Pemprov Sumsel

Koperasi Merah Putih, Desa Seharusnya Tak Lagi Jadi Anak Tiri Ekonomi

ist

Sumselterkini.co.id,-Di tengah geliat Kampung Sukodadi yang biasanya sibuk dengan suara wajan goreng tempe dan anak-anak main lato-lato, hari itu suasananya beda. Koperasi Kelurahan Merah Putih tiba-tiba jadi pusat semesta, semacam “minimarket rasa negara” yang mendadak dikunjungi rombongan pejabat pusat.

Tapi ini bukan kunjungan iseng sambil makan pempek, melainkan bagian dari misi besar memastikan koperasi desa nggak lagi hidup segan mati pun ogah. Yang ditengok pun bukan bangunan kosong penuh rak berdebu, tapi koperasi yang isinya komplet dari jamur tiram sampai layanan Brilink, dari ayam potong sampai pupuk subsidi. Lengkap sudah, tinggal tambahin tempat ngopi, bisa jadi tempat nongkrong paling strategis se-kecamatan.

Bayangkan, satu kelurahan punya grosir sendiri. Bukan grosir yang cuma jualan bantal dan guling, tapi jualan harapan dan kemandirian ekonomi, mulai dari jamur, ayam, ikan patin, sampai beras dan pupuk semua ada. Kalau ini bukan definisi mini-Indonesia, kita harus revisi Kamus Besar Kehidupan Sehari-hari.

Pak Zul begitu Zulkifli Hasan akrab disapa, ibarat orang tua bijak di kampung yang kasih wejangan sambil nunjuk lumbung padi. Beliau bilang, koperasi ini bukan pakai duit APBD, bukan juga APBN. Murni usaha rakyat, bukan hasil endorse dari artis TikTok. Ini penting, karena koperasi yang sehat itu seperti cinta sejati tidak tergantung dana dari luar, tapi dari kepercayaan dan komitmen dua pihak. Dalam hal ini, rakyat dan koperasi.

Dan kita patut mengapresiasi, sebab program koperasi ini bukan koperasi simpan kenangan, tapi koperasi simpan masa depan. “Biar tiap desa nggak beli barang kemahalan,” kata Pak Zul. Lah iya, masak mau beli tepung saja harus ke kota, macam zaman kakek-nenek kita naik sepeda puluhan kilometer cuma buat beli sabun cap beruang.

Menariknya lagi, koperasi ini juga jadi pusat layanan. Ada Brilink, apotek, bahkan Pustu. Lengkap sudah, cuma belum ada kursus dangdut dan pelatihan stand-up comedy. Tapi tenang, mungkin itu versi 2.0 nanti.

Sebagai penutup acara, ditandatanganilah MOU dengan berbagai BUMN strategis dari Bulog sampai Pertamina Patra Niaga, dari BRI sampai Pupuk Indonesia. Wah, koperasi ini nggak main-main, ini semacam Avengers versi ekonomi kerakyatan. Kalau ini sukses, bisa jadi bahan studi banding internasional. Siapa tahu, koperasi Sukodadi nanti buka cabang di Singapura, atau minimal di Jakarta Timur.

Dan itulah makna koperasi kelurahan hari ini ketika desa tidak lagi jadi tempat mencari alamat, tapi jadi pusat ekonomi rakyat. Di mana warga tak hanya belanja, tapi juga bisa jualan, nabung, dan dapat layanan kesehatan.

Sukodadi hari ini memberi pelajaran penting perubahan itu tak melulu harus dari rapat panjang berlembar-lembar notulen, kadang cukup dari satu koperasi yang serius, satu gubernur yang cepat tanggap, dan satu menteri yang tahu bahwa keadilan pangan bukan slogan, tapi soal jarak dan harga.

Kalau semua desa punya koperasi seperti ini, bisa jadi ke depan yang antre beli beras bukan rakyat ke kota, tapi malah kota ke desa, dan saat itu terjadi, jangan kaget kalau nanti kita temukan ekspatriat dari Jakarta tinggal di Sukodadi karena katanya, “Di sini belanja lebih hemat, dan ayamnya organik”. Tertawa boleh, tapi koperasi ini serius. Jadi, mari kita grosirkan masa depan, jangan ecerkan nasib rakyat.

Sukodadi hari ini bukan cuma dikunjungi menteri dan gubernur, tapi dikunjungi juga harapan, harapan bahwa koperasi bukan sekadar bangunan dengan spanduk kusam dan pengurus yang jarang masuk kantor. Tapi benar-benar jadi dapur kedua warga, tempat hidup dimulai dan ekonomi dilayani. Di era di mana harga telur naik turun macam perasaan ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, kehadiran koperasi semacam ini adalah oase di tengah gurun ketidakpastian.

Pak Zulkifli Hasan dan Herman Deru tak sedang pamer pencitraan, mereka sedang mendemonstrasikan bahwa kolaborasi antara pusat dan daerah itu bisa kok berhasil, asal niatnya bukan mau numpang selfie. Koperasi Kelurahan Merah Putih ini ibarat warung kelontong zaman now nyambung ke BUMN, nyambung ke layanan digital, dan nyambung juga ke hati rakyat.

Dan kalau boleh kita kasih gambaran lebih dramatis, koperasi ini seperti powerbank buat ekonomi rakyat. Saat HP kehidupan warga mulai ngedrop karena inflasi, kemiskinan, dan kebutuhan harian yang makin pedas kayak sambal ulek, koperasilah yang colokin kabel dan bilang. “Tenang, kuy recharge bareng-bareng!”.

Kita tak butuh koperasi yang hanya aktif pas Rakernas, kita butuh koperasi yang aktif pas emak-emak butuh minyak goreng, pas petani cari pupuk, dan pas simbok butuh beli obat anak. Jadi koperasi ini bukan tempat simpan brosur, tapi tempat simpan mimpi.

Dan kalau semua daerah di Indonesia bisa punya koperasi sekeren ini, jangan-jangan nanti yang belajar ke kita itu bukan cuma dari provinsi lain, tapi negara tetangga. Siapa tahu nanti ada Koperasi Merah Putih Cabang Kuala Lumpur, atau Sukodadi Branch of People’s Cooperative Singapore Division.

Marilah kita rawat koperasi ini seperti kita rawat cinta lama yang bersemi kembali penuh perhatian, dijaga stabilitasnya, dan jangan disia-siakan, jangan sampai koperasi ini jadi cerita manis di awal, lalu tergeletak di sudut sejarah karena minim perhatian. Karena ingat, “Boleh kita tak punya warisan banyak, tapi jangan sampai tak mewariskan sistem ekonomi kerakyatan yang tangguh”.

Jadi, kalau hari ini kita masih mengeluh harga mahal, penghasilan pas-pasan, dan akses ekonomi jauh dari jangkauan, mungkin jawabannya bukan di supermarket gede atau toko online luar negeri, tapi di seberang jalan, di koperasi kelurahan yang kita bangun sendiri pelan-pelan tapi pasti. Mari grosirkan impian, jangan ecerkan harapan. Mari kita jadikan koperasi bukan hanya soal dagang, tapi soal martabat.[***]

Terpopuler

To Top