PERNAH nggak, ngerasa jalanan kota kita tuh kayak lemari dapur nenek dari luar rapi, tapi dalamnya penuh plastik kresek bekas belanja?. Nah, begitulah nasib tata kelola sampah di kota besar kelihatan kinclong di Instagram, tapi di gang sebelah udah mulai aroma-aroma perjuangan.
Di sinilah Palembang mencoba beda langkah, bukan cuma sapu dan truk, tapi kini juga pakai mic dan konten podcast “Palembang Gercep” diluncurkan bukan buat cari viewer, tapi buat cari solusi.
Di Kota Palembang, urusan sampah tidak lagi sekadar diangkat pakai gerobak dan dibuang ke tempat antah-berantah. Sekarang, sampah diajak ngobrol! Serius! Lewat podcast “Palembang Gercep”, Pemkot Palembang mencoba menjadikan sampah topik yang keren dan gaul, bukan cuma curhat semata, tapi diskusi berbobot dengan bumbu edukasi, disampaikan langsung sang Wali Kota, Ratu Dewa.
Ibarat orang tua yang mulai ngajak anaknya belajar lewat TikTok, Pemkot sadar bahwa zaman sudah berubah. Kampanye lewat baliho sudah kalah sama konten 1 menit di Reels.
Hadirlah “Palembang Gercep” untuk menyampaikan pesan serius dalam kemasan santai. Karena memang, mengubah kebiasaan buang sampah sembarangan itu butuh pendekatan yang tak biasa. “Masalah sampah bukan hanya urusan Pemkot. Ini PR kolektif, kayak utang gotong royong” kata Pak Dewa.
Dan memang benar, pepatah lama bilang, “Setinggi-tinggi bangkai disimpan, lama-lama tercium juga”. Artinya, kalau kita sembunyiin sampah di kolong meja terus, siap-siap tetangga bakal demo karena aroma durjana.
Nah, di sinilah terobosan “Satu Kelurahan Satu Bank Sampah” tampil bagai nasi uduk di pagi hari menggoda dan mengenyangkan. Konsepnya sederhana sampah dipilah, disetor ke bank sampah, lalu ditukar dengan cuan atau manfaat sosial. Daripada dibuang, mending ditabung.
Lho, ini bukan sekadar program iseng. Di Surabaya, bank sampah sudah menjadi mesin penggerak ekonomi rumah tangga. Warga bisa bayar listrik bahkan BPJS dari hasil setor botol plastik! Di Jepang, semua warga sudah terbiasa memilah sampah jadi 7 kategori.
Salah buang? Bisa kena denda atau dikucilkan warga. Di sana, membuang sampah sembarangan sama haramnya dengan makan mi pakai sendok.
Bank sampah di Palembang disiapkan bukan cuma buat ngurangin volume TPA, tapi juga buat membangun budaya baru bersih, berdaya, dan berbagi. Ini seperti koperasi zaman dulu, tapi isinya bukan beras atau sabun, melainkan plastik, kardus, dan sisa sayur. Bedanya, ini koperasi yang bisa nyelamatin bumi sambil nyicil panci.
Tentu saja, perjalanan menuju kota bebas sampah tidak seperti jalan tol. Masih ada lubang sana-sini. Misalnya, soal lahan untuk TPS yang masih susah nyarinya. Banyak warga yang lebih rela halaman rumahnya jadi garasi odong-odong daripada tempat sampah sementara. Padahal, tanpa TPS yang layak, sistem pengangkutan jadi keteteran, kayak ojek cuma punya satu helm buat lima penumpang.
Solusinya? Pemkot berencana nambah armada pengangkut, termasuk gerobak motor, buat masuk ke gang-gang sempit yang kadang lebih rumit dari hubungan mantan dan gebetan baru. Ini langkah cerdas. Karena pelayanan publik memang harus adaptif, bukan ngambek kalau lahan nggak dikasih.
Keberadaan podcast “Palembang Gercep” juga menarik untuk dikupas. Ini seperti “Ngopi Sambil Ngerumpi”edisi resmi, dimana warga bisa tahu kebijakan langsung dari mulut pejabat, bukan dari broadcast grup WA yang sering hoaks.
Bahkan ini bisa jadi model komunikasi publik bagi kota-kota lain yang masih doyan pasang spanduk bergambar lurah sambil senyum lebar.
Podcast ini bukan sekadar gaya-gayaan. Ini bentuk transparansi, literasi, dan pendekatan kekinian yang penting agar pemerintah tidak terasa seperti dewa di menara gading, tapi seperti teman sepermainan yang ngajak ngobrol dan ngajak mikir bareng.
Kalau Palembang bisa serius tapi santai dalam urusan sampah, kota-kota lain harus ikut melirik. Sampah adalah sumber daya yang tertidur. Tinggal kita mau jadi tukang bangunin atau malah jadi tetangga yang cuek. Ingat kata pepatah “Air yang tenang bisa menghanyutkan, tapi sampah yang dibuang sembarangan bisa memalukan”.
Jadi, yuk kita buang ego, bukan buang sampah sembarangan, kalau Palembang bisa ngajak masyarakat nyicil masa depan lewat bank sampah dan ngobrol santai soal lingkungan lewat podcast, maka tak ada alasan buat kota lain untuk terus pura-pura bersih.
Karena kadang, perubahan besar itu datang dari hal sepele, seperti memungut satu bungkus ciki di trotoar sambil tersenyum.[***]
