COBA bayangkan kalau hidup ini kayak WorldSkills ASEAN Competition 2025 yang lagi berlangsung di Manila. Bedanya, kalau di kompetisi resmi anak-anak muda bertanding di bidang Cyber Security, Mechatronics, sampai Fashion Technology, di kampung kita lombanya lebih sederhana, siapa paling cepat ngeracik kopi sachet tiga rasa dalam satu gelas, atau siapa paling tahan tidur pas acara rapat RT.
Tapi jangan salah. Esensi keduanya sama skill alias keterampilan, bedanya cuma levelnya saja. Kalau di WorldSkills, skill yang dipamerkan bisa bikin negara maju senyum bangga. Kalau di kampung, skill yang dipamerkan bikin tetangga kagum dan manggil kita “pakar praktis”.
Nah, masuklah Indonesia di ajang WorldSkills ASEAN Competition 2025 ini, delegasi kita tampil percaya diri, bawa semangat “Indonesia Maju, Kompetensi Unggul.” Kayak pemain bola masuk stadion, para peserta ini melangkah ke arena dengan kepala tegak. Mereka bukan cuma ikut lomba, tapi bawa harapan bangsa.
Kalau ngomongin keterampilan, kita suka terjebak sama stigma. Katanya, yang pinter itu harus kuliah tinggi, sarjana, bahkan S3. Padahal, hidup ini kadang kayak mesin cuci bukan soal gelarnya apa, tapi bisa muter nggak.
Anak-anak muda yang turun di kompetisi ini datang bukan sekadar bawa ijazah, tapi bawa bukti bahwa skill itu mata uang masa depan. Di zaman industri 4.0 atau kalau orang kampung bilang, zaman serba “klik-klik, beres” yang dihargai bukan cuma teori, tapi kemampuan praktis.
Seandainya, kalau di sekolah kita diajari “pintar itu rajin menabung”, di dunia kerja yang dicari adalah siapa yang bisa coding aplikasi tabungan digital. Pepatah lama bilang, “Banyak jalan menuju Roma” Nah, pepatah baru versi generasi sekarang “Banyak coding menuju startup”
Saya jadi ingat guru SD dulu, yang suka bilang, “Nak, belajar itu bekal masa depan” tapi cara ngajarnya? nulis 50 kali di papan tulis kalau salah jawab. Lah, kalau begitu, masa depan saya isinya jadi juru tulis bukan juragan skill.
Inilah PR besar kita pendidikan harus relevan dengan zaman, kalau dunia sudah ngomongin Artificial Intelligence, jangan sampai kita masih sibuk debat soal kapur tulis atau spidol. Kalau industri sudah bicara Internet of Things, jangan sampai sekolah masih bilang “colokan listrik aja rebutan”
Coba bayangkan sekolah yang kurikulumnya nyambung dengan kompetisi keterampilan. Anak-anak bisa belajar robotik, desain grafis, sampai service hotel sejak dini. Jadi, ketika ada WorldSkills begini, kita nggak cuma kirim delegasi, tapi kirim pasukan “Avengers Skill Indonesia”
Skill itu Kayak Sambal
Orang Indonesia kalau makan tanpa sambal rasanya hambar, sama juga dengan hidup tanpa skill. Mau sekolah setinggi langit, kalau nggak ada skill praktis, ya akhirnya balik lagi jadi “penonton”
Skill itu ibarat sambal, kalau pas, bikin mantap, kalau kurang, rasanya sepi, kalau berlebihan, bikin orang kepedesan, tapi tetap dicari.
Nah, delegasi Indonesia di Manila ini sudah bawa sambal spesial masing-masing. Ada yang jago ngoprek mesin (Automobile Technology), ada yang lihai mendandani rambut (Hairdressing), sampai yang mahir jaga server biar nggak diretas tetangga sebelah (Cyber Security).
Kalau mereka berhasil, dampaknya bukan cuma medali, tapi juga inspirasi. Anak-anak muda di kampung bisa bilang, “Ternyata skill itu keren juga, bisa bikin jalan-jalan ke luar negeri.”
Kadang kita terlalu sibuk jadi komentator, anak muda tetangga ikut lomba skill, kita bilang, “Ah, palingan menang juga cuma dapat piagam.” Lah, padahal piagam itu bisa jadi tiket ke karier global.
Pepatah Jawa bilang, “Jer basuki mawa bea” artinya keberhasilan butuh biaya dan usaha. Nah, biaya itu bukan cuma uang, tapi waktu, keringat, dan keberanian untuk belajar.
Kalau anak muda sekarang nggak dibekali skill, mereka bisa jadi “generasi skip” skip kerja, skip peluang, skip masa depan. Jangan sampai Indonesia cuma jadi pasar, tapi tidak punya pelaku. Jangan sampai kita cuma bangga jadi konsumen teknologi, tapi bingung kalau disuruh bikin.
WorldSkills ASEAN 2025 di Manila hanyalah satu panggung. Tapi maknanya jauh lebih besar, ini alarm buat dunia pendidikan kita. Bahwa ijazah memang penting, tapi skill lebih penting lagi.
Kita dorong sekolah-sekolah, lembaga kursus, bahkan pesantren sekalipun, untuk nggak alergi sama keterampilan baru. Mau itu robotik, coding, fashion, atau hospitality, semua punya nilai.
Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang rajin bikin slogan, tapi bangsa yang rakyatnya bisa “nge-skill.” Ingat pepatah “Orang yang punya ilmu bisa jadi guru, orang yang punya skill bisa jadi solusi”
Dan semoga, dari Manila ini, lahir motivasi bahwa setiap anak bangsa bisa jadi bintang. Asal berani berlatih, tekun, dan nggak takut kepedesan sambal perjuangan.[***]