BEBERAPA hari lalu, Gubernur Sumatera Selatan H. Herman Deru menerima kunjungan World Agroforestry (ICRAF), topiknya? bukan soal sawit, bukan pula soal kopi, melainkan soal ketahanan pangan masuk ke kurikulum muatan lokal sekolah, singkatnya, anak-anak Sumsel kelak bukan hanya bisa hitung pecahan, tapi juga bisa pecah telur ayam sendiri buat sarapan.
Dinas Pendidikan Sumsel menggandeng World Agroforestry (ICRAF) dan meluncurkan Gerakan Sumsel Mandiri Pangan (GSMP). Ada 34 sekolah yang jadi “kelinci percobaan” alias pilot project. Targetnya jelas, yakni murid-murid sejak dini terbiasa dengan nilai kemandirian, bukan cuma kemandirian jajan di kantin.
Gubernur Herman Deru bilang, inti GSMP adalah perubahan mindset, bahasa sederhananya, jangan cuma doyan beli, tapi juga bisa bikin. Masuk akal, kalau sejak SD anak-anak terbiasa melihat sayur tumbuh dari tanah, mereka paham makanan itu bukan mukjizat supermarket, tapi hasil kerja keras.
Pepatah lama mengingatkan, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”, kalau hari ini mereka menanam cabai di halaman sekolah, mungkin 20 tahun lagi mereka jadi generasi yang terbiasa produktif, bukan generasi yang bingung tiap harga bawang merah naik.
Tapi kita juga tahu, program pemerintah seringkali lebih cepat muncul spanduknya daripada hasilnya, ada acara peresmian, anak-anak disuruh pegang cangkul, lalu besoknya kebun sekolah tinggal jadi hiasan Instagram. Nah, ini jangan sampai terjadi.
Pepatah kedua yang relevan “Tong kosong nyaring bunyinya”, jangan sampai muatan lokal ketahanan pangan ini hanya ramai di rapat, tapi sepi di lapangan, kalau cabai sudah ditanam di sekolah, rawat sampai bisa dipetik, lalu masak mi instan di kantin biar terasa manfaatnya.
Oleh sebab itu, kurikulum ini jika, dijalankan dengan serius, ke depannya bisa jadi, pendidikan ketahanan pangan bisa jadi game changer, misalnya dengan karakter & keterampilan hidup, anak-anak bisa belajar sabar dan telaten, mereka paham proses, tidak semua bisa instan, hal ini sangat penting di era “scroll lima detik lalu bosan”.
Lalu dengan ekonomi rumah tangga, ilmu dari sekolah bisa dibawa pulang, siapa tahu halaman rumah jadi kebun kecil yang membantu dapur keluarga.
Tumbuh lebih tangguh
Kemudian makro, inflasi & ketahanan pangan, maksudnya kalau banyak rumah tangga mandiri pangan, kebutuhan di pasar bisa stabil. Inflasi cabai tidak lagi jadi bahan sindiran tiap tahun.
Namun, jangan lupakan guru karena mereka butuh pelatihan supaya tidak bingung, jangan sampai guru Matematika diminta ngajarin cara bikin kompos, lalu murid malah dihitungin luas lahan pakai teorema Pythagoras.
Tujuan program ini sebenarnya sederhana, tak lain untuk kemandirian tidak diwariskan lewat kata-kata, tapi lewat kebiasaan. Kalau anak-anak terbiasa tanam dan merawat sejak kecil, mereka akan tumbuh lebih tangguh menghadapi harga pangan yang kadang bikin orang dewasa stres.
Sebab, kemandirian pangan tidak berarti semua orang harus jadi petani, tapi setidaknya semua orang punya kesadaran bahwa makanan itu hasil kerja keras, bukan sekadar hasil transfer uang ke tukang sayur.
Oleh karena itu, program ini luar biasa di atas kertas, namun yang menentukan bukan rapat pejabat, melainkan tangan-tangan kecil murid yang benar-benar menanam, merawat, dan menuai hasil.
Kalau memang serius, Pemprov Sumsel harus pastikan pilot project ini benar-benar berjalan, ada monitoring, ada evaluasi, ada keberlanjutan. Jangan sampai cuma berhenti di 34 sekolah, kalau berhasil, lanjutkan ke ratusan sekolah lain.
Untuk itu biar anak betah, solusinya bikin kreatif, jangan hanya tanam, tapi ajak murid bikin vlog pertanian, lomba masak hasil panen, atau bazar kecil. Latih guru, maksudnya guru butuh pendampingan singkat agar siap jadi fasilitator, bukan sekadar penonton kebun sekolah, dan libatkan orang tua, karena kalau di rumah anak-anak bisa praktik lagi, efeknya lebih kuat.
Gerakan Sumsel Mandiri Pangan bisa jadi warisan penting kalau betul-betul dijalankan. Anak-anak bukan hanya akan belajar sains dan matematika, tapi juga belajar nilai hidup sabar, mandiri, dan produktif.
Singkatnya keberhasilan itu, bukan diukur dari panjangnya pidato gubernur, melainkan dari seberapa banyak murid pulang ke rumah sambil bilang “Bu, jangan beli cabai di pasar, kita tanam saja di halaman”.
Kalau kalimat sederhana itu bisa muncul, barulah kita bisa bilang Gerakan Pangan Mandiri bukan cuma program, tapi investasi karakter bangsa.[***]