Sumselterkini.co.id, – Pagi yang cerah di Kalidoni, Senin kemarin, udara belum panas, tapi pidato sudah hangat. Sekda Kota Palembang, Aprizal Hasyim, memimpin apel rutin bagi para ASN. Sebuah apel yang kalau dilihat dari susunan barisannya, lebih mirip gladi resik upacara 17 Agustusan, tapi isinya serius tentang kedisiplinan, tentang semangat pelayanan, dan tentang jargon-jargon program Pemkot yang kini semakin panjang, seperti “Palembang Cerdas, Peduli, Belagak, Gercep dan Sehat”.
Tentu tidak ada yang salah dengan apel. Apel itu sehat, katanya, daripada apel doang di meja jadi hiasan, mending apel bareng ASN buat penyegaran motivasi, Tapi pertanyaannya kemudian apakah apel ini hanya jadi rutinitas mingguan atau benar-benar berdampak?. Jangan-jangan, setelah apel bubar, semangatnya ikut bubar lagi?. Kembali ke pola lama ngantor jam 8, ngopi jam 9, ngilang jam 10, balik jam 3, dan absen jam 4, he..he..
Dalam dunia ASN, kadang disiplin hanya sebatas di meja absensi, setelah itu entah ke mana, seperti pepatah lama “Gajah mati meninggalkan gading, ASN apel pagi meninggalkan fotonya di grup WA”. Kalau diingatkan, jawabannya template “Masih di lapangan, Pak,” tapi lapangannya di mana?. Cuma Tuhan dan tukang bakso keliling yang tahu.
Pak Sekda bilang ASN harus jadi ujung tombak. Tapi tombak yang tidak diasah lama-lama tumpul. Jangan sampai ASN ini ujung tombak yang malah menusuk balik ke program karena tak tahu arah. Kita butuh tombak yang bukan cuma runcing, tapi juga tahu kapan digunakan dan kepada siapa diarahkan.
Tengok ke luar pagar, banyak kota lain yang lebih dulu berhasil mengubah rutinitas birokrasi jadi motor pelayanan. Surabaya, misalnya, di masa kepemimpinan Bu Risma, tak banyak jargon, tapi sistem pelayanan jalan, setiap ASN bukan cuma apel, tapi juga wajib blusukan digital cek kondisi sekolah, pelayanan publik, dan keluhan warga via dashboard pintar. Jadi bukan hanya seragamnya yang disetrika, tapi juga pikirannya yang digosok biar tajam.
Di Bandung, Ibukota Jawa Barat era Ridwan Kamil pun serupa, Program “Lapor Kang Emil” bikin warga bisa langsung komplen via HP. Apel tetap jalan, tapi dilengkapi dengan evaluasi mingguan dan kejar target, bukan cuma berdiri baris-berbaris, tapi juga mikir baris demi baris laporan pelayanan.
Boleh mencontoh kedisiplinan dari dunia luar, seperti Seoul, Korea Selatan, ASN bukan cuma diwajibkan disiplin, tapi juga diberikan pelatihan pelayanan publik yang berbasis etika dan empati. Mereka punya “Citizen Happiness Index” yang dinilai dari survei publik tiap bulan, jadi bukan sekadar apel yang dinilai, tapi juga ekspresi warga saat dilayani senyum atau misuh-misuh.
Bahkan di Bogotá, Kolombia, ada program unik semua pegawai kantor pemerintahan wajib turun ke jalan sebulan sekali untuk menyapu atau membantu pelayanan umum. Tujuannya? supaya mereka tak lupa rasanya jadi rakyat biasa, supaya mereka sadar di balik meja ada wajah-wajah yang antre berjam-jam menanti bantuan.
Lalu kembali ke Kalidoni lagi, ASN di sini memang rajin baris, tapi kadang kurang rajin urus berkas. Punya jargon Palembang Cerdas, tapi jangan-jangan yang cerdas cuma PowerPoint-nya. Jangan sampai “Belagak” malah jadi lelucon warga belagak sibuk, belagak kerja, padahal WhatsApp-an di ruang belakang.
Buatlah apel yang tidak hanya seremonial, tambahkan sesi curhat warga tiap pekan, yang bisa jadi feedback langsung, rancang target kerja ASN pekanan yang diumumkan pas apel, lalu dievaluasi minggu berikutnya. Sediakan sistem reward kecil, misal, ASN teladan tiap bulan dikasih voucher makan siang, karena kadang semangat tidak hanya butuh teguran, tapi juga disemangati dengan hadiah.
Jangan lupa, perbaiki sistem kerja, bukan cuma seragam. Percuma bajunya licin tapi SOP-nya kusut. Percuma apel 3 kali seminggu, percuma jargon “Gercep”, tapi balasan surat warga lebih lambat dari surat cinta di zaman pager.
ASN jangan cuma sigap saat ada apel, tapi lenyap saat ada warga karena pelayanan publik bukan panggung sandiwara, kita tak butuh banyak slogan, kita butuh tindakan. Slogan boleh seperti sinetron, tapi jangan sampai pelayanannya jadi seperti iklan sabun: wangi di depan, tapi luntur di dalam.
Sebab seperti kata pepatah”Pagi bisa cerah, tapi kalau semangat kerja mendung, ya hujan juga hasilnya”. Dan hujan ini, kalau dibiarkan terus-menerus, bisa jadi banjir kekecewaan.
ASN jangan cuma sigap saat ada apel, tapi lenyap saat ada warga. Karena pelayanan publik bukan panggung sandiwara. Kita tak butuh banyak slogan, kita butuh tindakan. Slogan boleh seperti sinetron, tapi jangan sampai pelayanannya jadi seperti iklan sabun: wangi di depan, tapi luntur di dalam.
Sebab seperti kata pepatah”Pagi bisa cerah, tapi kalau semangat kerja mendung, ya hujan juga hasilnya”, kalau dibiarkan terus-menerus, bisa jadi banjir kekecewaan warga.
Apel itu penting, iya. Tapi lebih penting lagi hasil dari apel itu. Mau tiap Senin, Rabu, dan Jumat berdiri 30 menit di bawah bendera, tapi kalau kelakuan pelayanan masih bikin warga lari-lari antar meja kayak peserta Amazing Race, ya sama aja. Bendera berkibar, tapi kepercayaan malah merosot.
Sudah saatnya kita berkaca dari kota-kota lain. Jangan cuma pintar menata barisan, tapi juga tata niat dan tata kelola. ASN itu bukan hanya “Aparatur Sipil Negara”, tapi juga “Aset Setia Negara”. Sayang kalau asetnya cuma jadi patung hidup saat apel, tapi beku saat kerja nyata.
Jika apel hanya jadi rutinitas, tak ubahnya seperti orang tua yang rajin ke posyandu tapi lupa kasih ASI. Simbol tanpa isi. Maka mari kita isi apel itu dengan arah yang jelas, evaluasi yang jujur, dan semangat yang tak cuma menguap bersama matahari pagi.
Karena pada akhirnya, ASN adalah wajah pertama yang dilihat rakyat saat negara dipanggil. Kalau wajahnya cemberut dan pelayanannya lambat, maka negara akan tampak seperti tukang ojek online yang lupa jalan ditunggu lama, tapi tak pernah sampai.
Jangan hanya jadi ASN yang pandai apel, tapi jadi ASN yang bikin warga ingin tepuk tangan, bukan karena barisan rapi, tapi karena pelayanannya cepat, tulus, dan tidak belagak sok sibuk padahal lagi buka TikTok.[***]