Pendidikan

“Cara Wamen Atip Runtuhkan Momok Matematika di Kelas”

ist

SIAPA yang waktu kecil pernah keringetan dingin pas guru Matematika masuk kelas? Rasanya kayak mau ulangan tiap hari. Baru lihat papan tulis penuh angka sudah bikin dada sesak, mirip lihat tagihan listrik naik di akhir bulan. Matematika sering dianggap “hantu gentayangan” di sekolah sulit, menakutkan, dan bikin murid-murid menghindar.

Tapi pemandangan berbeda terjadi di SDIT Persis Al-Amin Sindangkasih, Ciamis, Jawa Barat belum lama ini, di sana, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, muncul bukan dengan pidato kaku atau bahasa birokratis yang bikin murid menguap. Justru, Wamen Atip dengan santai melempar kuis Matematika untuk anak kelas 2 SD. Bukan ujian mendadak, tapi kuis ceria yang bikin kelas riuh.

Dan… anak-anak menjawab dengan semangat. Ada yang benar, ada yang salah, ada juga yang jawabnya sambil nyengir malu. Semua ketawa, semua gembira. Di titik itu, terasa bahwa Matematika bukan lagi “monster berwajah angka”, tapi bisa berubah jadi permainan yang bikin penasaran.

Wamen Atip paham betul, kalau Matematika hanya diajarkan dengan cara menakutkan, murid pasti kabur sejauh-jauhnya. “Padahal, akar dari teknologi yang kita pakai hari ini dari algoritma sampai artificial intelligence berasal dari Matematika,” ujarnya.

Betul juga, coba bayangkan, tanpa Matematika, mungkin kita nggak bisa pesan ojek online, nggak bisa belanja di marketplace, bahkan nggak bisa bikin filter kucing di Instagram, semua ada hitungan, ada rumus, ada logika.

Tapi masalahnya, banyak guru (dan kurikulum lama) yang mengajarkan Matematika kayak ngajarin murid jadi akuntan negara sejak SD. Rumus datang bertubi-tubi, soal cerita kayak sinetron tanpa akhir, sementara anak-anak baru bisa ngitung kelereng. Wajar kalau banyak murid alergi angka.

Di sinilah gestur kecil Wamen jadi penting. Kuis sederhana jadi simbol bahwa pembelajaran Matematika bisa dekat dengan kehidupan sehari-hari, bisa pakai tawa, bisa bikin penasaran, bahkan bisa jadi mainan.

Ada pepatah Sunda bilang, “Lamun teu ngakal, bakal kakelek” artinya, kalau tidak menggunakan akal, kita bisa terjebak. Nah, Matematika adalah salah satu cara melatih akal agar tidak mudah terjebak masalah kehidupan.

Albert Einstein menulis dalam bukunya Out of My Later Years (New York: Philosophical Library, 1954): “Education is not the learning of facts, but the training of the mind to think”

Artinya, pendidikan bukan sekadar menjejalkan fakta, tetapi melatih otak untuk berpikir. Matematika seharusnya tidak dijadikan beban hafalan, melainkan sarana mengasah logika.

Motivasi ini yang coba dibawa Wamen Atip, guru jangan hanya mengulang rumus, tapi kasih contoh dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hitung uang jajan, bandingkan harga cilok, atau ukur panjang tali layangan. Dari hal-hal kecil, anak belajar tanpa sadar sedang pakai Matematika.

Kalau kita ingin meniru gaya Wamen Atip yang santai tapi mengena, ada beberapa tips sederhana:

  1. Gunakan permainan
    Matematika bisa hadir lewat kuis, tebak angka, atau permainan kartu. Anak-anak lebih cepat tanggap kalau belajar sambil main.

  2. Bawa ke dunia nyata
    Ajak anak menghitung uang belanja, membagi kue, atau mengukur tinggi tanaman. Dengan begitu, Matematika terasa relevan, bukan hanya di buku.

  3. Pakailah cerita lucu
    Misalnya, “Jika Pak Budi punya 10 ayam, lalu 3 kabur ke kandang tetangga, berapa sisa ayam Pak Budi?” Anak pasti ketawa dulu, baru menghitung.

  4. Teknologi sebagai kawan
    Wamen Atip juga meluncurkan Papan Interaktif (Interactive Flat Panel) untuk membantu pembelajaran visual. Anak zaman sekarang lebih senang gambar bergerak daripada papan tulis statis.

  5. Beri apresiasi, bukan hukuman
    Kalau anak salah, jangan langsung bilang “bodoh”. Katakan “Hampir benar, coba kita lihat cara lain.” Dengan begitu, anak belajar dengan rasa ingin tahu, bukan rasa takut.

Kunjungan Wamen Atip di Ciamis bukan sekadar agenda formal. Ada pesan penting: pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan bangunan megah atau teknologi canggih, tapi dimulai dari cara guru mengajar.

Di SD, kuis sederhana bisa mengubah suasana kelas. Di pesantren, Wamen mengingatkan bahwa tempat belajar agama juga bisa jadi ruang inovasi.

Di Banjar, ia memotivasi siswa agar berani bermimpi besar. Semua punya benang merah pendidikan harus dekat dengan anak, bukan melayang di awang-awang. Bahkan, program revitalisasi sekolah swasta dan bantuan alat digital pun bermuara pada hal yang sama murid harus merasa belajar itu menyenangkan, karena tanpa kegembiraan, angka berapa pun jadi beban.

Kalau dulu Matematika identik dengan papan tulis penuh angka, sekarang waktunya kita bikin Matematika identik dengan tawa, rasa ingin tahu, dan kreativitas. Gestur Wamen Atip di Ciamis jadi contoh kecil, tapi bermakna besar bahwa perubahan pendidikan bisa dimulai dari satu kuis sederhana.

Pepatah Sunda bilang, “Elmu tanpa amal ibarat tangkal tanpa buah”. Ilmu yang hanya jadi hafalan tak ada gunanya. Begitu juga Matematika, kalau hanya jadi rumus hafalan, anak cepat lupa. Tapi kalau jadi bagian dari hidup, anak akan terus membawa logika itu sampai dewasa.

Jadi, kalau mau generasi Indonesia melek teknologi, berani berinovasi, dan tidak minder menghadapi kecerdasan buatan, langkah pertama adalah buat belajar Matematika menyenangkan.

Nelson Mandela, dalam pidatonya di Madison Park High School, Boston (23 Juni 1990), menyatakan “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”

Dan di tangan guru yang kreatif, bahkan satu kuis sederhana bisa jadi senjata ampuh untuk mengubah wajah pendidikan kita.

Jadi, mari kita ikuti jejak sederhana itu buat belajar Matematika menyenangkan, bukan menakutkan, karena masa depan teknologi, inovasi, bahkan kehidupan sehari-hari, semuanya bertumpu pada logika angka yang kita latih sejak dini.[***]

Terpopuler

To Top