KARTU As Yamaha muncul di saat persaingan motor listrik lagi panas-panasnya, bukan motor baru yang bikin heboh, melainkan GREEN PROPER Award 2025 dari Kementerian Lingkungan Hidup. Gelar ini membuat Yamaha jadi satu-satunya produsen roda dua di Indonesia yang resmi dicap hijau, bukan hanya sekadar brosur warna daun.
Pepatah lama bilang, “air beriak tanda tak dalam”, banyak merek ribut soal ramah lingkungan, tapi baru Yamaha yang bisa kasih bukti di atas kertas resmi pemerintah. Inilah yang disebut green credibility, senjata yang bisa jadi lebih tajam daripada sekadar meluncurkan model EV baru.
Banyak orang mengira strategi Yamaha di dunia EV hanya soal desain motor baru, padahal yang sedang dimainkan jauh lebih besar. Tahun 2023, Yamaha sukses melakukan uji coba motor listrik E01 dengan model fix battery di empat kota besar, Jakarta, Bandung, Bali, dan Medan. Itu seperti “pemanasan” sebelum lomba maraton.
Kini, Yamaha naik kelas ke fase swap battery, bedanya cukup signifikan, kalau sebelumnya motor hanya dipinjamkan ke komunitas atau konsumen terpilih, kali ini motor benar-benar dioperasikan oleh driver ride sharing. Tes jalanan yang jauh lebih keras macet, hujan, panas, lalu-lintas padat, sampai tarik penumpang belasan jam sehari. Motor jadi seperti “atlet triathlon” versi roda dua. Kalau kuat di level ini, konsumen reguler jelas nggak perlu khawatir.
Lebih menarik lagi, Yamaha tidak hanya fokus pada motornya, tetapi juga ekosistemnya. Untuk mendukung operasional, mereka menyiapkan jaringan stasiun tukar baterai mandiri di berbagai titik strategis Jabodetabek. Artinya, Yamaha sedang menguji bukan hanya teknologi kendaraan, tapi juga model bisnis energi.
Di sinilah Green Proper Award masuk sebagai kartu As. Penghargaan ini tidak bisa didapat dengan sekadar kampanye marketing. Ada audit ketat, evaluasi lingkungan, hingga pemantauan langsung ke fasilitas produksi. Jadi ketika Yamaha mengantongi Green Proper untuk pabrik di Jakarta dan Karawang, itu artinya standar pengelolaan lingkungan mereka diakui lebih tinggi daripada sekadar patuh aturan.
Ibarat kelas, semua murid janji akan rajin belajar. Tapi baru Yamaha yang sudah dapat nilai hijau di rapor. Kompetitor lain masih sibuk bilang, “tenang Bu, saya juga bakal nyusul kok.” Green Proper bukan sekadar trofi, melainkan sertifikat kredibilitas.
Bagi konsumen, penghargaan ini jadi garansi moral membeli produk Yamaha berarti mendukung perusahaan yang serius menjaga lingkungan. Bagi pemerintah, ini jadi alasan logis kalau Yamaha lebih layak dapat insentif atau dukungan regulasi. Dan bagi kompetitor? Ya, suka tidak suka, mereka harus kerja dua kali lipat untuk mengejar standar ini.
Coba bayangkan dunia otomotif ini kayak warung kopi. Semua warung teriak “kopi kami organik, ramah lingkungan, tanpa pestisida.” Tapi pas dicek, ada yang masih beli kopi sachet di minimarket. Nah, Yamaha datang dengan sertifikat resmi dari asosiasi kopi dunia. Tinggal taruh di dinding, konsumen langsung percaya.
Begitu pula dengan motor listrik, banyak merek sudah jualan EV, ada yang desainnya futuristik, ada yang harganya supermurah, ada yang pakai jargon lokal. Tapi Green Proper bikin Yamaha punya pembeda yang lebih fundamental, mereka tidak sekadar ikut tren, melainkan membangun fondasi keberlanjutan.
Pertanyaan kritisnya apakah Green Proper ini benar-benar bikin Yamaha lebih siap dari kompetitornya? Jawabannya iya, dalam banyak aspek, seperti regulasi, saat pemerintah memperketat aturan lingkungan, Yamaha sudah siap karena standar mereka diakui lebih tinggi, ekosistem, swap battery plus jaringan stasiun mandiri bikin mereka bukan sekadar penjual motor, tapi penyedia layanan mobilitas. Sosial, melibatkan driver ride sharing berarti Yamaha menguji produk langsung dengan pengguna paling ekstrem, sekaligus membuka peluang lapangan kerja, dan Brand Image maksudnya penghargaan resmi dari pemerintah lebih kuat daripada sekadar iklan TV.
Sementara kompetitor banyak yang masih fokus pada harga murah atau desain futuristik, Yamaha justru meletakkan pondasi jangka panjang.
Ada pepatah Sunda, “ulah ukur ngomong, kudu dibuktikeun ku lampah”, jangan cuma jago bicara, tapi buktikan lewat tindakan. Dunia otomotif pun sama. Green talk itu murah, tapi green action itu mahal. Yamaha sudah memilih jalan mahal, dan hasilnya adalah pengakuan resmi.
Bagi konsumen, cerita ini bisa jadi inspirasi. Saat memilih kendaraan, jangan hanya lihat harga atau tampilan, tapi juga perhatikan nilai yang diusung produsennya. Seperti kata pepatah, “urip iku urup”, hidup itu harus memberi terang. Kalau beli motor bisa sekaligus mendukung industri yang peduli lingkungan, kenapa tidak?
Kartu As sudah ditaruh Yamaha di meja persaingan GREEN PROPER Award. Di saat kompetitor sibuk membicarakan EV hanya dari sisi teknologi atau harga, Yamaha datang dengan bukti bahwa mereka serius membangun ekosistem berkelanjutan.
Dalam duel motor listrik di Indonesia, kartu ini bisa jadi pembeda siapa yang sekadar ikut lomba, dan siapa yang mampu bertahan sampai garis finish. Dan untuk saat ini, Yamaha tampaknya sedang duduk manis, memegang As hijau yang siap membuat lawan-lawan gelagapan.[***]