Sumselterkini.co.id, “Kalau harga ayam murah terus, jangan-jangan nanti ayamnya juga ikut mogok bertelur karena stress!”
Begitulah celetuk seorang emak-emak di pasar sabtu akhir pekan lalu, saat ditanya kenapa tersenyum senang meski sedang antre beli telur. Tapi siapa sangka, senyuman warga kadang menyimpan derita di sisi lain di kandang peternak.
Kata orang tua zaman dulu, “harga boleh naik, asal jangan harga diri.” Tapi ternyata, di zaman sekarang, harga ayam pun bisa bikin harga diri para peternak turun drastis, apalagi kalau jualannya lebih murah dari gorengan depan masjid.
Di Sumsel Command Center yang katanya canggih seperti ruang kendali NASA, Sekretaris Daerah Sumatera Selatan, Pak Edward Candra, duduk mantap di depan layar. Beliau tidak sedang menonton sinetron atau vlog masak rendang, tapi ikut Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Daerah secara daring.
Acara di Senin pagi ini dipimpin langsung Sekjen Kemendagri, Tomsi Tohir, yang gayanya tegas dan suara bass-nya bikin merinding para kepala daerah se-Indonesia yang ikut rapat dari Sabang sampai Merauke dan juga dari tempat karaoke hingga ruang tunggu Bandara.
Topik pembahasan? Inflasi, tentu saja. Si biang kerok yang sering datang tanpa permisi, tapi pulangnya bawa keresek penuh tagihan. Nah, Pak Tomsi menekankan daerah-daerah dengan inflasi dan IPH (Indeks Perkembangan Harga, bukan Indeks Patah Hati) tinggi harus angkat bicara. Bukan cuma curhat, tapi juga lapor apa yang sudah dilakukan dan apa yang bikin mereka megap-megap.
Inflasi ini memang licik. Ia bisa muncul dari mana saja, harga emas dunia naik karena krisis Timur Tengah, tarif listrik pascabayar nongol kayak hantu di akhir bulan, sampai diskon paket internet yang ternyata bukan diskon beneran, tapi jebakan betmen kuota habis.
Kata Ibu Pudji dari BPS, secara nasional, inflasi April 2025 tercatat 1,71% dibanding bulan sebelumnya. Masih lebih ramah dibanding bulan lalu, tapi tetap lebih tinggi dari April 2024. Artinya, walau sudah minum teh jahe tiap pagi, ekonomi kita tetap masuk angin ringan.
Yang menarik adalah andil terbesar inflasi datang dari kelompok Perumahan, Air, Listrik, dan BBRT alias Bahan Bakar Rumah Tangga dengan sumbangan 0,98%. Singkat kata, hidup makin mahal, bahkan sebelum kita sempat keluar rumah.
Tapi yang bikin heboh adalah kabar dari Palembang harga daging ayam ras di sana terendah se-Indonesia. Ya, ..murahnya bukan main, sampai-sampai netizen curiga ayamnya lulusan diskon besar-besaran. Namun, di balik kabar baik ini, terselip air mata para peternak. Harga ayam yang terlalu murah bisa bikin mereka megap-megap beli pakan, apalagi kalau harus beli cicilan kandang pakai PayLater.
Maka dari itu, Pak Edward dan tim daerah diingatkan untuk tidak hanya bangga jadi “kota ayam termurah”, tapi juga mesti kasih perhatian pada peternak ayam. Soalnya, kalau peternaknya bangkrut, jangan salahkan kalau nanti ayam kita cuma bisa kita lihat di TikTok, bukan di piring makan.
Di sisi lain, Deputi NFA, Pak Andriko, mengingatkan soal diversifikasi pangan berbasis potensi lokal. Ini penting. Karena Indonesia itu kaya tanah subur, pohon pepaya tumbuh sendiri, dan ubi bisa nyempil di pekarangan rumah. Tapi kalau semua masih ngotot makan nasi dan ayam goreng, ya gimana pangan lokal mau naik daun?
Makanya, perlu ada Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk mengangkat potensi lokal. Entah itu membuat festival pepaya, lomba masak singkong, atau talkshow berjudul “Temulawak Superfood dari Dapur Nenek.”
Yang penting, jangan semua diserahkan ke ibu PKK dan karang taruna perlu koordinasi lintas sektor, biar jalan bareng, bukan jalan di tempat sambil nyanyi Mars Inflasi.
Inflasi itu, seperti tamu tak diundang yang doyan ngambil camilan di toples orang. Ia tak bisa diusir pakai sapu lidi, tapi bisa dikendalikan kalau semua kompak.
Pemerintah pusat, daerah, peternak, pedagang, dan ibu-ibu pasar semua harus gotong royong. Ayam murah memang menggoda, tapi jangan sampai menggoda para peternak bangkrut. Dan jangan lupa, kekayaan lokal seperti ubi, talas, dan pepaya juga bisa jadi pahlawan ekonomi asal mau dikelola dan dipromosikan, bukan cuma dijadikan konten lucu di Instagram.
Sumsel boleh bangga dengan stabilnya inflasi, tapi kebanggaan itu tak boleh meninabobokan. Harga murah memang menyejukkan telinga konsumen, tapi juga bisa mencekik produsen.
Saatnya Pemda bukan hanya mencatat angka, tapi juga mendengar suara peternak, petani, dan pelaku pangan lokal. Jangan sampai harga murah jadi kabar gembira palsu. Jangan bangga pula unggul dalam harga, tapi abai pada hulu produksi.
Dan yang paling penting pepaya, ubi, jagung, dan talas bukan bahan pangan kelas dua, mereka hanya butuh panggung yang setara di perencanaan, anggaran, dan kebijakan. Jangan terus membanggakan ‘pangan lokal’ di banner kegiatan, tapi masih mengimpor bawang dan jagung dengan alasan “sudah terlanjur.”
Seperti kata pepatah dagelan dari sawah sebelah. “Ayam boleh murah, tapi jangan sampai peternak mati suri, pepaya boleh lokal, asal tak cuma jadi warna-warni di pagar balai desa.”.[***]