Olahraga & Otomotif

“Bukan Sekadar Tendang Bola, Ini Sekolah Sepakbola ala Harvard!”

ist

Sumselterkini.co.id, – Ingat masa kecil umur belasan tahun, di Sei-Batang ujung Palembang Timur,  waktu masih bocah ingusan, sekolah sepak bola cuma modal lapangan bekas sawah dan pelatih yang kerjanya nyuruh push-up sambil merokok.

Namanya juga “Sebabkola”, kampung, sekolah sepak bola hanya  lahir dari modal semangat, bukan dari sistem yang memang dirancang baik.

Kalau hujan deras, latihan dibatalin, bahkan bola bisa jadi pelampung. Kalau pelatih galak, ya latihan jadi kayak wajib militer.

Tapi itulah sepak bola kita, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang cinta bola walau belum tentu tahu cara mengelola klub.

Nah, ketika saya membuka-buka dan membaca situs resmi pssi.org ada berita  berjudul “Garuda Academy resmi yang diluncurkan” untuk mencetak pemimpin muda sepak bola Indonesia dan isinya sangat menarik, karena beda di masa kecilku yang serba sederhana. Kini PSSI datang dengan gebrakan canggih ala era 5G. Lewat Garuda Academy, sepak bola sekarang enggak lagi cuma urusan kaki, tapi urusan otak.

Semacam sekolah tinggi ilmu sepak bola,  yang dibedah pun bukan teknik dribbling atau cara bikin gol salto, melainkan soal tata kelola, manajemen keuangan klub, strategi komunikasi sampai kepemimpinan visioner.

Program ini bukan main-main, sampai diresmikan langsung  Erick Thohir bersama para petinggi PSSI dan utusan FIFA. Bahkan gengsi acara ini kurang lebih setara pembukaan Piala Dunia, cuma lebih banyak jas dan dasi daripada jersey.

Jika dulu anak-anak ditanya cita-cita, jawabnya tegas penuh semangat.“Mau jadi Ronaldo!”, tetapi sekarang bisa berubah  Mau jadi Direktur Operasional Klub Sepak Bola yang Go Public di Bursa Efek,”, Wow mantap cita-citanya!.

Cristiano Ronaldo pernah bilang, “Without good management, even the best players will go nowhere.” Maksudnya tanpa manajemen yang baik, bahkan pemain terbaik pun tidak akan ke mana-mana,”.

Ia menekankan  keberhasilan dalam sepak bola (dan bidang lain) tidak hanya ditentukan oleh kemampuan individu, tetapi sangat bergantung pada pengelolaan yang baik mulai dari strategi, organisasi, hingga dukungan struktural.

Mau punya pemain sekelas Messi atau Ronaldo pun, kalau klubnya amburadul, hasilnya tetap zonk.

Begitu prestisiusnya program ini, sampai-sampai tiga pemain Timnas U-17 pun ikut datang, seolah bilang ke dunia. “Lihat, masa depan sepak bola itu di luar lapangan juga penting, Bro!”.

Saya pernah bercerita singkat dengan kawan lama yang gila bola soal ini, begini narasi dialognya.

“Wak, akademi bola itu bukan buat ngajarin anak salto ya?”

“Bukan, bro. Ini ngajarin orang biar bisa ngatur stadion kayak ngatur pernikahan anak jenderal. Harus terstruktur, rapi, dan penuh sponsor!”

“Lah terus, yang dulunya pelatih di lapangan kampung, bisa masuk gak?”

“Bisa asal punya ijazah, bisa bahasa Inggris, dan ngerti kalau VAR itu bukan nama ikan bakar.”

“Berarti ini sekolah buat nyetak bos sepak bola ya, Wak?”

“Betul. Biar sepak bola kita enggak kalah sama sinetron. Punya manajer, punya perencanaan, dan tahu bedanya neraca laba-rugi sama neraca AC bocor!,” katanya.

Kalau kamu mengira Garuda Academy ini terlalu muluk ya?, coba lirik negara-negara yang sudah duluan punya “kampus bola” kelas wahid.

La Masia (Barcelona, Spanyol),  bukan hanya jadi pabrik pemain hebat, tapi juga lembaga yang menanamkan filosofi permainan, kedisiplinan, dan identitas klub. Di sana, murid-muridnya diajari sepak bola seperti orang belajar filsafat  penuh nilai dan logika.

Clairefontaine (Prancis)  pusat pelatihan elite yang melahirkan generasi emas Prancis dari Zidane sampai Mbappé. Mereka tidak hanya dilatih otot dan insting, tapi juga karakter.

Di sana, sepak bola disamakan dengan seni memimpin pasukan perang harus disiplin, taktis, dan visioner.

Aspire Academy (Qatar)  Ini bukan sekadar akademi, tapi imperium ilmu olahraga. Selain lapangan dan gym canggih, di sana ada psikolog olahraga, ahli gizi, bahkan dosen motivasi yang bisa membuat anak-anak Qatar percaya bahwa mereka bisa mengalahkan tim manapun, termasuk yang langganan Piala Dunia.

FIFA Master, ini bukan tempat main-main. Kalau sepak bola adalah kerajaan, maka lulusan FIFA Master adalah para perdana menterinya. Di sinilah orang-orang yang paham aturan, diplomasi, dan pemasaran olahraga global dicetak. Lulusan dari sini bisa kerja di klub Eropa, di FIFA, atau jadi mentor bagi generasi muda bola dunia.

Anggap saja dunia sepak bola itu seperti panggung orkes dangdut keliling. Yang kelihatan hanya penyanyi dan penonton goyang, padahal di balik itu ada kru yang pasang sound system, manajer yang nego panggung, bahkan kasir yang ngitung uang sewa kursi.

Garuda Academy ini mau cetak para kru dan manajer itu biar jangan sampai tim hebat jadi bubar gara-gara lupa bayar tagihan listrik stadion.

Sejak peresmian program ini, peserta langsung masuk sesi pelatihan dari CORE 1.0 sampai CORE 5.0. Jangan bayangin ini kayak main game leveling. Di CORE 1.0, peserta diajak kenalan dengan sistem manajemen sepak bola secara dasar. CORE 2.0 dan seterusnya adalah zona tempur.

Mereka harus belajar ngatur event, bikin proposal sponsor, bahkan bikin simulasi menangani krisis. Misalnya, kalau pertandingan gagal karena hujan, siapa yang tanggung rugi? Nah, itu harus ada SOP-nya, bukan cuma pasrah sambil baca mantra.

Peserta terbaik bakal dikirim kuliah lanjutan di luar negeri lewat program LPDP dan FIFA Master. Bisa ke universitas top di Amerika atau Eropa, biar nanti kita punya alumni yang bisa bersaing ngatur klub kayak Manchester City, bukan cuma ngurus SSB yang lapangannya dipakai jemuran warga.

Kalau program ini berhasil, 10 tahun ke depan kita enggak perlu nyari pelatih dari Kroasia buat Timnas. Kita punya sendiri. Kita juga enggak perlu manajer klub dari luar, karena alumni Garuda Academy sudah paham cara mengelola liga dengan profesional. Bahkan bisa jadi, mereka justru ngajar balik ke negara-negara lain. Siapa tahu?

Dan jangan kaget kalau nanti ada Gubernur atau Menteri yang ternyata alumni Garuda Academy. Karena sepak bola itu bukan cuma olahraga, tapi juga politik, diplomasi, dan ekonomi. Maka seperti kata pepatah. “Kalau ingin mengubah bangsa, jangan mulai dari parlemen, tapi dari stadion.”

 

Langkah ideologis

Langkah PSSI lewat Garuda Academy ini bukan cuma langkah teknis, tapi langkah ideologis. Ia ingin mengubah kultur dari hanya sekadar nonton bola, jadi bisa mengelola industri bola.

Ini bukan mimpi di siang bolong asanya,  dengan dukungan FIFA, LPDP, dan instruktur kelas dunia, program ini bisa jadi fondasi sepak bola Indonesia yang tahan banting dan tahan krisis.

Kalau kita ingin Timnas juara, bukan cuma pemainnya yang harus hebat, tapi seluruh ekosistemnya  dari tukang cetak tiket sampai direksi klub.

Garuda Academy adalah langkah awal, karena, seperti kata bijak Pak RT kami, “Sepak bola itu bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling siap.”

semacam sekolah tinggi ilmu sepak bola, tapi yang dibedah bukan teknik dribbling atau cara bikin gol salto, melainkan soal tata kelola, manajemen keuangan klub, strategi komunikasi sampai kepemimpinan visioner ala Pep Guardiola. Bahkan Pep sendiri pernah bilang, “Taktik itu bukan hanya soal apa yang terjadi di lapangan. Semuanya dimulai dari meja, lewat perencanaan.”

Maksudnya, strategi dalam sepak bola tidak hanya ditentukan saat pertandingan berlangsung, tapi dimulai jauh sebelumnya dari proses berpikir, menyusun rencana, menganalisis lawan, mengatur jadwal latihan, dan membangun sistem. Ini relevan banget dengan semangat Garuda Academy yang menekankan pentingnya manajemen dan perencanaan di balik layar. 

Garuda Academy hadir bukan untuk bikin kita semua jadi pemain. Tapi untuk bikin sepak bola Indonesia punya manajer, direktur, dan pemikir yang tahan banting. Seperti kata Johan Cruyff. “Playing football is very simple, but playing simple football is the hardest thing there is.”, maksudnya “Bermain sepak bola itu sebenarnya sederhana, tapi memainkan sepak bola yang sederhana justru adalah hal tersulit.”

Karena prinsip dasar dalam sepak bola, seperti passing, positioning, dan kerja sama tim itu terlihat mudah. Tapi untuk benar-benar menjalankan permainan secara efektif dan sederhana, dibutuhkan pemahaman, disiplin, dan kecerdasan yang tinggi.

Kesederhanaan dalam sepak bola bukan berarti asal main, tapi bermain dengan efisien dan penuh makna dan itu sangat sulit dilakukan secara konsisten. Garuda Academy adalah fondasi itu, karena sepak bola hari ini bukan cuma soal adu strategi di lapangan. Tapi juga soal adu kepiawaian bikin sepak bola Indonesia punya manajer, direktur, dan pemikir yang tahan banting.

Di ruang rapat dan Garuda Academy adalah tempat kita mulai mengatur arah bola, bahkan sebelum peluit dibunyikan. Nah, cocok banget, kan?.[***]

Terpopuler

To Top