KATA healing sering muncul di timeline kita, biasanya sih dipakai sebagai alasan liburan dadakan atau kabur dari kerjaan, tapi di level global, healing berubah jadi industri serius wellness tourism yang nilainya tembus triliunan dolar. Indonesia? sudah siap unjuk gigi sebagai destinasi yang menawarkan pengalaman sehat sekaligus ramah lingkungan.
Umpamanya begini, kamu capek kerja, stres karena target kantor, lalu kabur ke Jogja atau Solo bukan hanya buat makan gudeg atau nonton wayang, tapi ikut sesi meditasi di kompleks keraton, minum jamu legit bikinan mbok jamu yang ramah lingkungan, terus ditutup yoga di tepi sawah sambil mendengar jangkrik berorasi. Nah, itu bukan sekadar wisata, tapi green economy berjalan dengan sandal jepit.
Tren global sudah jelas, menurut Global Wellness Institute, ekonomi wellness dunia tahun 2023 mencapai 6,32 triliun dolar AS, diproyeksikan jadi hampir 10 triliun dolar di 2029.
Bahkan Indonesia? diam-diam nyumbang 56,4 miliar dolar, tertinggi di Asia Tenggara, luar biasa bukan…?. Itu artinya, orang di luar negeri sudah mengakui kalau Indonesia bukan sekadar destinasi pantai, tapi juga tempat cari ketenangan.
Masalahnya, selama ini kita sering kejebak dalam pola wisata selfie economy, orang datang, foto, upload, pulang. Padahal wellness tourism jauh lebih dalam. Ia mengajarkan harmoni manusia dengan alam, makanan sehat dari bumi sendiri, sampai pengalaman spiritual yang bisa bikin dompet tipis tapi hati plong.
Pepatah Jawa bilang, “Urip iku urup” – hidup itu menyala, Wellness tourism memberi kita api, bukan hanya untuk tubuh, tapi juga buat menjaga bumi supaya nggak kebakaran akibat ulah manusia.
Di Surakarta dan Yogyakarta, wellness itu bukan tren Instagram, tapi tradisi turun-temurun, filosofi “Salarasing Urip, Wiraga, Wirasa, Wirama” di Yogya misalnya, ngajarin bahwa hidup itu harus selaras, badan, rasa, dan irama harus nyambung. Sementara di Solo, ada konsep “Titi, Ngadi, Ngusadi”, belajar menyembuhkan diri dulu sebelum mengatasi problem hidup.
Kalau dipikir-pikir, tradisi ini adalah blueprint green economy, Wellness lokal kita berbasis jamu dari tanaman yang tumbuh alami, makanan dari sawah, terapi tubuh dari bahan organik, hingga meditasi tanpa listrik. Tidak ada jejak karbon, paling banter jejak sandal di tanah.
Bandingkan dengan wellness modern ala negara lain spa dengan AC menyala 24 jam, makanan impor, dan aroma terapi sintetis. Indonesia punya keunggulan authentic plus sustainable.
Wellness tourism bukan cuma peluang uang, tapi juga peluang bikin model pariwisata baru yang nggak merusak alam. Kalau biasanya hotel besar berdiri dengan beton yang bikin tanah panas, event seperti Wonderful Indonesia Wellness 2025, justru menawarkan paket-paket wisata ramah lingkungan healthy dining dari dapur tradisional, yoga di alam terbuka, sampai spiritual journey yang bikin kita sadar, ternyata hidup tak harus ribet.
Seperti pepatah lama, “Alon-alon waton kelakon” – pelan-pelan asal sampai, begitu pula dengan wellness tourism, ia tak buru-buru mengejar turis massal, tapi merawat turis berkualitas yang rela bayar lebih untuk pengalaman autentik. Imbasnya? uang masuk, budaya terjaga, alam tetap lestari.
Kalau ditelisik, wellness tourism ini bisa jadi tiga keuntungan sekaligus dampaknya ke ekonomi, yakni ikut menggerakkan UMKM lokal, dari mbok jamu, pengrajin batik, sampai homestay desa, lingkungan, yakni minim polusi, konsumsi lokal, energi rendah serta budaya, artinya menghidupkan kembali filosofi Jawa, Bali, hingga Nusantara sebagai gaya hidup modern.
Dengan cara ini, Indonesia bukan hanya jadi pemain wellness tourism, tapi bisa tampil sebagai model pariwisata sehat plus hijau dunia.
Oleh karena itu, healing tak lagi sekadar alasan bolos kerja, ia bisa dikatakan sudah berubah menjadi industri hijau yang bisa menopang ekonomi bangsa. Indonesia punya bekal kuat, budaya keraton, jamu, kuliner sehat, dan filosofi hidup yang menekankan harmoni. Tinggal bagaimana kita mengemasnya agar menarik sekaligus ramah bumi.
Jadi, lain kali kalau ada yang bilang mau healing, jangan diremehkan, bisa jadi, mereka sedang ikut andil dalam revolusi ekonomi hijau. Ingat!, masa depan pariwisata bukan hanya soal jalan-jalan, tapi soal bagaimana kita berjalan bersama bumi, pelan, sehat, dan lestari.[***]