ASEAN mulai melawan kebiasaan dolar dengan tameng finansial, mata uang lokal, dan fintech. Apa artinya bagi stabilitas kawasan dan kantong rakyat?
MISALNYA kamu lagi nongkrong di angkringan Yogyakarta, kamu pesan kopi klotok harga Rp5 ribu, tapi bayarnya pakai lembaran dolar. Penjualnya langsung bingung dan berkata “Mas, recehnya mana? Mau saya kembalikan pakai permen?”.
Nah, kira-kira kayak gitu perasaan ASEAN selama ini, dikit-dikit transaksi harus lewat dolar. Padahal kita punya mata uang sendiri. Lama-lama repot juga, kayak hidup ngontrak di rumah orang, tiap hari masih minta izin keluar-masuk.
Makanya, di ASEAN Senior Level Committee on Financial Integration (SLC) ke-30 di Yogyakarta, 18–19 September 2025, para bank sentral sepakat, saatnya ASEAN bikin strategi biar nggak terus-terusan nebeng sama greenback.
Pepatah bilang “Sedia payung sebelum hujan”, tapi ASEAN sadar, kalau badai global makin deras, payung bisa bocor. Solusinya bikin tameng finansial.
Isunya banyak rantai pasok yang kayak benang kusut, geopolitik macam sinetron 300 episode, digitalisasi yang ngebut, dan transisi energi yang bikin kepala muter kayak kipas angin rusak. Kalau ASEAN nggak kompak, siap-siap jadi bulan-bulanan krisis global.
Jadi integrasi keuangan bukan cuma soal neraca, tapi jadi sistem imun kawasan, ibarat kos-kosan, kalau ada anak kos bokek, yang lain patungan. Nggak usah tiap kali bokek langsung pinjam sama juragan luar negeri.
Jangan salah paham, ASEAN bukan demo anti-dolar di bundaran HI sambil bawa toa teriak “Down with Dollar!”, ASEAN cuma sadar, ketergantungan kebablasan sama dolar bikin gampang pusing.
Oleh karena itu, ada strategi Local Currency Transaction (LCT), jadi transaksi lintas negara bisa pakai rupiah, baht, dong, ringgit, peso, bukan melulu dolar.
Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, tegas bilang LCT itu bukan cuma hemat biaya transaksi, tapi juga bikin ASEAN lebih tahan banting. Ibarat geng motor, ASEAN akhirnya pakai jaket kebanggaan sendiri, bukan nebeng jaket orang bule.
Kalau ini sukses, jangan-jangan nanti kita bisa ke Thailand, belanja di pasar malam, bayar pakai rupiah langsung tanpa ribet tukar uang di money changer yang kursnya bikin sakit hati.
Kalau dulu duit berputar lewat bank, sekarang duit malah sprint lewat aplikasi. Bayar QRIS dari Indonesia bisa kebaca di Thailand. Transfer lintas negara bisa semudah kirim stiker WA.
ASEAN ngerti, generasi sekarang lebih percaya dompet digital daripada dompet kulit. Makanya integrasi keuangan harus merangkul fintech dan sistem pembayaran digital.
Ibarat bikin jalan tol, fintech itu jalur cepat biar duit ngalir lancar. Kalau bank itu kayak jalan nasional, resmi, tapi kadang macet. Fintech itu kayak tol baru, bayar e-toll, langsung meluncur tanpa hambatan.
Dan jangan lupa, fintech juga bisa jadi magnet investor muda, bayangin startup ASEAN bisa bikin produk pembayaran lintas negara yang gampang, murah, dan aman, ini bisa jadi motor ekonomi digital kawasan.
ASEAN sering dibandingkan dengan Uni Eropa. Memang, Uni Eropa sukses punya euro, tapi mereka juga pernah jungkir balik gara-gara krisis utang Yunani. Ditambah drama Brexit yang kayak sinetron panjang, penuh konflik, banyak air mata.
ASEAN belajar dari situ, pepatah bilang “Belajar dari orang jatuh, bukan untuk ikut jatuh, tapi supaya nggak kepleset di tempat yang sama”.
Makanya ASEAN pilih jalur beda integrasi fleksibel. Nggak perlu mata uang tunggal, cukup harmonisasi sistem. Jadi ASEAN kayak grup dangdut, nadanya beda-beda, tapi kalau nyanyi bareng tetap merdu.
Strategi ini lebih realistis, karena ASEAN isinya negara dengan ekonomi, politik, dan budaya yang super beragam. Daripada ngotot pakai satu seragam, lebih baik bikin “dress code” yang mirip-mirip tapi tetap nyaman.
Kenapa pertemuan penting ini di Yogyakarta, bukan Jakarta?, jawabannya sederhana diplomasi juga butuh suasana adem.
Bayangin diskusi soal krisis global di tengah macetnya Jakarta, bisa-bisa kepala makin panas. Tapi di Yogya, setelah rapat serius, para pejabat bisa jalan-jalan ke Malioboro, jajan bakpia, atau nongkrong sambil makan gudeg. Diplomasi jadi lebih cair, karena perut juga ikut senang.
Pepatah Jawa bilang “Mangan ora mangan, sing penting kumpul”. ASEAN juga begitu kumpul di Yogya, biar makin akrab. Kadang, keputusan besar justru lahir bukan di meja rapat, tapi saat santai makan sate klathak.
Jadi jangan remehkan Yogya, dari kota budaya dan kota pelajar, kini naik level jadi kota diplomasi moneter ASEAN.
Pertanyaan besar semua strategi ini ujung-ujungnya ngaruh nggak ya buat rakyat?, jawabannya iya, pelan-pelan. Kalau LCT jalan, biaya transaksi lintas negara bisa lebih murah. Turis asing bisa lebih gampang belanja di Indonesia, sebaliknya orang Indonesia bisa lebih simpel bayar di luar negeri.
Fintech lintas negara juga bikin UMKM lebih mudah ekspor, fikirkan coba seandainya pedagang batik di Yogya bisa langsung jualan ke Vietnam, bayarnya pakai rupiah, tanpa ribet konversi dolar.
Dan yang paling penting, kalau krisis global datang, ASEAN nggak gampang goyah, sistem keuangan kawasan bisa saling menopang. Artinya, peluang resesi bisa ditekan, ekonomi rakyat tetap lebih aman.
Selama ini ASEAN kayak anak kos yang tiap lapar lari ke warung dolar. Tapi sekarang mulai sadar lebih murah kalau bawa bekal sendiri.
Dari tameng finansial, penggunaan mata uang lokal, integrasi fintech, belajar dari Uni Eropa, sampai menjadikan Yogya panggung diplomasi moneter, semua itu bikin ASEAN lebih siap menghadapi guncangan dunia.
Pesan moralnya sederhana kemandirian itu mahal, tapi jauh lebih mahal kalau kita terus-terusan bergantung pada orang lain.
Dunia boleh gaduh, dolar boleh tetap jadi raja, tapi ASEAN sudah memutuskan untuk tidak lagi jadi pengikut setia tanpa pilihan. Langkah kecil ini bisa jadi titik balik. Pepatah bilang “Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit”. Nah, kalau konsisten, bukit ASEAN ini bisa menjelma jadi gunung finansial yang kokoh.
Dan siapa sangka, ceritanya dimulai bukan di Wall Street atau London, tapi di jantung budaya Nusantara, yakni Yogyakarta.[***]