PEMERINTAH resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 alias PP TUNAS (Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak), sebuah jurus sakti untuk melindungi anak-anak dari jebakan konten digital yang lebih licin dari belut disiram lotion. Lewat regulasi ini, semua platform digital, dari yang besar kayak Netflix sampai yang kecil kayak aplikasi belajar anak yang belum lulus TK, diwajibkan punya fitur keamanan anak mulai dari parental control, klasifikasi umur, sampai privasi yang dikunci rapat kayak dompet bapak pas tanggal tua.
Bayangkan, dulu orang tua cuma pusing kalau anak main layangan nyangkut di pohon tetangga, sekarang? Anak bisa nyangkut di konten internet yang isinya bikin uban emak nambah tanpa perlu pake bleach. Dunia maya sekarang bukan cuma dunia, tapi bisa jadi rimba belantara, dan anak-anak kita?, masih pakai popok digital, belum ngerti mana ular mana tali tambang.
Di sinilah PP TUNAS masuk, bukan cuma regulasi berbahasa formal nan kaku, tapi seperti sapu ijuk di zaman digital siap menyapu bersih konten beracun yang numpang hidup di layar anak-anak.
Kata Dirjen Komunikasi Publik dan Media, Fifi Aleyda Yahya, PP ini adalah fondasi, bukan pondasi KW. “Kita dorong platform digital supaya kasih fitur keamanan yang gampang kayak pake remote TV, bukan kayak ngisi formulir sensus online,” ucapnya saat acara bareng Netflix dan ICT Watch. Kegiatan itu sendiri kayak seminar sambil ngopi, tapi isinya daging semua — bukan cuma cemilan digital.
Jangan salah, parental control itu bukan semata tombol, tapi kayak gembok pagar di dunia maya, kalau dulu emak tinggal bilang “jangan main ke rumah si Udin!”, sekarang emak harus tau anaknya jangan sampai ‘main’ ke website yang logonya saja sudah bikin dahi berkerut.
Netflix misalnya, sudah pasang fitur-fitur yang lebih protektif dari kakak kelas yang posesif ada sistem klasifikasi umur, ada kontrol tontonan, bahkan bisa dikunci pakai PIN, kayak brankas film. Tapi ingat, meskipun sistem digital sudah disiapkan, peran orang tua tetap seperti tukang parkir hati ngarahin dan ngingetin, jangan sampai anak salah belok ke konten dunia lain.
Pemerintah menyadari, ancaman digital itu bukan fiksi, data dari NCMEC menyebut Indonesia ada di posisi keempat dalam kasus pornografi anak, dan dari UNICEF, 89% anak-anak kita nongkrong di dunia maya minimal 5 jam sehari lebih lama dari waktu belajar dan lebih awet dari hubungan LDR. Yang tragis, hampir separuh dari mereka sudah terpapar konten seksual, bukan konten belajar, tapi konten ‘belajar yang sesat’.
Lewat PP TUNAS, pemerintah tidak hanya menegaskan posisi sebagai pembuat aturan, tapi juga sebagai bodyguard digital generasi muda. Dengan pendekatan tiga pilar regulasi, edukasi, dan kolaborasi Komdigi mencoba menciptakan ekosistem digital yang bukan cuma aman, tapi juga mendidik dan menyenangkan.
Anak-anak zaman sekarang memang hidup di era layar. Tapi kita, sebagai orang dewasa, harus memastikan layarnya itu bukan jendela ke kegelapan, tapi cahaya ke masa depan, sebab, seperti kata pepatah modern “Lebih baik sinyal lemah, daripada anak nyasar ke konten yang salah”
Jadi, para orang tua, yuk jangan cuma ngecek sinyal WiFi, tapi cek juga “sinyal anak”, apakah mereka terhubung ke dunia yang sehat atau ke jurang digital yang penuh jebakan Batman untuk para platform digital, jangan kasih anak-anak kita fitur yang kayak es krim manis di awal, tapi bikin sakit perut di akhir.
PP TUNAS sudah diteken, sekarang saatnya kita semua bertindak, karena melindungi anak di era digital itu bukan urusan satu dua orang, tapi tanggung jawab berjamaah kayak kerja bakti online demi masa depan yang lebih waras dan manusiawi.[***]