Pendidikan

Ketika Anak SMP Buktikan, Mimpi Nggak Butuh Ijazah Dulu

komdigi

“Misha, Si Kecil yang Main di Level Dunia”

BARU usia 13 tahun biasanya sebagian besar anak SMP masih sibuk nyari pensil 2B yang suka raib tiap kali ujian, atau debat kecil soal siapa yang paling jago bikin filter TikTok biar pipi kelihatan tirus. Tapi di pojokan Malang sana, ada satu anak yang malah sibuk bikin engine game. Namanya Adelia Misha, bocah yang kalau ngomongin coding, bikin kepala orang dewasa jadi error syntax.

Misha bukan anak orang kaya yang punya PC gaming dengan lampu RGB seharga motor, katanya, laptop yang dia pakai sering panas kayak teflon habis goreng tempe mendoan, namun semangatnya nggak ikut-ikutan ngehang, dengan modal nekat dan tutorial dari YouTube, dia bikin gim berjudul “Mocchi Mitten Bubble Revenge”. Jangan salah, ini bukan game tentang gosip sekolah atau balas dendam mantan, ini karya orisinal, buatan anak SMP yang belum punya KTP, tapi sudah punya visi besar yang bikin game, bukan drama.

Bahkan waktu teman-teman sebayanya masih sibuk ngitung luas trapesium, Misha sudah mikir soal logika collision detection dan game loop.
Kalau kita lihat timeline-nya, mungkin dari luar kelihatan absurd. Tapi di dunia kreatif, absurd itu justru bahan bakar.

Kata orang bijak, “Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya mendarat juga di sawah”. Nah, kalau Misha, setinggi-tingginya mimpi dia terbang, malah mendarat di Bali, ikut ajang Indonesia Game Developer eXchange (IGDX) 2025.
Dan hebatnya, dia ke sana naik bus, bukan jet pribadi. Bayangin, perjalanan Malang – Bali yang biasanya buat wisata sekolah, dia manfaatkan buat pamer karya ke dunia.

Kalau ini bukan definisi dedikasi, entah apa lagi, di sekolah, mungkin nilai matematika Misha belum tentu sempurna, tapi siapa tahu, rumus logika pemrogramannya lebih canggih dari pelajaran aljabar.

Masalahnya, sistem pendidikan kita kadang masih ngotot semua anak harus muat di satu kotak. Padahal, ada anak kayak Misha yang kotaknya segitiga, bukan persegi.

Bukannya nggak bisa belajar, tapi cara belajarnya beda, lebih suka nyoba langsung daripada ngafal dulu.

Coba deh, kapan terakhir kali sekolah ngajarin bikin game engine?, yang ada, anak-anak kreatif kayak Misha justru belajar di luar kelas, di dunia maya yang penuh bug tapi juga penuh peluang.

Pepatah lama bilang, “Guru terbaik adalah pengalaman”  karena di zaman digital ini, guru terbaik juga bisa datang dari YouTube, Discord, atau bahkan forum Reddit.

Asal niat belajar kuat, bukan cuma sekadar scrolling sambil rebahan.

Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) Shafiq Husein bilang, kualitas gim buatan anak bangsa sekarang udah naik kelas, menurutnya, karya-karya dari pengembang lokal bahkan dari tingkat pelajar  sudah mampu bersaing di pasar global, khususnya Asia Tenggara.

“Para peserta pameran di sini, bahkan dari tingkat pelajar pun sudah dapat bersaing dengan pasar global, khususnya pasar Asia Tenggara. Hal ini terbukti dengan tiga gim asal Indonesia yang meraih penghargaan di Kuala Lumpur, Malaysia. Dari lima kategori, tiga di antaranya dimenangkan oleh kita.

Itu bukti bahwa kita sudah siap dari segi kualitas dan industri, hanya perlu sedikit dorongan lagi dari para pemangku kepentingan agar semakin matang,” ujar Shafiq.

Ia menegaskan, AGI akan terus mendukung pengembang muda seperti Misha, serta memperkuat kerja sama dengan pemerintah untuk memajukan industri gim nasional. “Kami akan terus bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital. AGI berkomitmen melanjutkan perjuangan para pengembang gim dan menjadi jembatan bagi para pemangku kepentingan yang ingin berkolaborasi atau masuk ke industri gim di Indonesia,” tutupnya mengutip laman resmi komdigi, minggu.

Kata Shafiq ini jadi semacam save point bagi semangat industri kreatif Indonesia dari tangan-tangan muda seperti Misha, masa depan game lokal bisa benar-benar naik ke level berikutnya.

Dari Malang ke Dunia

IGDX 2025 di Bali jadi saksi betapa anak-anak muda Indonesia nggak cuma jago main game, tapi juga jago bikin game.
Dulu orang tua sering ngomel, “Main game terus, nanti nggak jadi apa-apa!”. Eh, sekarang malah banyak yang jadi apa-apa gara-gara game, dari DreadOut sampai Coral Island, karya anak bangsa udah nangkring di Steam dan digemari pemain dari seluruh dunia.

Misha bisa jadi generasi baru yang meneruskan estafet itu, dan yang bikin lucu, di tengah gegap gempita Bali, bocah ini tampil kalem, kayak nggak nyadar kalau karyanya bikin investor garuk-garuk kepala, bukan karena bingung, tapi karena kagum.

Kisah Misha adalah tamparan halus buat kita yang sering nyalahin umur atau ijazah sebagai alasan belum mulai.

Padahal, di zaman sekarang, batas antara belajar dan bekerja udah kabur.

Anak SMP bisa bikin startup, mahasiswa bisa jadi mentor, dan yang udah kerja pun masih bisa belajar dari bocah SMP.

Seperti kata pepatah Jawa, “Jer basuki mawa bea”, keberhasilan butuh biaya, tapi biaya itu bukan selalu uang, bisa waktu, tenaga, dan tekad,  dan Misha sudah bayar semua itu dengan ketekunan.

Jadi, kisah Misha bukan sekadar kisah anak jenius, tapi kisah tentang kemerdekaan berpikir.
Tentang bagaimana mimpi nggak harus nunggu ijazah, dan bahwa kreativitas sering lahir dari ruang-ruang yang dianggap “tidak penting”

Di dunia yang sibuk mengukur pintar dari nilai rapor, sebaliknya Misha datang membawa definisi baru yaitu cerdas adalah berani mencoba hal baru meski belum ada di buku pelajaran.

Oleh karena itu, kalau kamu masih takut mulai sesuatu karena belum siap,  lihatlah Misha, dia nggak nunggu diwisuda buat mulai berkarya, dia cuma butuh laptop setia, niat, dan kopi sachet  sisanya tinggal debug dan doa, apalagi dengan  di dunia yang serba cepat ini, ijazah mungkin masih penting, tapi mimpi yang dikerjakan, jauh lebih bernilai daripada mimpi yang cuma disimpan di catatan harian.

Seperti kata pepatah lama yang bisa kamu kutip ke anak cucu nanti “Kalau mau jadi legenda, jangan tunggu lulus dulu”.[***]

Terpopuler

To Top