Sumselterkini.co.id, – Kalau budaya itu api unggun, maka seniman adalah kayunya, dan Dewan Kesenian adalah kipas angin 3 level yang harus siap sedia menghidupkan bara semangat itu, bukan malah jadi kipas rusak yang cuma bunyi “ngiiiik” doang pas dinyalain.
Begitulah harapan Wakil Wali Kota Palembang, Prima Salam, yang belum lama ini mengukuhkan Dewan Kesenian Palembang masa bakti 2025–2030. Dalam acara yang lebih khidmat daripada upacara bendera tapi tetap bikin haru itu, Muhammad Nasir resmi didaulat jadi Ketua baru. Nah, ini bukan sekadar pelantikan, tapi kayak ngecas ulang batere seni budaya Palembang yang sempat lowbat lama.
Nasir tak mau sekadar jadi ketua pajangan di banner acara. Ia bertekad mengawal Perda Kesenian Palembang. Katanya, dalam 100 hari ke depan, bakal ada data, riset, dan sinergi semacam Trio Macan versi kebudayaan.
Tujuannya? Supaya pelaku seni gak lagi jadi figuran dalam panggung pembangunan. Jadi kalau selama ini seniman cuma dapet jatah nyanyi 2 lagu di pembukaan lomba kelurahan, ke depan mereka bisa punya panggung sendiri, bahkan bisa jadi sutradara kehidupan budaya kota!
Dan jangan salah, seni bukan cuma untuk seniman. Itu seperti nasi uduk semua kalangan bisa nikmatin. Dari emak-emak sampai anak skate di flyover. Kalau seni dibikin eksklusif, ya sama aja kayak bikin warung kopi yang cuma nerima tamu pakai dasi kupu-kupu gak bakal laku.
Kita boleh belajar dari Bandung. Dulu kota ini terkenal cuma dengan macet dan lumpia basah. Tapi sekarang, berkat sinergi antara seniman dan Pemkot-nya, Bandung menjelma jadi kota penuh mural, festival musik jalanan, sampai kafe-kafe yang kursinya dari bekas galon Aqua pun tetep artistik.
Atau Seoul, Korea Selatan. Jangan salah, sebelum jadi pusat K-Pop dan drama Korea, mereka juga berbenah. Pemerintah sana sadar, budaya bisa jadi ekspor yang laris manis. Maka dibuatlah dukungan besar untuk pelatihan seni, pusat-pusat budaya, hingga pengarsipan digital. Kini, BTS bisa jadi produk budaya sekaligus sumber devisa!
Sastrawan WS Rendra pernah bilang, “Kalau kesenian tidak punya tempat di masyarakat, maka masyarakat itu kehilangan cermin jiwanya”. Maka, Dewan Kesenian jangan sampai jadi organisasi yang cuma aktif kalau ada lomba pantun antar-RT. Harus lebih dari itu harus bisa jadi kompor semangat buat regenerasi seniman muda, buat seni jalanan, dan buat masyarakat yang haus hiburan bernuansa lokal.
Tugas Dewan Kesenian ke depan bukanlah membuat proposal untuk beli sound system doang. Tapi menyulap budaya jadi daya tarik ekonomi, jadi alat edukasi, jadi penangkal radikalisme, dan tentu saja jadi bahan ketawa-tawa sehat di tengah hidup yang makin mahal ini.
Palembang ini kaya budaya, tinggal bagaimana mengaduknya jadi adonan yang gurih, bukan sekadar pameran kerajinan yang cuma laku satu sabun aroma terapi dan pulang-pulang panitia masuk angin.
Oleh karena itu, mari kita sambut kepengurusan baru ini bukan dengan tepuk tangan standar, tapi dengan harapan luar biasa semoga Dewan Kesenian Palembang tak hanya hidup di baliho, tapi juga hidup di hati rakyat. Dan ingat, seni bukan pelengkap upacara seni adalah denyut nadi kota!.[***]