DULU mahasiswa dikenal sebagai agent of change, maka hari ini gelarnya bisa di-upgrade jadi agent of compost karena bukan cuma bisa bikin perubahan, tapi juga bisa bikin pupuk organik dari sisa makan siang di kantin.
Serius!, di tangan mahasiswa kreatif, nasi basi pun bisa berubah jadi startup yang dapat pendanaan dari investor Singapura. Luar biasa? Jelas. Lucu? Apalagi. Tapi justru di sinilah letak harapan bangsa pada anak-anak muda yang bisa berpikir hijau di tengah dunia yang makin panas, baik suhu maupun situasinya.
Nah, itulah semangat yang dibawa Kementerian Perindustrian lewat acara AIGIS Goes to Campus, bagian dari The 2nd Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS 2025).
Kali ini acaranya digelar di Universitas Trisakti kemarin, bukan sekadar seminar yang isinya ngetik sambil ngantuk, tapi ajang serius nan santai untuk memompa semangat greenpreneurship di dada mahasiswa biar nanti yang ditanam bukan cuma harapan dan cinta, tapi juga ide bisnis ramah lingkungan yang tahan krisis.
Menurut Andi Rizaldi, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), kampus itu bukan cuma tempat cinta bersemi dan skripsi ditolak dosen pembimbing. Kampus adalah inkubator ide, tempat kreativitas dan idealisme bisa berkembang biak seperti mikroba baik di yoghurt. Mahasiswa punya potensi luar biasa bisa jadi influencer perubahan, bukan cuma influencer diskon skincare.
Makanya AIGIS Goes to Campus hadir bukan untuk pamer totebag atau minta foto bareng menteri, tapi untuk mendorong mahasiswa jadi motor penggerak industri hijau. Sebab kata pepatah, “Orang bijak tanam pohon, orang cerdas tanam ide, dan orang sukses tanam saham di startup daur ulang”.
Kalau kamu kira masa depan itu cuma soal robot, AI, dan mobil terbang, ya itu lumayan benar. Tapi jangan lupakan satu hal dunia juga butuh green jobs. Pekerjaan yang bukan cuma mengisi dompet, tapi juga mengisi ulang harapan bumi.
Contohnya? Jadi insinyur energi terbarukan, konsultan lingkungan, ahli pengelolaan limbah, bahkan pengembang pertanian urban dari rooftop rumah susun. Ini bukan mimpi. Ini peluang nyata. Bahkan menurut laporan International Labour Organization (ILO), transisi ke ekonomi hijau bisa menciptakan 24 juta pekerjaan baru secara global pada 2030.
Dan seperti kata Prof. Jeffrey Sachs, ekonom dunia dan penulis buku The Age of Sustainable Development (2015), “Sustainable development is not a luxury, it is a necessity”. Artinya, pembangunan berkelanjutan bukan barang mewah yang hanya boleh dibahas di seminar elite, tapi kebutuhan mendesak agar kita tidak jatuh bangkrut secara ekologis dan moral.
Negara-negara seperti Jerman sudah sejak lama menjalankan Energiewende, yakni transisi energi ke sumber terbarukan. Jepang, bahkan sudah mengolah limbah makanan kantin jadi bioenergi dan pupuk dengan efisien. Sementara kita di sini, sisa makanan kadang masih dijadikan alat barter antar teman kos. “Nih, ambil nasinya, tapi gantiin tugas Etika ya!”.
Tapi bukan berarti kita kalah, kita punya kampus, punya mahasiswa cerdas, punya pelaku industri, dan punya pemerintah yang mulai sadar bahwa masa depan harus hijau. Yang dibutuhkan cuma satu sinergi. Karena kalau jalan sendiri-sendiri, ya kayak lomba panjat pinang tanpa minyak nggak lucu, dan nggak akan naik.
3 inovasi penting
Andi Rizaldi menekankan pentingnya tiga hal inovasi, greenpreneurship, dan komunikasi keberlanjutan, kayak trio mas-mas jago ngedit video, desain, dan presentasi.
Inovasi jadi mesinnya, kewirausahaan hijau jadi jalurnya, dan komunikasi keberlanjutan jadi klaksonnya. Biar orang lain tahu bahwa gerakan ini sedang melaju, dan siapa saja boleh ikut.
Kalau ketiganya digabung, jadilah ekosistem yang bukan cuma hijau, tapi juga kompetitif, bukan hanya bisa bersaing di kancah lokal, tapi juga global. Seperti pepatah Sunda versi modern “Hirup mah kudu manfaat, lain ngan saukur eksis di story WhatsApp”.
Anak muda Indonesia punya potensi tak terbatas. Tugas kita bukan cuma menghadiri seminar lalu pulang bawa sertifikat, tapi menciptakan ide-ide solutif yang bisa direplikasi, bahkan dikomersialisasi. Dari proyek daur ulang di kampus, bisa lahir bisnis berkelanjutan. Dari kebiasaan hemat listrik di kosan, bisa jadi kampanye nasional.
Kalau dulu demonstrasi mahasiswa bisa guncang Orde Baru, sekarang waktunya mahasiswa mengguncang industri yang ketinggalan zaman. Dan seperti kata pepatah Jawa “Urip iku urup” .Hidup itu menyala harus memberi cahaya dan manfaat, salah satu caranya, ya dengan jadi greenpreneur sejati.
Bukan saatnya lagi mahasiswa cuma jadi penonton tren, mahasiswa harus jadi pelaku perubahan. Mulai dari hal kecil, buang sampah pada tempatnya, hemat listrik, sampai ikut kompetisi AIGIS Green Scientific Competition. Syukur-syukur menang, dapet hadiah dan dilirik industri.
Jangan lupa juga hadir di Youth Green Forum dan acara puncak AIGIS 2025 bulan Agustus nanti. Ini bukan acara biasa. Ini peluang emas. Karena seperti kata mamak kos “Kalau kamu nggak bisa sukses hari ini, jangan jadi beban bumi juga ya, Nak”.[***]