Sumselterkini.co.id,- Kalau sepak bola Indonesia diibaratkan dapur rumah tangga, maka selama ini kita seringkali lebih sibuk beli wajan mahal ketimbang belajar resep.
Kadang ganti kompor lima kali dalam setahun, tapi nasinya tetap gosong. Nah, kali ini PSSI nampaknya mulai waras dan memilih langkah yang bisa bikin kita semua tepuk tangan, bukan tepuk jidat.
Adalah Simon Tahamata, mantan winger lincah Ajax, Feyenoord, dan Standard Liege yang kini ditunjuk sebagai Kepala Pemandu Bakat Nasional alias Head of Scouting. Bukan sekadar pajangan di kantor, Oom Simon (yang lebih terkenal di Belanda daripada tukang stroopwafel keliling) ini bakal jadi otak di balik pencarian bakat baik yang tumbuh di tanah air, maupun yang bersembunyi di lorong-lorong asrama anak diaspora di Belanda.
Langkah ini ibarat PSSI akhirnya beli kulkas baru, setelah sekian lama nyimpen daging di atas genteng. Kita sudah punya coach kelas dunia macam Patrick Kluivert dan Gerald Vanenburg nah sekarang, yang diburu bukan lagi bonus dari pemerintah, tapi bocah-bocah berbakat yang bisa bikin Timnas Indonesia lebih dari sekadar tim “semangat tapi kalah tipis”.
Simon ini bukan kaleng-kaleng. Kariernya panjang, lebih panjang dari antrean beras murah di kantor kelurahan. Pernah main di Ajax, cetak gol buat Timnas Belanda, dan diganjar penghargaan fair play di Belgia.
Kalau anak muda sekarang kenalnya sama Naruto dan One Piece, generasi 70-an pasti kenal nama Tahamata sama akuratnya dengan kenal nama guru BP.
Penunjukan ini juga jadi tanda bahwa PSSI (akhirnya) paham untuk bangun tim kuat, bukan cuma pelatih yang perlu bagus, tapi juga pencari bakat yang tahu mana emas dan mana batu bata.
Selama ini kita sering melihat bocah-bocah ajaib dari kampung terpencil cuma jadi bintang tarkam. Padahal, di era digital, bakat bisa direkam pakai HP, dikirim ke pelatih, dan diorbitkan. Tapi siapa yang mau lihat kalau tak ada kepala pemandu bakat yang kerja serius? Alhasil, banyak pemain muda kita seperti durian jatuh berpotensi, tapi tidak tahu siapa yang mau ambil.
Meski Simon berasal dari sistem sepak bola super-teratur di Belanda, dia tetap perlu adaptasi dengan “kultur sepak bola dagelan” di sini. Di Indonesia, pemain bisa mangkir latihan karena motornya dipinjam kakak, atau telat datang karena hujan deras bikin sandal jepit putus. Pencarian bakat di negeri ini butuh mata elang dan kesabaran seekor kura-kura.
Namun, jika kita serius memberi dukungan (bukan sekadar seremonial sambutan di bandara), kehadiran Simon bisa mengubah peta talenta kita. Simon punya akademi sendiri, pengalaman melatih anak-anak muda, dan yang paling penting dia dicintai di Ajax Amsterdam.
Kalau klub sebesar itu beri penghormatan khusus dengan tulisan “Oom Simon, Terima Kasih” di tribune, berarti pria ini memang bukan sembarang oom.
Pepatah bilang “Tak ada rotan, akar pun jadi. Tapi kalau ada rotan yang bersertifikat FIFA, ya jangan dipakai buat bikin pagar saja.”
Simon adalah rotan mahal itu. Jangan hanya disuruh duduk di ruang ber-AC dan disuguhi kopi sachet sambil tanda tangan berkas.
Banyak orang bilang mimpi Indonesia ke Piala Dunia itu utopis. Tapi bukankah semua keberhasilan besar dimulai dari keberanian mengambil langkah kecil yang tepat? Penunjukan Simon Tahamata adalah langkah kecil tapi cerdas. Sekarang tinggal kita kawal bareng, agar ini bukan sekadar ganti baju dalam, tapi benar-benar ganti arah.
Karena mencari pemain berbakat itu bukan seperti mencari jodoh di aplikasi geser kanan langsung jadi. Butuh mata, hati, dan telinga yang peka. Dan dari semua yang dimiliki Simon, tampaknya dia punya semuanya.
Maka, mari kita sambut dia bukan hanya sebagai Kepala Pemandu Bakat, tapi juga sebagai “Kepala Harapan Baru.”
Selamat datang, Oom Simon. Semoga pencarian bakatnya berhasil, dan kita tak perlu lagi juara hanya di turnamen antar-RT. “Kalau memang dunia ini panggung sandiwara, maka biarlah Simon jadi sutradara. Setidaknya, kita tak lagi jadi tim figuran di panggung Asia.”[***]