DENGAR kata “perang”, orang biasanya bayangin tank, rudal, atau minimal adu mulut di DPR, tapi ada perang yang jauh lebih sunyi, tak terdengar dentuman meriam, dan tak tampak asap mesiu, namanya perang mata uang.
Sejak lama, dunia seolah tunduk pada satu “raja dompet” bernama dolar Amerika, apa-apa pakai dolar, mau impor kedelai? dolar, bayar minyak? dolar, bahkan utang luar negeri kita pun, ujung-ujungnya dolar juga. Ibarat kata pepatah, “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui,” dolar ini sekali cetak, bisa bikin banyak negara bertekuk lutut.
Tapi sekarang, muncul pemain baru di ring tinju keuangan, digital rupiah, lawan tarungnya jelas, si dolar, dan ring pertarungannya? Ya ada di dompet kita, di ponsel kita, di transaksi sehari-hari.
Kalau dulu Bung Karno berapi-api lawan imperialisme lewat pidato yang bikin podium bergetar, sekarang Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia melawan dominasi dolar bukan dengan teriak, tapi dengan kode QR dan blockchain.
Dulu senjata perjuangan adalah bambu runcing. Sekarang? bambu runcing sudah pensiun, diganti aplikasi BI-FAST.
Ada yang bilang ini pertarungan sepi, tapi dampaknya luar biasa, kalau digital rupiah bisa berdiri sejajar dengan dolar, maka transaksi kita tidak harus selalu lewat “terminal Washington”.
Pertarungan mata uang ini jangan dibayangkan cuma ada di ruang rapat bank sentral dengan pendingin ruangan 20 derajat. Arena sesungguhnya justru ada di dompet rakyat.
Coba bayangkan pedagang kopi di Banjarmasin jualan ke pembeli dari Malaysia, kalau dulu harus tukar ringgit ke dolar, dolar ke rupiah, sekarang cukup scan QRIS cross-border. Anak muda freelance desain grafis dapat bayaran dari klien Vietnam, langsung cair pakai sistem pembayaran digital, tak perlu lewat “perantara dolar”.
Kalau ini jalan, ekonomi rakyat akan jauh lebih enteng, seperti pepatah Minang “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul” Nah, dalam ekonomi digital, “transaksi ringan sama-sama di-scan, biaya mahal jangan dibikin rakyat yang pikul”
Raja mulai goyang
Harus diakui, posisi dolar masih seperti “raja minyak” di pasar. Tapi sejarah membuktikan, raja pun bisa goyah kalau rakyat menemukan jalan baru. Eropa sudah main dengan Euro, China bawa Yuan Digital, dan Indonesia menyiapkan Digital Rupiah.
Apakah Digital Rupiah bisa langsung menggeser dolar? Tentu tidak, itu ibarat ayam kampung baru belajar berkokok melawan ayam jago tetangga. Tapi setidaknya, ayam kita mulai berani bersuara, tidak cuma diam di kandang.
Namun pertarungan ini setidaknya juga mengajarkan bahwa kedaulatan negara tak hanya soal tanah dan laut, tapi juga dompet digital.
Kalau dompet kita selalu tergantung pada dolar, maka ibaratnya kita masih “ngekos” di rumah orang. Bayar makan, bayar listrik, semua tergantung izin tuan rumah.
Maka BI lewat Digital Rupiah ingin bilang “Indonesia harus punya rumah sendiri di dunia digital, biar tetangga boleh numpang, tapi kunci pintu tetap di tangan kita”
Oleh sebab itu, edukasi rakyat dulu, jangan sampai Digital Rupiah jadi sekadar jargon elitis, pedagang sayur di pasar harus ngerti juga. Perlu infrastruktur kuat artinya jangan sampai aplikasi macet pas jam sibuk. Masa transfer uang kalah sama transfer pulsa? dan kerja sama global, maksudnya kedaulatan bukan berarti menutup diri, justru Digital Rupiah bisa kuat kalau konektivitas dengan Asia Tenggara makin lancar.
Pertarungan Digital Rupiah vs Dolar mungkin sunyi di telinga, tapi dampaknya bisa sangat bising di ekonomi. Kalau berhasil, rakyat kecil bisa merasakan biaya transaksi lebih murah, akses lebih mudah, dan kedaulatan digital lebih kuat.
Pepatah Sunda bilang “Leuweung lempung ku jarum, batu leutik jadi gunung”. Artinya, hal kecil bisa membawa perubahan besar, begitu juga Digital Rupiah, sekarang mungkin masih kecil dibanding dolar, tapi besok lusa siapa tahu bisa jadi kekuatan besar di Asia bahkan dunia.
Kedaulatan bukan cuma soal bendera di tiang tinggi, kedaulatan juga soal uang yang kita pakai sehari-hari, kalau Digital Rupiah bisa berjalan, maka kita tidak sekadar jadi penonton dalam ekonomi global, tapi ikut jadi pemain.
Kalau ada yang masih bertanya, “Apa gunanya Digital Rupiah?”, jawabannya sederhana biar ketika kita beli es kelapa di Bali, atau kirim uang ke saudara di Hanoi, kita tidak harus minta izin dulu ke dolar.[***]