efisien, dan lebih berdaulat secara finansial.
Seperti pepatah “Sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit”. Hari ini mungkin baru bisa jajan takoyaki dengan QRIS, besok-besok bisa jadi fondasi masa depan ekonomi digital Asia yang tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang dolar. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, orang Jepang pun bisa jajan cilok di Bandung cuma dengan scan kode dari aplikasinya, dunia berputar, sejarah pun tertawa.[***]