SEKOLAH Rakyat bukan sekadar gedung belajar, program pendidikan anak miskin ini menjadi strategi nyata pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan absolut, dengan target membangun 300 sekolah di seluruh Indonesia.
Anak-anak dari keluarga desil 1–2 DTSEN kini bisa menimba ilmu setara teman-teman mereka yang lebih mampu.
Di asrama, suasana belajar kadang kacau tapi lucu, ada yang berebut buku, berebut tempat tidur, bahkan berebut mie instan. Seorang guru berseloroh, “Kalau mie habis, ilmu jangan ikut habis!” Adegan sederhana ini menggambarkan semangat belajar yang tak kenal putus, meski fasilitas terbatas.
Rantai kemiskinan absolut bukan hanya soal uang, anak-anak miskin sering menghadapi hambatan ganda keterbatasan fasilitas dan minimnya akses pendidikan berkualitas. Sekolah Rakyat hadir sebagai jawaban.
Setiap siswa diasramakan, dibekali pendidikan berkualitas, dan diajari keterampilan hidup. Guru-guru di sini harus multi-talenta kadang motivator, kadang chef dadakan, bahkan stand-up comedian agar siswa tetap semangat.
Pepatah lama tetap relevan “Berikan anak ikan, dia makan sehari, ajari anak memancing, dia makan seumur hidup.” Di Sekolah Rakyat, anak-anak tidak hanya belajar teori, tapi juga memancing ilmu sendiri, kadang sambil tertawa ketika eksperimen gagal.
Misalnya, saat mencoba membuat robot dari barang bekas, seorang siswa berujar, “Kalau robotnya nggak jalan, berarti aku harus lebih jenius besok!” Humor sederhana ini ternyata menumbuhkan kreativitas sekaligus ketekunan.
Menteri Sosial, Gus Ipul, menyebutkan jumlah Sekolah Rakyat per Agustus 2025 mencapai 100 titik, dan bulan depan bertambah 60 titik lagi, menampung sekitar 16 ribu siswa. Program ini bukan sekadar angka, tapi peluang bagi anak-anak miskin untuk naik level hidupnya dari desil 1–2 DTSEN menjadi Superhero Papan Tulis yang senjatanya bukan pedang, tapi ilmu pengetahuan dan kreativitas.
Setiap sekolah baru ibarat “jalan tol” pendidikan anak-anak tidak lagi menempuh rute sulit demi belajar, tapi langsung masuk arena pendidikan yang layak, lengkap, dan mendidik. Konsolidasi sarana dan prasarana terus dilakukan agar kualitas pembelajaran optimal.
Bahkan guru harus siap menghadapi kejadian kocak anak-anak bereksperimen sains pakai ketela dan air rendaman beras, sementara guru mencoba menenangkan chaos sambil berkata, “Kalau gagal, itu bagian dari proses, jangan panik!”
Sekolah Rakyat membuktikan pendidikan bisa lucu dan menyenangkan tanpa kehilangan kualitas. Di asrama, anak-anak berebut Wi-Fi, mempraktikkan sains pakai barang bekas, bahkan ada yang mencoba memasak mie sambil menghitung rumus matematika. Guru kadang berseloroh, “Kalau LED mu mati, berarti otakmu lagi upgrade!”
Sekolah ini seperti cappuccino dengan foam ekstra anak-anak yang sebelumnya hanya mendapat kopi pahit pendidikan kini menikmati latte penuh ilmu dengan taburan kreativitas.
Pepatah baru ala Sekolah Rakyat pun muncul “Kalau kamu nggak suka matematika, jangan khawatir, nanti ketemu rumus cinta di SMPR (Sekolah Menyenangkan & Penuh Rasa).” Humor ini menumbuhkan rasa percaya diri siswa, sekaligus membuat belajar lebih menarik.
Di kantin pun tidak kalah lucu. Anak-anak berebut mie instan, tapi guru berkata sambil tersenyum “Makan sambil belajar, jangan sampai mie masuk perut tapi ilmu keluar dari kepala!”. Adegan kocak seperti ini membuat siswa betah dan semangat belajar. Bahkan guru kadang ikut “ikut tertawa” untuk menenangkan suasana.
Sekolah Rakyat menegaskan pendidikan adalah hak semua anak bangsa, bukan hak istimewa. Anak-anak dari keluarga kurang mampu memiliki kesempatan setara untuk belajar, berprestasi, dan meraih masa depan. Dengan fasilitas layak, asrama, dan guru yang berdedikasi, anak-anak bisa mengubah kehidupan mereka.
Seperti pepatah versi Sekolah Rakyat “Kalau ingin memutus kemiskinan, jangan beri anak batu, beri ilmu dan kesempatan”. Anak-anak yang hari ini belajar di sekolah ini bisa menjadi dokter, guru, pengusaha, ilmuwan, atau bahkan kreator teknologi yang mengubah desa mereka. Pendidikan menjadi senjata ampuh untuk melawan kemiskinan.
Target 300 Sekolah Rakyat menunjukkan keseriusan pemerintah kemiskinan absolut bukan nasib tetap. Anak-anak dari desil 1–2 DTSEN bisa naik level hidup, menjadi Superhero Papan Tulis, yang kemampuan dan kreativitasnya dapat mengubah masa depan.
Sekolah Rakyat membuktikan pendidikan bisa lucu, jenaka, dan penuh humor, tapi tetap serius menyiapkan generasi muda menghadapi realitas hidup. Hari ini mereka mungkin miskin, tapi besok bisa menjadi pahlawan intelektual di desa dan kota mereka.
Pendidikan adalah senjata paling ampuh melawan kemiskinan. Sekolah Rakyat bukan sekadar proyek, tapi investasi nyata untuk Indonesia yang lebih adil, cerdas, dan penuh harapan.[***]