ORANG bilang, “seribu langkah besar selalu dimulai dari satu langkah kecil”. Nah, kalau di dunia otomotif, seribu mobil mewah itu juga dimulai dari satu baut kecil buatan IKM. Bautnya mungil, kadang diselipkan di kantong celana montir, tapi tanpa baut itu mobil bisa bubar jalan.
Industri otomotif Indonesia hari ini mirip anak muda yang baru belajar naik motor bebek tapi bercita-cita jadi pembalap MotoGP. Jalannya masih agak limbung, tapi semangatnya luar biasa. Dari IKM komponen otomotif yang tersebar di Klaten, Bekasi, sampai Tegal, masa depan besar sedang dipupuk pelan-pelan.
Kalau dulu pabrik IKM identik dengan suara mesin tua mirip knalpot bolong dan catatan stok di buku tulis bergaris, sekarang sudah mulai berubah. Berkat program digitalisasi otomotif dan Making Indonesia 4.0, pabrik kecil bisa tahu stok baut real time, kualitas komponen bisa dipantau otomatis, bahkan ada sistem dashboard yang tampilannya lebih rapi dari rapor sekolah zaman dulu.
Tapi tentu saja, jalan menuju pemasok global (global supplier) nggak semulus aspal tol Trans Jawa. Ada lubang di sana-sini. Mulai dari kesenjangan teknologi, akses modal yang kadang seret kayak bensin eceran di musim mudik, sampai SDM yang harus siap belajar cepat.
Pepatah Minang bilang, “kecil-kecil cabe rawit, makin kecil makin pedas”. Begitu juga IKM. Jangan diremehkan, memang skalanya kecil, tapi kalau dikasih sentuhan teknologi, daya saingnya bisa bikin keringat pabrikan besar mengucur.
Contoh saja, komponen kecil seperti karet, baut, atau plastik dashboard. Kalau kualitasnya konsisten, pabrikan global bakal melirik. Siapa sangka, baut buatan Karawang bisa jadi bagian dari mobil listrik yang meluncur di Eropa. Inilah potensi besar yang sering kita anggap remeh komponen kecil, masa depan besar.
Tapi ada juga kekhawatiran, jangan sampai Making Indonesia 4.0 hanya jadi spanduk keren di seminar, sementara IKM kita masih pusing cari mesin bekas. Transfer teknologi harus nyata, bukan sekadar pamer slide PowerPoint.
Pemerintah perlu lebih serius membuka akses riset bersama, memberi insentif pajak buat startup teknologi yang terjun ke manufaktur, dan memfasilitasi kolaborasi IKM dengan perguruan tinggi.
Kalau tidak, ya kita hanya jadi pasar otomotif, bukan produsen otomotif. Mobil datang, kita beli. Suku cadang rusak, kita impor. Begitu terus sampai pensiun.
Masa depan industri otomotif Indonesia ada di tangan sinergi IKM, startup teknologi, dan pemerintah. IKM bawa semangat dan mesin. Startup bawa algoritma dan aplikasi. Pemerintah bawa regulasi dan dukungan. Kalau tiga ini bisa “satu suara”, kita bisa masuk rantai pasok global, bukan cuma jadi tukang servis pinggir jalan.
Pepatah Sunda bilang, “ulah sok ngimpi ka bulan lamun tangga wae teu boga”. Jangan mimpi ekspor komponen ke Tesla kalau dashboard digital di IKM saja belum punya. Jadi, langkah-langkah kecil seperti digitalisasi, peningkatan SDM, dan pembinaan startup harus konsisten dijalankan.
Industri otomotif bukan sekadar soal mesin, tapi juga soal mental dan konsistensi, kita harus berani percaya bahwa IKM kecil bisa jadi pemain global. Jangan malu dengan skala usaha, yang penting kualitas, efisiensi, dan daya saing.
Seperti pepatah Jawa “alon-alon asal kelakon”, namun kalau mau bersaing di era global, jangan terlalu alon juga. Nanti keburu disalip Vietnam atau Thailand.
Masa depan industri otomotif Indonesia sedang dipanaskan mesinnya. Dari komponen kecil IKM sampai ambisi masuk rantai pasok global, semuanya butuh gas penuh, jalan mungkin masih berliku, tapi bukan berarti mustahil.
Selama ada sinergi nyata, transfer teknologi yang serius, dan keberanian mencoba, maka baut mungil dari bengkel desa bisa berubah jadi komponen mobil global. Dari obeng tradisional ke algoritma digital, inilah saatnya industri otomotif Indonesia naik kelas.
Karena pada akhirnya, “yang kuat bukan yang paling besar, tapi yang paling cepat beradaptasi”, dan industri otomotif Indonesia harus siap jadi yang terdepan, bukan sekadar penonton di tribun.[***]