MALAM di bawah cahaya temaram lampu Jembatan Ampera, puluhan Satpol PP, Dishub, DLH, TNI, Polri, bahkan Damkar yang biasanya sibuk memadamkan api, kini sibuk memadamkan semrawut. Semua berkumpul bukan mau demo dangdut, tapi demi menata ulang kawasan PKL di bawah jembatan yang legendaris itu.
Dari kejauhan, terdengar teriakan sopan khas petugas. “Ayo, dikemas dulu, Bu, jangan nunggu diangkut bareng kompor!”.
Sementara para pedagang, dengan ekspresi antara pasrah dan kesal level dewa, mengemasi dagangan. Ada yang jualan jagung bakar, ada juga yang jualan mie rebus, yang kalau malam-malam dimakan sambil melamun, bisa bikin baper.
Namun di balik semangat menata itu, muncul pertanyaan rakyat jelata kenapa Pasar Lemabang belum ditertibkan juga, ya?
Lemabang, oh Lemabang…
Kawasan ini bukan lagi pasar, tapi sudah naik kasta jadi “kerajaan tanpa trotoar.” Trotoar sudah wafat sejak beberapa tahun lalu, dan kini beralih fungsi jadi display galon, etalase semangka, hingga lahan parkir improvisasi.
Jangankan jalan kaki, narik nafas aja susah karena tiap dua langkah ada motor parkir, tiga langkah disambut asap sate.
Dan mari kita jangan lupa, keberadaan truk tronton dari Pelabuhan Boom Baru dan gudang BGR yang mondar-mandir, dan lainnya, seperti parade harian. Bedanya, kalau parade biasanya bikin senang, yang ini bikin kesal. Truk-truk itu lewat tanpa merasa bersalah, melintas di tengah pasar, bikin emak-emak harus angkat karung dagangan sambil zig-zag kaya main game Snake Nokia zaman baheula.
Ibaratnya, Lembang itu sudah seperti dapur umum panas, penuh suara, dan sempit. Bedanya, ini bukan dapur darurat, tapi dapur abadi yang setiap hari jadi rutinitas warga cari sesuap nasi.
Penertiban itu penting, tapi jangan sampai hanya “semangat di satu titik, loyo di tempat lain”
Kayak orang diet yang seminggu makan sayur, minggu depannya balas dendam ke all-you-can-eat.
Pepatah bilang, “adillah sejak dalam pikiran”. Oleh sebab itu, jangan cuma kawasan Ampera yang ditata rapi jali, Pasar Lemabang juga butuh sentuhan cinta dari Satpol PP dan kawan-kawan, karena macet, bingung itu jalan apa pasar. Kalau perlu, lempar juga ide kreatif pasang zebra cross hologram, patroli pakai drone, atau panggil Uya Kuya buat ngerjain PKL biar tertib sambil tertawa.
Menata kota itu bukan sekadar aksi seremonial di malam hari, difoto lalu diunggah dengan caption “Tertib adalah bagian dari iman”.
Tapi juga soal keberlanjutan, konsistensi, dan pemerataan, jangan sampai yang ditata cuma lokasi yang dekat dengan pusat kota atau ikon wisata. Yang di pinggiran, apalagi yang tiap hari ngangkut galon dan ngusir ayam dari emperan toko, juga butuh perhatian.
Palembang yang berdaya dan sejahtera itu bukan hanya kota yang wajahnya mulus kayak filter Instagram, tapi kota yang bisa dilalui dengan nyaman, baik oleh pejalan kaki, pedagang kecil, maupun truk tronton yang insaf. Yuk ah, kita tunggu aksi selanjutnya, “Lemabang Bangkit Tanpa Trotoar”.
Sebab kata orang tua, “Jalanan yang rapi membawa hati yang damai, tapi jalanan sempit membawa emosi yang cepat naik”
Dan kalo terus-terusan kayak gini,
bukan Palembang yang cantik,
tapi warga yang jadi lebih cepat keriput.[***]