DULU, riset dan pengabdian masyarakat itu nasibnya kayak pepaya jatuh di tengah jalan matang, tapi nggak pernah nyampe ke rumah, kini Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) bilang “Cukup sudah!” Lewat Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM), dan Ditjen Risbang, dana sebesar Rp47,1 miliar resmi digelontorkan lewat penandatanganan kontrak tiga skema program unggulan.
Momentum ini terjadi pada Rabu, 30 Juli, dengan menghadirkan para pendekar kampus dari seluruh penjuru tanah air. Dari rektor, kepala LLDikti, sampai LPPM, semua duduk bareng demi satu tekad: riset dan pengabdian jangan cuma jadi pajangan di rak perpustakaan.
Seperti kata pepatah, “Ilmu tanpa amal bagai teh tarik tanpa gula.” Dirjen Risbang, Fauzan Adziman, menyatakan bahwa ini bukan urusan kertas-kertasan belaka. “Bukan cuma cair duitnya, tapi juga harus cair dampaknya,” ujar beliau, sambil menegaskan bahwa ilmu harus turun dari menara gading ke lapak sayur, tambak ikan, bahkan ladang jagung.
Duit yang turun bukan receh buat beli gorengan, Rp25,7 miliar dikucurkan buat riset (375 proposal), Rp17,2 miliar untuk program pengabdian (496 proposal), dan Rp4,2 miliar khusus buat sembilan Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUI-PT). Ibarat tumpeng, potongan dana ini dibagi rata ke 38 provinsi. Inklusif, bro. Bukan cuma kota besar, tapi juga sampai desa tempat sinyal naik-turun kayak hati mantan.
Program Penelitian Batch II fokusnya bukan lagi ke kampus besar doang. Kali ini giliran politeknik dan akademi unjuk gigi. Ibarat lomba tarik tambang, semua ditarik bareng biar nggak timpang, sedangkan program pengabdian diarahkan ke pemberdayaan masyarakat dengan hasil riset yang bisa langsung dipakai. Bukan teori “kalo” dan “seandainya”, tapi langsung ngasih solusi buat masalah sehari-hari.
Direktur Penelitian dan Pengabdian, I Ketut Adnyana, bilang ini bukan cuma soal uang jalan, proposal yang lolos udah disaring seperti santan kelapa diperas, disaring, ditapis sampai halus. Bahkan, mereka ikut bimbingan teknis. Jadi bukan hanya pintar nulis proposal, tapi juga siap eksekusi di lapangan.
Program PUI-PT juga nggak sembarang bagi-bagi. Yang dapet adalah kampus yang sudah punya track record keren kayak ITB, Unair, Telkom University, dan beberapa lagi. Fokusnya pun kekinian dari kesehatan, teknologi digital, sampai keantariksaan. Jadi bukan cuma ngurusin hal langit-langit kosan, tapi juga teknologi luar angkasa.
Nah, ini semua bagian dari program besar Diktisaintek Berdampak. Namanya aja udah keren, kayak judul film Marvel versi Indonesia. Misinya jelas investasi di bidang pendidikan tinggi dan riset harus menghasilkan “cuan sosial”, alias manfaat buat masyarakat. Bukan habis dana, hasilnya cuma laporan PDF yang disimpan dosen pembimbing.
Dirjen Fauzan juga sempat nyeletuk, “Jangan sampai duit ini malah disulap jadi seminar selfie.” Duit harus jadi pijakan transformasi dari lab ke lapangan, dari kertas ke kenyataan. Kalau bisa, hasil riset bikin warga desa naik kelas, dari nyangkul ke nge-vlog, dari usaha rumahan ke ekspor ke Qatar.
Program ini bukan cuma soal lembaga, tapi soal akhlak akademik juga. Integritas dan akuntabilitas jadi syarat utama. Kalau nggak, siap-siap ditarik kembali, kayak mantan yang tahu kita sukses. Biar gimana pun, uang negara harus jadi jalan terang, bukan celah gelap buat mark-up proposal.
Akhirnya, riset dan pengabdian masyarakat bukan lagi urusan tugas akhir. Ini momentum revolusi akademik, di mana kampus tak lagi cuma jadi tempat ngeprint makalah, tapi jadi motor perubahan, karena seperti kata nenek kita “Ilmu yang berguna itu bukan yang disimpan, tapi yang dipakai buat bantu orang lain”[***]