Perbankan & Keuangan

ASEAN Tak Mau Jadi Uni Eropa, tapi Ingin Lebih Tangguh

Bank Indonesia

ASEAN belajar dari Uni Eropa, bukan ingin jadi eurozone kedua, tapi ingin integrasi keuangan yang fleksibel, tangguh, dan sesuai jati diri kawasan.

COBA bayangin ASEAN dan Uni Eropa lagi nongkrong di warung kopi. Uni Eropa bilang, “Bro, gue punya euro, satu mata uang buat 27 negara” ASEAN nyengir, “Mantap sih, tapi bukannya kemarin lo hampir pingsan gara-gara krisis utang Yunani? Belum lagi Brexit kayak sinetron panjang”.

ASEAN lalu nyeletuk.”Kami sih nggak mau pakai seragam sama, tapi tetap bisa jalan bareng. Lagian, kalau seragam dipaksa, ada yang kegedean, ada yang kesempitan, nanti malah jadi ribut sendiri”.

Banyak yang nanya “Kenapa ASEAN nggak bikin mata uang tunggal kayak euro?”, jawabannya sederhana, ASEAN itu ibarat pasar malam, isinya macam-macam. Ada yang jual sate, ada yang jual cilok, ada juga yang jual boneka. Kalau dipaksa satu menu, pengunjung bisa kabur.

Uni Eropa sempat terguncang karena “satu seragam”, justru bikin sebagian negara kepanasan. Yunani sampai megap-megap karena krisis utang, sementara Jerman sibuk jadi penolong, lalu Inggris bilang, “Udahlah, gue cabut aja”, dan lahirlah drama Brexit.

ASEAN belajar dari situ, yakni integrasi keuangan bukan soal seragam, tapi soal harmoni, pepatah bilang “Seribu jalan menuju Roma, tapi nggak semua harus pakai sandal yang sama”.

Strategi ASEAN lebih realistis, nggak harus punya mata uang tunggal, tapi bikin sistem pembayaran terhubung, pasar modal lebih terbuka, dan jaring pengaman keuangan regional.

Ibarat tim sepak bola, ASEAN nggak semua pakai sepatu merek sama, tapi mainnya tetap kompak, kalau ada yang jatuh, teman lain bantu angkat.

Inovasi kayak Local Currency Transaction (LCT), jadi contoh nyata, rupiah, baht, ringgit, dan peso bisa saling dipakai. Nggak perlu terus-terusan nebeng dolar, ini bukan sekadar soal biaya transaksi, tapi simbol kemandirian.

ASEAN itu unik, beda bahasa, beda ekonomi, beda politik, tapi justru di situlah kekuatannya. Kalau Uni Eropa sering pusing karena perbedaan, ASEAN memilih merangkul perbedaan sebagai warna.

Pepatah Jawa bilang “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, ASEAN ngerti betul, kalau ribut sendiri malah bubar jalan. Jadi meski nggak selalu satu suara, ada konsensus minimal: tetap bareng-bareng di jalur integrasi.

Dunia boleh bilang ASEAN lambat dibanding Uni Eropa. Tapi lambat bukan berarti salah jalan, kadang yang jalan pelan justru bisa lebih awet. Kayak naik sepeda ontel di Malioboro, pelan tapi pasti sampai tujuan, daripada ngebut naik motor tapi jatuh di tikungan.

ASEAN memilih jalannya sendiri, yakni fleksibel, pragmatis, tapi tangguh, bukan sekadar meniru Uni Eropa, tapi menciptakan versi integrasi yang cocok dengan jati diri Asia Tenggara.

ASEAN tak mau jadi Uni Eropa kedua, tapi ingin lebih tangguh, belajar dari drama krisis utang dan Brexit, ASEAN paham bahwa integrasi buta justru bisa jadi bumerang.

Lewat sistem keuangan yang terhubung, pemakaian mata uang lokal, dan jaring pengaman regional, ASEAN merancang “tameng finansial” yang sesuai dengan kondisi sendiri.

Pepatah bilang “Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit”, ASEAN sudah mulai menumpuk batu-batu kecil integrasi itu, siapa tahu nanti bukit ASEAN ini lebih kokoh daripada gunung yang sempat retak di Eropa.

Dan dari Yogyakarta, ASEAN sudah mengirim pesan ke dunia, kami mungkin berbeda, tapi justru karena itu kami bisa lebih kuat.[***]

Terpopuler

To Top