PERNAHKAN anda pergi wisata, pulang cuma bawa foto dengan caption standar “healing tipis-tipis”?. Padahal dompet jadi tipis beneran. Nah, beda cerita kalau Anda mampir ke Desa Wisata Tamanmartani, Sleman, tempat Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) hadir bukan sekadar jualan sembako, tapi jadi penopang wisata edukasi 4 in 1 pertanian, peternakan, kerajinan, dan kuliner.
Di sini, wisatawan tidak hanya “lihat-lihat”, tapi juga bisa “nyemplung langsung”. Bahasa Jawanya, ora mung ndelok, nanging melu obah. Bayangkan pagi bisa belajar menanam padi, siang ikut memandikan sapi, sore belajar membatik, malamnya masak kuliner khas desa. Kalau ada paket seperti ini di aplikasi traveling kota, mungkin judulnya “Full Body Experience, From Mud to Kitchen”.
Wisata edukasi di Tamanmartani dimulai dari sawah. Wisatawan diajak nyeker di lumpur, belajar cara menanam padi. Banyak orang kota awalnya semangat “Wah seru banget!”. Lima menit kemudian “Aduh panas, kaki gatel, punggung sakit”. Inilah bukti bahwa healing sejati bukan di mall ber-AC, tapi di sawah yang bikin keringetan.
Setelah itu, giliran ke peternakan. Anak-anak diajak memberi makan kambing, bahkan bisa belajar memerah susu sapi. Seru? Jelas. Lucu? Pasti. Karena tidak jarang, bukannya susu yang keluar, malah wisatawan yang kabur karena sapi ngibasin ekor.
Tapi inilah intinya wisata bukan sekadar hiburan, tapi pengalaman. Kata pepatah Minang, “Alam takambang jadi guru”. Dan di Tamanmartani, guru itu bukan hanya alam, tapi juga kambing yang sabar menghadapi wisatawan amatiran.
Setelah keringatan, wisata berlanjut ke kerajinan. Wisatawan bisa belajar membatik, atau ikut jemparingan (panahan tradisional). Nah, bagian ini sering jadi ajang pamer bapak-bapak. Katanya dulu jago panahan, tapi pas praktek, anak panahnya malah mental ke samping. Kalau batik, biasanya ibu-ibu antusias, meski hasilnya kadang lebih mirip peta jalur Trans Jawa daripada motif parang.
Puncaknya ada di kuliner, wisatawan bisa ikut masak makanan khas desa, mulai dari gudeg, sayur lodeh, sampai gorengan sederhana. Bedanya, gorengan di sini rasanya “bermodal” singkong dari kebun sendiri, minyak dari hasil gotong royong beli di koperasi. Bukan cuma masak, wisatawan juga belajar filosofi makanan enak itu lahir dari kerja sama, bukan sekadar resep.
Semua kegiatan ini tentu tidak berjalan sendiri. Ada Koperasi Desa Merah Putih Tamanmartani yang jadi agregator menyiapkan produk, mengatur paket, hingga memasarkan. Ibarat pepatah Sunda “Hirup kudu paheuyeuk-heuyeuk leungeun”, hidup itu harus saling genggam tangan. Koperasi lah yang menggenggam semua elemen desa: petani, peternak, pengrajin, sampai tukang masak.
Kalau wisata biasa hanya menghasilkan foto, wisata edukasi 4 in 1 menghasilkan tiga hal pengalaman untuk wisatawan, pemasukan untuk warga, dan keberlanjutan untuk desa. Dan koperasi yang memastikan itu semua berjalan.
Banyak orang kota mengira wisata edukasi desa itu sekadar lucu-lucuan. Padahal serius lho. Anak-anak yang ikut menanam padi akan paham, bahwa nasi di piring tidak turun dari langit. Orang dewasa yang belajar membatik akan sadar, kalau motif cantik butuh kesabaran. Wisata kuliner mengajarkan, bahwa makanan bukan sekadar rasa, tapi cerita di baliknya.
Ibarat pepatah Jawa “Mangan ora mangan sing penting kumpul”. Tapi di Tamanmartani, pepatahnya bisa diubah “Wisata ora wisata sing penting koperasi nyambung”.
Sayangnya, banyak daerah lain masih terjebak pada wisata “pose-posean”. Bikin spot foto dengan kursi rotan, ayunan, atau payung warna-warni. Cantik sih di Instagram, tapi wisatawan pulang cuma bawa feed, bukan pengalaman. UMKM setempat pun kadang tidak kebagian rezeki.
Inilah yang harus ditiru kreativitas mengemas potensi. Tidak cukup punya sawah indah, ternak lucu, atau kuliner enak. Semua itu harus dikaitkan lewat sistem yang rapi. Dan koperasi bisa jadi kuncinya. Coba bayangkan kalau daerah-daerah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi bikin model serupa. Wisatawan bukan cuma selfie, tapi ikut hands on dari kebun, kandang, bengkel batik, sampai dapur.
Wisata edukasi 4 in 1 mengajarkan, bahwa jalan-jalan bukan sekadar hiburan, tapi juga pendidikan dan pemberdayaan. Wisata yang benar adalah wisata yang membuat semua orang pulang dengan nilai tambah. Wisatawan pulang dengan ilmu dan pengalaman, masyarakat desa pulang dengan tambahan pendapatan, desa pulang dengan keberlanjutan.
Ibarat pepatah “Sambil menyelam minum air”, tapi di Tamanmartani, pepatahnya jadi “Sambil wisata, rakyat sejahtera”
KDMP Tamanmartani menunjukkan bahwa koperasi bisa jadi tulang punggung wisata edukasi. Dengan model 4 in 1 pertanian, peternakan, kerajinan, kuliner, wisatawan mendapatkan pengalaman nyata, masyarakat mendapatkan penghasilan, desa mendapatkan keberlanjutan.
Daerah lain mestinya tidak lagi sibuk bikin proposal wisata dengan foto payung warna-warni, tapi mulai meniru cara Tamanmartani libatkan koperasi, satukan potensi, jual pengalaman nyata karena pada akhirnya, wisata yang abadi bukan soal berapa banyak foto di-upload, tapi berapa banyak senyum yang ditinggalkan.[***]