Sumselterkini.co.id, – Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang mendadak seperti ajang ratu sejagat. Bukan karena ada Miss Universe nyasar atau Putri Indonesia salah alamat, tapi karena malam itu, Selasa, 13 Mei 2025.
Sebanyak 30 pasang semifinalis Cek Bagus dan Cek Ayu unjuk pesona dan pengetahuan dalam rangka mencari duta budaya Palembang. Lengkap dengan suara teriakan pendukung, lampu sorot kinclong, dan busana adat yang lebih berat dari hati mantan yang belum move on.
Mereka melenggang di panggung bukan cuma pamer baju dan senyum 45 derajat. Para semifinalis diuji bukan hanya bagaimana cara berdiri tegak seperti manekin, tapi juga sejauh mana mereka bisa menjelaskan perbedaan antara songket dan sprei, antara tanjak dan tanjak motor. Ibarat nasi goreng, tampilan boleh menggoda, tapi kalau nggak ada rasa, ya cuma nasi ditumis doang.
Yang namanya Cek Bagus dan Cek Ayu ini diharapkan bisa jadi duta budaya. Tapi jangan sampai hanya jadi duta selfie yang kerjanya tiap acara cuma “ngaca, senyum, upload.”
Karena sejatinya, mereka adalah perpanjangan tangan dari kekayaan adat, sejarah, dan etika Palembang yang aduhai itu. Kalau mereka hanya tahu sejarah lewat sinetron kolosal, bisa gawat!
Juri yang hadir malam itu bukan sembarangan. Ada Mang Amin, budayawan senior yang kalau bicara adat, bisa bikin orang diam tak berkutik seperti ketemu guru BK. Ditambah Indah Risky, Hendra Sudrajat, Septa Marus, dan Dewi Anggraini.
Mereka bukan mencari model untuk kalender dinas, tapi mencari anak muda yang bisa menjawab pertanyaan budaya tanpa perlu buka Google di kantong baju.
Coba bayangkan kalau ditanya, “Apa filosofi motif pucuk rebung dalam songket Palembang?” lalu dijawab, “Eh, itu kan camilan ya, kayak pastel mini.” Bisa pingsan itu jurinya, Mak.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang, Affan Prapanca Mahalli, dalam sambutannya menegaskan pentingnya kolaborasi antar pihak dalam pelestarian budaya.
Ia berharap acara ini bukan sekadar kompetisi tahunan yang berakhir jadi pajangan galeri. Tapi benar-benar menghasilkan generasi muda yang bisa ngomongin budaya sambil ngebudayain omongan.
Sementara itu, Asisten II Pemkot Palembang, Isnaini Madani, mengingatkan bahwa Cek Ayu dan Cek Bagus bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga adab dan akhlak.
Karena secantik-cantiknya anak orang, kalau tiap buka mulut isinya nyinyir dan komen sarkas, ya tidak layak jadi duta budaya. Ibarat rumah joglo, tampak luar megah tapi dalamnya kosong kayak rumah yang dijual murah di iklan online, pasti ada apa-apanya tuh.
Negara seperti Jepang atau Korea Selatan sudah membuktikan bahwa budaya bisa jadi kekuatan ekonomi sekaligus identitas nasional. Di sana, pemuda-pemudi berbusana adat bukan jadi bahan lelucon, tapi jadi bintang iklan, jadi kebanggaan. Kimono dan hanbok sekarang laris manis jadi konten budaya sekaligus jualan pariwisata.
Di Palembang? Kadang pakai tanjak saja malu-malu, kecuali buat prewed. Lah, sayang betul.
Padahal kalau dikelola dengan baik, Cek Bagus dan Cek Ayu bisa jadi influencer budaya yang sesungguhnya. Mereka bisa tampil di acara nasional, jadi pemandu tamu luar negeri, atau bahkan jadi ikon promosi kota. Asal jangan baru naik panggung sudah update status “Lelah jadi duta, pengen jadi selebgram aja.”
Dari 30 pasang semifinalis, akan dipilih 15 pasang finalis yang akan lanjut ke Grand Final. Tapi pertanyaan pentingnya bukan siapa yang paling tinggi atau siapa yang paling licin make-up-nya. Tapi siapa yang setelah acara ini masih peduli dan aktif mengangkat budaya. Karena piala bisa berdebu, selempang bisa sobek, tapi dedikasi itu yang bikin nama tetap harum meski sudah ganti profil Instagram.
Jangan sampai nanti ada Cek Ayu yang viral bukan karena prestasinya, tapi karena kasus joget di TikTok pakai baju adat sambil lipsync lagu barat yang liriknya “remuk-remuk di pelaminan.” Budaya bisa rusak bukan karena zaman, tapi karena dijaga orang yang setengah-setengah.
Menjadi Cek Bagus dan Cek Ayu bukan hanya soal dinobatkan, tapi juga soal diandalkan. Mereka harus jadi contoh bahwa anak muda Palembang itu bukan hanya bisa ngedance viral, tapi juga bisa bicara soal Sultan Mahmud Badaruddin II tanpa perlu contekan.
Ibarat kerupuk di kuah pempek kalau nggak renyah, ya ngambang doang!
Maka dari itu, semoga yang terpilih nanti bukan hanya cantik di Instagram dan ganteng di video promosi, tapi juga kuat mental, tahan kritik, dan tetap cinta budaya meski likes-nya cuma dua satu dari mama, satu dari akun fake. Karena budaya tak butuh sensasi, tapi butuh dedikasi. Dan dedikasi itu, tidak bisa di-filter pakai aplikasi.[***]
