Tak ada yang salah dengan itu, justru patut diapresiasi, tapi mari pelan-pelan bertanya dalam hati. “Apa kabar jalanan kota kita, terutama yang sudah lama hidupnya seperti tambalan baju bolongasal nutup, gak penting serasi?”.
Jalan di Palembang ini ibarat naskah skripsi mahasiswa tingkat akhir banyak coretan, revisi sana-sini, tapi belum juga rampung sempurna. Ada ruas yang aspalnya bagai kulit wajah remaja puberberlubang di sana-sini, dan kalau hujan, bisa berubah fungsi jadi kolam refleksi.Belum lagi lampu penerangan jalan yang kerap tidur lebih awal dari ayam kampung. Malam hari, beberapa titik jalan malah gelapnya minta ampun.
Bukan karena hemat energi, tapi entah karena apa. Warga yang lewat pun harus pasang mata setajam elang dan doa sekuat karang, agar tidak tersandung lubang sambil menyebut nama mantan.Jangan lupakan parade truk tronton yang lalu-lalang saban hari.
Ukurannya segede niat pindah ibu kota, jalurnya padat, dan lajunya kadang semaunya biin shok jantung, bikin sepeda motor dan sepeda kayak naik roller coaster, tapi versi murah meriah dan penuh risiko kena pinggiran aspal yang ngambek.Jalan utama pun serasa jalur pelayaran barang berat, sesak, dan penuh beban. Kadang, kita merasa lebih mudah memesan martabak dari Bandung ketimbang melintasi jalan tanpa berjabat erat dengan lubang jalan.
Kami paham, pembangunan itu butuh waktu dan prioritas, tapi jangan sampai wajah kota hanya didandani pas ulang tahun. Sehari dua cantik, selebihnya kembali ke rupa lama tambal sulam dan tebak-tebakan lampu hidup mati.Mari kita berkaca ke kota-kota lain, Surabaya, misalnya, sukses menyulap pedestrian jadi tempat nongkrong yang ramah lansia. Di luar negeri, Seoul punya sistem truk malam hari yang tidak bikin warga meriang.
Tokyo – Jepang, bahkan, menjadikan urusan lampu jalan dan trotoar sebagai bagian dari martabat kota karena menurut mereka, kota bukan hanya tempat tinggal, tapi cerminan akal sehat para pengurusnya. Truk-truk logistik besar hanya boleh beroperasi di jam-jam tertentu agar tidak mengganggu lalu lintas umum. Ada regulasi dan ada kesadaran.Singapore, di negeri singa, bukan cuma MRT-nya yang tepat waktu, tapi juga trotoar-trotoarnya yang bersih, rata, dan ramah semua usia. Bahkan lubang kecil di jalan langsung ditindak, seolah itu aib nasional. Bandingkan Di Palembang, lubang di jalan bisa dikasih nama karena saking lamanya menetap di situ.
Di Palembang? Truk tronton bebas goyang di jam sibuk, bikin kita merasa lagi ikut lomba sabar nasional. Ada aturan sudah dibuat tapi sekali-sekali masih lupa?.Copenhagen, Denmark, kota ini terkenal ramah sepeda, jalanan dibuat sangat mulus dan aman untuk warga gowes ke mana-mana. Kalau di sini, sepedanya mungkin kuat, tapi shockbreaker-nya yang nangis duluan.Kembali ke dalam negeri, seperti Semarang, Jawa Tengah Pemerintah kota Semarang fokus mengatur jalur truk dan memperbaiki jalan rusak di kawasan industri. Smart city diterapkan bukan hanya di layar presentasi, tapi terasa dalam hidup harian.
Semarang membuktikan kota pelabuhan bisa tertib, asal niat dan koordinasi jalan bareng. Bandung, Jawa Barat di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil dulu, Bandung fokus pada estetika kota, pengaturan lalu lintas, dan pedestrian. Jalan-jalan kecil dibikin indah, trotoar Instagramable, dan penerangan merata. Mereka sadar, wajah kota dimulai dari kaki dari trotoar dan jalan, bukan dari atas baliho.
Nah, dari situ kita belajar, kota itu bisa maju bukan cuma karena kado uang miliaran, tapi karena niat kolektif buat berbenah total. Solusinya?. Fokus pada pembangunan menyeluruh, bukan tambal sulam dadakan, kalau mau bikin jalan, sekalian yang bener, jangan kaya orang pacaran sebentar terus ghosting. Tetap pertahanankan program semula dan lebih ditingkatkan seperti audit semua lampu jalan dan fasilitas umum, ganti yang mati, rawat yang hidup, dan lebih ditingkatkan, jangan sampai Palembang kayak kota Gotham, nunggu Batman muncul karena saking gelapnya.Tindak tegas truk-truk besar di jam tertentu.
Kalau perlu, bikin jalur khusus. Masa tronton segede dosa lewat di jam kerja bikin semua orang terlambat?. Digitalisasi pengaduan publik, bikin aplikasi pengaduan jalan rusak yang benar-benar direspons.
Yang penting libatkan swasta dan peran BUMN sertamasyarakat dan komunitas lokal. Palembang, di usia 1.342 tahun, sudah saatnya tidak hanya sekadar tua dalam usia, tapi juga dewasa dalam pengelolaan. Ulang tahun itu bagus untuk dirayakan, tapi jangan sampai jadi topeng sementara atas masalah yang tetap menjerit diam-diam. Rp50 miliar itu angka yang luar biasa, tapi lebih luar biasa lagi kalau dana itu menyulap jalanan kita jadi mulus, penerangan jadi terang, dan truk tronton bisa diajak kompromi demi kenyamanan semua.Jangan sampai semangat ulang tahun ini cuma jadi momen pencitraan tahunan, seperti rutinitas update status di medsos.
“Syukur usia nambah, semoga makin baik,” tapi lantas lupa bayar utang jalanan yang udah lama menganga. Karena di mata warga, pembangunan bukan dinilai dari jumlah baliho atau panjang pidato, tapi dari mulusnya jalan dan terangnya trotoar.