PAGI itu di halaman TK YPI Indra 2 di Jalan Sosial, Km 5, ramai oleh suara canda dan langkah-langkah kecil, anak-anak berbaris rapi seperti pasukan miniatur yang siap berperang, eh… berjuang menaklukkan dunia belajar. Biasanya, upacara bendera adalah rutinitas Senin yang bikin guru menahan napas, tapi kali ini ada bumbu spesial, Ketua Tim Penggerak PKK Kota Palembang, Dewi Sastrani Ratu Dewa, hadir sebagai pembina upacara.
Bayangkan, anak TK yang biasanya lari-lari mengejar teman atau kepiting di halaman, tiba-tiba jadi superhero disiplin, ada yang memegang mikrofon dengan serius, membaca teks Pancasila seolah sedang menyelamatkan dunia, bahkan yang tugasnya mengibarkan bendera melompat-lompat karena takut tali putus. “Ini kesempatan emas,” kata seorang guru sambil menahan tawa, “anak-anak belajar bahwa bertemu tokoh publik itu tidak menakutkan, tapi justru bikin berani.”
,Media biasanya menulis soal siapa yang datang, siapa yang naik panggung, siapa yang dapat trofi, jarang yang mengulik sisi psikologis anak-anak. Padahal, momen ini bagaikan emas anak-anak belajar sopan santun, disiplin, keberanian, dan empati. Figur publik hadir bukan sekadar “foto-foto seremonial”, tapi sebagai cermin sosial anak melihat orang penting menyapa mereka dengan ramah, memberi contoh berbicara santun, dan menghargai usaha kecil.
Seperti kata psikolog anak ternama, Dr. Lawrence J. Cohen, “Permainan dan interaksi sosial sejak dini adalah fondasi karakter anak-anak belajar siapa mereka dan bagaimana berinteraksi dengan orang lain.” (Cohen, Playful Parenting, 2001).
Di sini, Dewi Sastrani menjadi “permainan hidup nyata” yang membuat anak-anak belajar dengan cara paling natural meniru dan meresapi.
Kita juga tidak bisa melewatkan adegan anak-anak membaca doa sebelum makan, ada yang lupa kata-kata, ada yang menambahkan “amin” ekstra seperti efek khusus film, dan ada yang mengunyah sambil tersenyum lebar, menunjukkan bahwa belajar agama dan sopan santun bisa dibungkus dengan humor alami anak-anak.
Dewi Sastrani juga membagikan Makanan Bergizi Gratis (MBG) sambil menyerahkan kotak makanan, ia berkata, “Makan ya, jangan lupa berdoa.” Sontak, anak-anak berebut kotak dengan semangat lebih tinggi daripada rebutan hadiah ulang tahun.
Adegan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan karakter tidak hanya di papan tulis, tapi juga lewat pola hidup sehat, anak belajar bersyukur, disiplin, dan makan dengan santun, semua sambil tersenyum.
Perumpamaan klasik pas banget “Seperti menanam padi, karakter anak harus disiram dengan cinta, disiplin, dan sedikit humor”. Tanpa ketiganya, “padi” bisa layu, alias anak kehilangan motivasi.
Kegiatan ini membuka mata kita, interaksi dengan figur publik bisa jadi laboratorium sosial mini, anak-anak belajar tentang keberanian berbicara di depan umum, memimpin doa, membacakan teks Pancasila. Disiplin, yakni baris rapi, mengikuti perintah, menunggu giliran, dan sosialisasi, yakni menyapa tamu, berbagi senyum, berebut MBG dengan tertib.
Menurut pengamat pendidikan anak, Prof. Dr. Susan Engel dari Harvard Graduate School of Education, “Anak-anak menginternalisasi norma sosial lebih cepat melalui interaksi nyata dengan figur yang mereka kagumi, bukan hanya melalui ceramah guru.” (Engel, The Hungry Mind, 2019). Jadi, kunjungan Dewi Sastrani adalah bentuk edukasi sosial yang terselubung tapi efektif.
Cerita lucu anak-anak yang terkadang salah ucap atau melompat kegirangan bukan hanya menghibur, tapi mengajarkan kita filosofi hidup sederhana, belajar karakter itu bisa menyenangkan.
Pendidikan usia dini bukan sekadar membaca huruf atau angka, tapi juga mengasah hati, empati, dan keberanian. Figur publik yang bijaksana hadir sebagai mentor hidup mini, memberi anak contoh nyata tanpa harus memberi ceramah panjang.
Jadi, yang perlu digarisbawahi figur publik dan interaksi nyata menghasilkan media pembelajaran karakter yang efektif, upacara bendera hari itu bukan sekadar rutinitas, tapi laboratorium disiplin, keberanian, dan sopan santun.
Anak-anak belajar melalui imitasi, tawa, doa, dan makan bersama, seperti pepatah Jawa “Aja kuminter dhewekan, nanging kudu gelem sinau saka kabeh”. Anak-anak TK itu sudah belajar hal besar dari momen kecil, dan kita, orang dewasa, juga bisa meneladani mereka.[***]