Sumseterkini.co.id, – Bagi warga Palembang yang rumahnya sudah mirip kolam renang saat hujan, pasti paham betul betapa “nikmatnya” menikmati hujan di dalam rumah. Atap bocor di sana-sini, dinding lembap seperti rumah hantu, rasanya kalau dijadikan tempat syuting film horor, pasti jadi box office!.
Nah, saat itulah kita mulai berpikir, “Pemerintah kemana, ya? Janji manis mereka, mana tuh?” Di sinilah muncul program Gebrak (Gerakan Benerin Rumah Agar Layak) dari Pemkot Palembang yang, semoga saja, tidak hanya jadi kebijakan yang bocor seperti atap rumah warga Palembang.
Program ini memang terdengar manis di telinga, seperti pempek yang baru saja keluar dari penggorengan, gurih dan menggoda. Tapi, apakah manisnya Gebrak ini bisa bertahan, atau malah hanyut dibawa arus seperti janji-janji kampanye yang seringnya hanya diingat saat musim pilkada?.
Jangan sampai kita cuma bisa bilang, “Oh, iya, itu kan program yang ada di baliho sepanjang jalan.” Kalau cuma itu, lebih baik mereka pasang spanduk bertuliskan “Pembangunan? Tunggu dulu, jangan buru-buru!” kan lebih jujur.
Gubernur Herman Deru mengatakan, program ini adalah bukti nyata perhatian pemerintah terhadap kebutuhan dasar masyarakat, terutama rumah yang layak huni. Tapi kalau dilihat dari pengalaman, janji itu lebih mirip janji pacar yang bilang “nanti malam kita jalan-jalan” tapi pas malamnya malah sibuk main game di rumah.
Gebrak ini harus benar-benar jadi bukti, bukan sekadar janji yang hilang begitu saja seperti bayar utang yang nggak kunjung datang.
Bedah rumah itu bukan hanya soal ganti atap, cat, atau genteng yang bocor. Kalau cuma itu, itu seperti memoles mobil butut dengan cat baru, eh, besoknya ada mogoknya juga.
Kalau rumah diperbaiki tanpa memperhatikan lingkungan dan infrastruktur sekitar, ya sama saja, seperti memberikan sepatu baru ke orang yang belum tahu jalan. Memperbaiki rumah memang penting, tapi memastikan hunian itu menjadi rumah yang sehat dan layak huni jauh lebih penting. Jangan sampai setelah rumahnya dicat, eh, listriknya mati terus karena kabelnya belum diganti, kan?
Contoh di daerah lain, misalnya Surabaya dengan program kampung tematiknya. Di sana, memperbaiki rumah itu bukan hanya soal renovasi fisik, tapi juga tentang memperbaiki kualitas hidup masyarakat di sekitarnya. Rumahnya bukan cuma bagus di luar, tapi di dalam juga nyaman dihuni.
Kalau Palembang bisa meniru, bukan hanya rumah yang akan terlihat cantik, tapi kehidupan warganya juga akan berwarna-warni. Kalau cuma sekadar rumah yang direnovasi tapi lingkungan tetap kumuh, ya itu sama saja seperti ganti baju baru, tapi nggak mandi dulu.
Lihat Bandung, sudah sejak era Ridwan Kamil, mereka gencar dengan program rumah deret dan hunian vertikal rakyat. Bahkan melibatkan arsitek muda buat bikin rumah murah tapi gaya.
Di luar negeri? Jepang punya sistem “komunitas hunian” di Osaka, lengkap dengan taman, klinik, dan toko kelontong. Warga merasa dimanusiakan, bukan sekadar diberi atap lalu ditinggal foto-foto peresmian.
Hebatnya, Gebrak ini mengedepankan kolaborasi antara pemerintah, BUMN, BUMD, dan badan zakat di Sumatera Selatan. Ini sebenarnya bisa jadi contoh bagus, asal nggak cuma jadi gimmick, seperti acara syukuran yang ujung-ujungnya cuma makan-makan doang.
Tapi mari kita lihat, apakah kolaborasi ini akan membawa dampak nyata, atau malah cuma jadi acara foto bareng yang jadi bahan pembicaraan di WhatsApp grup?, seperti program CSR yang seringnya cuma jadi pencitraan tanpa ada hasil konkret.
Compact Cities Jepang
Jangan sampai kita hanya sibuk berkolaborasi di meja rapat, tapi di lapangan tak ada perubahan yang berarti. Kembali lagi ke contoh nyata, kita bisa lihat bagaimana negara-negara, seperti Jepang dengan program compact cities mereka.
Di sana, hunian bukan cuma sekedar tempat tinggal, tapi sudah menjadi bagian dari kualitas hidup yang terintegrasi dengan fasilitas publik yang layak.
Tidak hanya fisiknya yang direnovasi, tapi juga kehidupan sosialnya. Kalau Palembang bisa meniru hal seperti ini, bukan hanya rumah yang jadi layak, tapi warga Palembang juga bisa hidup seperti warga negara maju!
Tentu saja, Palembang bisa berkreasi dengan ide-ide lokal yang kreatif, misalnya, selain rumah layak huni, bisa juga ada ruang terbuka hijau di setiap kampung.
Jangan hanya melihat rumah dari luar, tapi lihat juga bagaimana kualitas udara, akses jalan, dan kebersihan lingkungan, karena, kalau rumahnya sudah cantik, tapi keluar rumah langsung disambut tumpukan sampah, ya itu kayak beli sepatu baru, tapi pas dipakai, talinya putus!
Pada akhirnya, Gebrak ini harus menjadi langkah konkret yang berkelanjutan. Jangan sampai setelah rumah direnovasi, kita kembali lagi ke kebiasaan lama, seperti memperbaiki jalan yang baru ditambal, tapi besoknya sudah bolong lagi.
Sebuah rumah yang layak huni itu lebih dari sekadar dinding kokoh dan atap yang tidak bocor. Rumah yang layak adalah rumah yang membawa kedamaian, kenyamanan, dan tentunya kebahagiaan bagi penghuninya.
Jadi, mari kita berharap Gebrak ini bukan hanya jadi program musim panas yang hilang begitu saja setelah beberapa bulan. Jangan sampai setelah rumah direnovasi, kita kembali pada kebiasaan lama, [“politik janji manis”] yang cuma ada di spanduk.
Harus ada keberlanjutan dan komitmen yang nyata, bukan cuma sebuah renovasi visual yang habis dipakai foto-foto dan diunggah di media sosial. Mari kita pastikan, rumah yang direnovasi tak hanya sekedar tampak cantik, tapi benar-benar membawa perubahan untuk kualitas hidup masyarakat.
Program Gebrak ibarat jurus andalan dalam silat pembangunan keras di semangat, lembut di niat, tapi harus kuat di pelaksanaan. Jangan hanya “gebrak meja rapat”, tapi lupa “gebrak lapangan”!
Kalau niatnya benar-benar ingin membuat rakyat nyaman, maka hasilnya bukan hanya rumah yang kokoh, tapi juga warga yang bahagia, sehat, dan bangga punya pemimpin yang tak cuma bisa selfie di lokasi renovasi.
Semoga saja, Gebrak ini bukan cuma program untuk menaikkan angka kepuasan publik di survei, tetapi untuk menaikkan kualitas hidup masyarakat Palembang yang sebenarnya, karena rumah layak itu bukan sekadar proyek pemerintah.”Rumah itu bukan sekadar tembok dan atap, tapi tempat harapan dikeringkan, bukan janji dibasahi lagi-lagi oleh hujan.”.[***]