Sumselterkini.co.id, – Ada masanya pelatihan cuma soal buka buku, duduk manis, lalu pulang dengan sertifikat yang nasibnya digulung di bawah TV atau dijepit klip di map plastik buat lamaran kerja. Tapi kali ini beda. Ada yang terasa lebih berapi-api dari sekadar kursus teknis Pertamina Local Community Leaders Program 2025 Zona 4, kegiatan itu dihadiri langsung Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru dengan menggabungkan antara pengeboran migas dengan pengeboran mental juang anak muda. Lengkap dengan markas tentara sebagai panggung pelatihannya, biar makin sangar dan tidak gampang ngambek kalau ditegur bos nanti.
Sebanyak 75 pemuda dari berbagai daerah dikarantina bukan buat ikut audisi boyband, tapi buat digembleng ala barak tentara, dari 10 hingga 23 Juni 2025. Materinya campur sari mulai dari teknisi AC (karena dunia ini sudah terlalu panas secara suhu dan situasi), petugas keselamatan kerja (biar tidak asal pakai sandal jepit saat ngelas), sampai jurnalistik (karena yang menulis sejarah kadang bukan yang ikut perang, tapi yang pegang pena).
Kalau dipikir-pikir, ini bukan cuma pelatihan kerja, tapi pelatihan hidup. Kita tahu banyak pelatihan yang ujung-ujungnya cuma jadi ajang foto-foto seragam dan update story IG. Tapi yang ini terasa agak beda, minimal dari cara Gubernur menyampaikan semangatnya. Dalam sambutannya, Herman Deru ibarat memberi vitamin moral pemuda jangan hanya cari kerja, tapi harus create kerja. Kalimat ini lebih panas dari obeng yang kelamaan dijemur di dashboard.
Tentu, pujian layak diberikan kepada Pertamina, di tengah badai pengangguran, mereka tidak ikut-ikutan ngumpet di balik regulasi, mereka justru muncul membawa obor pelatihan yang katanya bukan sekadar transfer skill, tapi juga upgrade moralitas dan kepemimpinan. Tapi, mari kita jujur program bagus seperti ini kadang cuma muncul sekali musim panen, atau hanya sebatas seremoni berbingkai spanduk dan minuman botol di meja panelis.
Yang bikin gatal bertanya, apakah program ini akan berlanjut? Atau hanya tayang sekali seperti sinetron pilot episode yang tidak lolos rating? Ini penting. Soalnya, pemuda bukan paku tembok yang kuat hanya sekali ketok. Mereka butuh kesinambungan, bahkan kalau perlu, follow-up job placement, mentoring, sampai permodalan buat bikin usaha sendiri. Karena pelatihan tanpa tindak lanjut itu ibarat ngasih kursus berenang di padang pasir bikin semangat, tapi tidak ada kolamnya. [Mudah-mudahan berlanjut terus!].
Bandingkan misalnya dengan model pelatihan di Jerman. Di sana, program dual vocational training bukan cuma teori dan praktik, tapi juga keterlibatan langsung industri sebagai penjamin kerja. Anak-anak muda di Frankfurt dan Hamburg bisa magang di pabrik sambil kuliah, dan begitu lulus langsung diserap. Bahkan menurut OECD, tingkat pengangguran muda di Jerman termasuk terendah di Eropa, salah satunya karena model seperti ini.
Kita juga bisa ngintip tetangga dekat Malaysia punya program Skim Latihan 1Malaysia (SL1M) yang mewajibkan BUMN dan perusahaan besar menyerap peserta pelatihan minimal 6 bulan, dengan tunjangan dan mentoring. Hasilnya? Banyak lulusan SL1M kini justru naik pangkat jadi penyerap tenaga kerja.
Lalu, bagaimana dengan kita? Ya jangan sampai pelatihan ini cuma jadi foto-foto bareng Pak Gubernur dan panitia, lalu besoknya peserta pulang lagi ke kampung, nyari sinyal buat upload, dan kembali menjadi pengangguran berseragam.
Simbol kuat
Harus diakui, penggunaan lokasi pelatihan di Markas Batalyon Zeni Tempur punya simbol kuat pelatihan ini memang bukan untuk generasi rebahan yang cita-citanya cuma jadi konten kreator unboxing mie instan. Ini pelatihan untuk para pejuang ekonomi mikro yang nantinya akan menggali lebih dalam bukan cuma tanah, tapi potensi daerah masing-masing.
Gubernur bahkan menyelipkan bocoran soal program Koperasi Desa yang akan diluncurkan 12 Juli nanti. Ini bisa jadi jembatan emas, asal jangan hanya jadi koperasi yang isinya dagangan pulsa dan kopi sachet. Kalau dikelola dengan benar, koperasi bisa jadi lokomotif ekonomi desa. Tapi kalau dikelola asal-asalan, bisa jadi tempat nyimpan proposal yang berdebu.
Yang kita harapkan, program seperti ini tidak berhenti di Sumsel saja. BUMN lain mestinya ikut urunan ide dan aksi. Pemuda di daerah penghasil energi lainnya juga punya potensi yang tak kalah nendang. Jangan sampai pelatihan semacam ini hanya dinikmati anak-anak muda yang kebetulan dekat dengan spotlight kamera.
Dan satu hal penting jangan jadikan program ini sebagai alat kampanye atau sekadar alat pencitraan, karena pemuda itu seperti karet ketapel makin ditarik, makin bisa melesat jauh asal jangan ditarik-tarik hanya untuk kepentingan lima tahunan.
Pelatihan ini ibarat benih yang baru ditanam di ladang harapan. Tapi benih tidak akan tumbuh kalau tidak disiram, tidak dirawat, dan malah diinjak-injak kesibukan politik dan formalitas. Jangan sampai 75 pemuda ini hanya jadi angka statistik pelatihan. Mereka harus benar-benar tumbuh menjadi pemimpin komunitas, pengusaha kecil, dan inspirasi lokal.
Karena sejatinya, perubahan itu bukan datang dari seminar akbar di hotel mewah, tapi dari pelatihan-pelatihan seperti ini yang digelar di markas tentara, di mana keringat dan semangat bertemu dalam satu medan tempur bernama harapan.
Pepatah lama bilang “Jangan ajari anak panah untuk menjadi lurus, ajari dia arah dan tujuan”. Dan pelatihan ini, semoga menjadi arah yang tak hanya menunjuk ke pekerjaan, tapi ke masa depan yang penuh karya dan keberdayaan. Kalau barak militer bisa melatih disiplin, maka negara dan daerah. harus bisa menjamin kesinambungan. Jangan biarkan peserta pulang hanya membawa sertifikat dan semangat yang cepat kedaluwarsa.
Masa depan bukan hanya ditentukan oleh semangat dua minggu, tapi oleh keberanian berbulan-bulan menabrak batas, menolak nasib, dan memahat jalan sendiri. Jangan biarkan pelatihan ini berakhir jadi kalender dinding dan file .pdf laporan akhir tahun.
Lihatlah negara seperti Korea Selatan, yang membina wirausahawan muda dengan incubator program berkelanjutan, bukan cuma pelatihan singkat. Atau Vietnam yang mendampingi pelaku usaha muda lewat koperasi digital dengan pasar ekspor terhubung. Di sana, pelatihan bukan akhir, tapi pintu. Di kita, jangan sampai pelatihan malah jadi pintu keluar semangat.
Maka sudah waktunya pelatihan-pelatihan seperti ini disambung dengan sistem pembinaan yang jelas. Didesain berlapis, bukan satu kali duduk. Diberi jalan, bukan cuma diberi wejangan. Karena jika hanya sekadar cetak-cetak pelatihan, kita hanya akan punya generasi yang penuh sertifikat, tapi miskin aktualisasi.
Kata pepatah lagi, “jangan biarkan benih harapan tumbuh sendirian di ladang yang tak disirami.” Mari kita pastikan pelatihan ini bukan titik akhir, tapi titik tolak, bukan pamungkas acara, tapi permulaan perjalanan karena pemuda Sumsel dan Indonesia, tidak hanya butuh pelatihan, mereka butuh kepercayaan untuk membuktikan bahwa mereka bukan cuma siap kerja, tapi siap menggoyang dunia kerja itu sendiri.[***]