INDUSTRI perfilman Indonesia itu ibarat jodoh, maka nasib 177 film yang belum tayang bisa dibilang kayak naksir tapi ga di-acc orang tua, sudah lulus sensor, sudah siap tampil, eh… malah nganggur gara-gara layar bioskopnya terbatas. Total layar cuma 2.145, padahal film yang antre tayang lebih panjang dari utang warung yang belum dilunasi saat Lebaran.
Audiensi antara Menteri Ekraf Teuku Riefky dan Ketua LSF Naswardi ini sebenarnya bisa digambarkan sebagai pertemuan dua sahabat lama yang akhirnya sadar “Bro, kita ngurus rumah perfilman ini bareng-bareng yuk, jangan saling ngandelin doang.”Seperti pepatah, sebatang lidi mudah dipatahkan, tapi kalau seratus batang bisa jadi sapu lidi buat nyapu sampah-sampah bajakan dan drama penayangan yang tertunda.
Menteri Riefky mengusulkan kerja sama hexahelix. Waduh, istilahnya canggih. Tapi kalau dijabarkan, intinya sih film Indonesia butuh gotong royong, bukan cuma gotong honor, biar film lokal nggak cuma numpang lewat di bioskop sebelum digeser film horor dengan hantu CGI atau superhero impor bersayap jet.
LSF sendiri kayak satpam galak tapi bijaksana, mereka sudah menyensor 42 ribuan karya, tapi tetap santuy ngajak semua kalangan belajar budaya sensor mandiri, seolah berkata “Sensor bukan buat nyensor imajinasi, tapi buat ngejaga akal sehat penonton dari adegan yang bisa bikin emak-emak ngebakar layar bioskop”. Mereka juga gercep digitalisasi sensor, agar proses gak kayak zaman kaset Betamax.
Permasalahan rumah produksi pun tak kalah mengenaskan, hanya segelintir yang kuat bikin film banyak. Yang lain? Ya kayak usaha tahu bulat produksi semangat, modal mepet, dan sering digoreng dadakan. Tapi LSF dan Kemenekraf sepakat solusi bukan saling menyalahkan, tapi saling menyalakan semangat.
Ibarat lampu bioskop, harus kompak dinyalakan biar penonton bisa duduk manis nonton tanpa diganggu lampu mati atau suara tetangga.
Kesimpulannya, ekosistem film kita ini ibarat warung soto yang punya resep juara, tapi mangkoknya kurang dan sendoknya patah-patah.
Pemerintah, LSF, dan pelaku industri harus duduk satu meja bukan untuk makan soto, tapi bikin skenario besar agar film nasional tidak cuma bangga pas Festival Film, tapi juga laku keras di lapangan. Sambil menjaga HKI dan menghormati karya, mari kita ingat satu pesan penting film bukan sekadar tontonan, tapi tuntunan, asal nggak ditayangkan jam 11 malam dan isinya cuma drama nangis-nangisan.
Film kita banyak, penonton haus hiburan, tapi layarnya terbatas, sensor jalan, kreativitas ngebut, tapi promosi kadang kayak motor mogok di tanjakan.
Saatnya industri film jangan cuma jago akting di panggung seminar, tapi juga tegas dalam aksi nyata, karena seperti kata pepatah biarpun layar cuma segitu, asal kerja sama erat, film bisa tembus hati penonton dan dompet produser.[***]