DULU, nonton Liga Indonesia itu kayak naik angkot tanpa rute tetap kadang nyasar, kadang muter-muter, kadang malah mogok di tengah jalan. Tapi sekarang, kita patut mengacungkan dua jempol dan satu lutut untuk perubahan yang mulai terasa.
PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) mulai serius membenahi isi dapur. Pak Erick Thohir, Ketua Umum PSSI, bilang “Kita nggak cuma masak air doang sekarang, udah mulai rebus daging”.
Salah satu langkah yang bikin tepuk tangan netizen bukan cuma dari grup WA, tapi juga dari tribun stadion, adalah penerapan VAR alias Video Assistant Referee. Ini seperti mengajak CCTV buat bantu emak-emak di warung biar nggak ada yang curi gorengan.
Menariknya, VAR tak hanya muncul di Liga 1, tapi juga bakal masuk Liga 2. Ini bukan kaleng-kaleng, Bung! Bahkan di Inggris sana, Liga Championship tempat Oxford United bermain aja belum pake VAR. Kita malah udah selangkah lebih maju. Boleh dong kita sombong dikit ke negara Ratu Elizabeth “Oi Britania, Liga 2 kita udah VAR-an, kamu kapan?”.
Lihat Jepang, negeri yang kalo ngebangun toilet umum aja bisa seindah taman meditasi. J League mereka rapi, terstruktur, dan penuh inovasi. Nah, kita kebagian berkahnya LIB merekrut Takeyuki Oya, eks petinggi J League selama 16 tahun, untuk menjadi GM Kompetisi.
Ini kayak ngajak mantan koki sushi Michelin bintang 3 buat bantu warung tegal sebelah rumah. Kalau diseriusin, menunya bisa naik kelas dari telur dadar jadi beef teriyaki.
Dan jangan lupakan Ogawa, pelatih wasit yang sudah lebih galak dari guru BP zaman Orba. Bersama dia, sistem perwasitan mulai beresin dosa-dosa masa lalu. Bahkan tahun depan akan masuk wasit asing, tapi nggak lebih dari 30 persen. Kayak bumbu lada harus ada pedasnya, tapi jangan sampai bikin sendok patah.
Kita bisa belajar juga dari Qatar, mereka sukses bikin Liga jadi industri, bukan cuma tontonan. Infrastruktur mentereng, manajemen rapih, dan Liga mereka jadi panggung bagi para pemain internasional. Bahkan mereka rela “impor pemain” demi prestasi, walau kadang agak berlebihan kayak orang beli gadget tiap bulan.
Tapi jangan lupa, Pak Erick juga bilang, PSSI cuma punya 1 persen saham di LIB. Artinya, PSSI tak mengatur semuanya. Ini kayak punya saham satu lot di perusahaan tahu bulat bisa nonton, tapi jangan coba-coba ngatur harga jual.
Yang bikin adem hati adalah, baik PSSI maupun LIB sudah sepakat soal kalender liga tiga tahun ke depan. Ini penting. Supaya pemain tidak lagi bingung, “Saya latihan buat Timnas apa Liga, ya?”, karena sebelumnya jadwal sering tumpang tindih kayak nasi uduk campur nasi goreng.
Lalu, soal hasil kerja Oya Pak Erick berpesan “Jangan buru-buru nanya hasil”. Benar sekali, membangun Liga ini bukan bikin mie instan, tapi bikin rendang! Perlu waktu, perlu bumbu, dan harus pakai api kecil. Kalau buru-buru, dagingnya bisa alot, apalagi kalau makannya sambil nonton wasit salah tiup peluit.
Perubahan di tubuh Liga Indonesia sedang menuju arah yang lebih waras. Teknologi diterapkan, manajemen dibenahi, SDM diasah, dan kita belajar dari negara-negara yang sudah sukses mengelola sepak bola sebagai industri dan kebanggaan nasional. Tapi semua itu butuh proses. Kita ini lagi ngerakit mobil, bukan nyewa taksi.
Sekarang tinggal PR-nya di kita semua suporter, media, pemerintah, bahkan tukang jualan cilok depan stadion untuk ikut jaga komitmen.
Kalau Jerman bisa konsisten sejak 2000-an membangun dari level junior sampai jadi juara dunia, kenapa kita harus nyerah cuma karena hujan deras waktu pertandingan?
Karena seperti kata pepatah “Bola itu bulat, tapi mimpi sepak bola Indonesia harus lurus dan fokus”. dan buat yang masih nyinyir, ingatlah satu nasihat dari tribun belakang “Daripada terus nyalahin wasit, mending ikut bantu bangun stadion”.
Dukung sepak bola kita, karena sekarang, nonton Liga Indonesia itu bukan lagi nonton drama, tapi nonton masa depan.[***]