Sumselterkini.co.id, -Pagi itu, Ruang Parameswara mendadak berubah suasana. Biasanya dipakai buat rapat-rapat resmi, pagi ini malah mirip salon keliling yang buka cabang di kantor walikota. Bedak beterbangan kayak tepung terigu dilempar ke kipas angin, kuas make up jalan mondar-mandir kayak petugas sensus, dan meja rias penuh warna mulai dari foundation sampai glitter yang bisa ngalahin sinar ring light selebgram.
“Buu, kok alis saya miring kayak menara Pisa sih?” tanya Bu Rani, dengan ekspresi setengah bingung setengah panik.
“Alis Ibu itu simbol hidup yang berliku, Bu. Tapi tetap berdiri tegak!” jawab Bu Lia dari Bapenda, sambil merapikan bulu mata palsu yang udah setengah copot.
“Gimana nih, Bu, saya sudah dua jam di sini, kok masih kayak muka abis kecelakaan?!” keluh Bu Tatik dari Dinas Pemadam Kebakaran yang udah ngolesin foundation segalon penuh.
“Pakai concealer lebih banyak, Bu. Concealer itu bisa nutupin masalah dunia,” jawab Bu Vivi sambil sibuk merapikan kebaya dengan penuh kehati-hatian takut kebaya sobek karena udah ketarik terlalu kencang.
Sementara itu, Bu Dewi dari Dinas Pemadam Kebakaran lagi berjuang ngangkat sanggul setinggi gunung. “Aduh, Bu, sanggul saya udah jadi menara Eiffel, gimana dong?”.
“Gapapa, Bu! Yang penting kalau ada gempa, sanggul Ibu bisa jadi tempat berlindung!” jawab Bu Rani dengan serius, meskipun sebenarnya dia hanya berharap sanggul itu nggak ambruk di tengah acara.
Tepat saat itu, suara kipas angin yang diputar semangat tiba-tiba menggelegar, menambah kemeriahan suasana. “Buuuu, kenapa saya jadi merasa kayak kerupuk digoreng sih? Panas banget!” keluh Bu Dewi sambil melibas keringat yang mulai mengalir dari dahinya.
“Jangan khawatir, Bu, makin keringetan itu tandanya makin glowing!” kata Bu Lia dengan penuh semangat, sambil menyemprotkan air mineral ke wajahnya sendiri. “Biar kesan alami, gitu.”
Para peserta lomba make up satu per satu tampil dengan penuh gaya. Beberapa berjalan dengan kepercayaan diri yang tinggi, meskipun kadang kebaya mereka terasa lebih berat daripada tas belanjaan ibu-ibu yang baru pulang dari pasar.
“Daaaaaan, pemenang lomba make up terbaik adalah… drumroll… Bu Dewi dari Dinas Pemadam Kebakaran, Bu Tatik dari Dinas Pemadam Kebakaran, Bu Lia dari Bapenda, dan Bu Vivi dari Dinas Pariwisata!”
Semua bersorak, bahkan Pak Satpam yang biasanya cuma ngeliat dan nunggu di pintu, sekarang ikut melambaikan tangannya dengan semangat kayak lagi jadi pendukung tim sepak bola.
Setelah acara make up selesai, tibalah saatnya untuk sesi Best Costume. Para peserta mulai berdiri dengan kebaya dan kostum yang anggun, mulai dari yang desainnya modern, sampai yang klasik banget bahkan ada yang datang bawa songket Palembang yang saking megahnya bikin lampu di ruangan jadi redup.
“Bu, kok baju Ibu mirip pelaminan ya? Itu buat nikah atau buat lomba?” tanya Bu Dewi sambil cekikikan.
“Ya, Bu, biar keliatan anggun, kaya ratu, gitu,” jawab Bu Lia, dengan semangat 45. “Tapi beneran, kalau ada yang mau nikah, saya siap jadi pembawa acara.”
“Bener, Bu! Jangan lupa kasih diskon paket pernikahan untuk anggota DWP, biar bisa dandan bareng!” timpal Bu Tatik sambil ngelirik Bu Rani yang udah mulai ngelap keringat pakai tisu basah.
Ketegangan makin terasa saat pengumuman pemenang. “Pemenang Best Costume kali ini adalah… drumroll lagi… Bu Dewi dari Dinas Pemadam Kebakaran, Bu Vivi dari Dinas Pariwisata, dan Bu Tatik dari Dinas Pemadam Kebakaran!”
Suasana langsung pecah. Ada yang lompat-lompat kegirangan, ada yang langsung selfie dengan background penghargaan, dan ada juga yang spontan ngeluarin kipas angin elektrik yang lebih cocok buat nyetir mobil di siang hari.
Setelah sesi pengumuman pemenang, Bu Ida Royani, Ketua DWP Kota Palembang, maju ke panggung. “Hari ini kita bukan cuma merayakan kecantikan luar, tapi kita juga merayakan kekuatan dalam. Kartini dulu mungkin nggak bisa pakai lipstick, tapi semangat juangnya udah mengalir dalam diri kita semua!”.
Semua ibu-ibu bertepuk tangan, termasuk Pak Satpam yang sepertinya udah mulai kebawa suasana.
Sementara itu, Bu Dewi Ratu Dewa, Penasehat DWP Kota Palembang, menambahkan dengan penuh semangat. “Hari ini kita semua bukan hanya berdandan untuk tampak cantik, tapi kita berdandan untuk menunjukkan bahwa perempuan itu bisa berdiri di atas kaki sendiri, bisa berjuang tanpa harus takut keringetan, dan tetap keren meski bulu mata nggak pas!”
“Karena, sekali lagi, hidup itu kayak make up bisa gagal, bisa sukses, tapi yang penting jangan takut mencoba!” kata Bu Dewi sambil tertawa lepas.
Akhirnya, acara pun ditutup dengan tepuk tangan yang meriah, dan ibu-ibu kembali ke rumah masing-masing, dengan senyum di bibir dan kebaya yang sedikit kusut, tapi dengan semangat yang tak bisa dihentikan. Karena mereka tahu, meskipun di luar tampak biasa, dalam hati mereka sudah bersinar seperti bintang di langit malam.
Dan untuk semua perempuan yang pernah merasa diabaikan, direndahkan, atau dilupakan, ingatlah, Kartini itu ada di setiap langkahmu, di setiap senyumanmu, dan di setiap tetes keringat yang membuat dunia ini lebih indah. Selamat Hari Kartini! Hidup Perempuan Palembang.[***]
Cerita ini disusun hanya sebagai bagian dari humor ringan dan hiburan menyambut Hari Kartini. Jika terdapat kemiripan nama atau kejadian dengan yang sebenarnya, itu murni kebetulan dan kami mohon maaf. Semoga cerita ini bisa menghibur dan menyemangati semua pihak yang turut merayakan peran perempuan dalam pembangunan.
