Dalam dunia diplomasi, biasanya yang dipakai itu dasi, pidato, dan nasi kotak. Tapi di tangan sineas Indonesia, diplomasi bisa lewat film. Dan tak tanggung-tanggung, bukan film tentang pejabat gagah berani menyelamatkan dunia dari bom waktu, tapi tentang anak yatim, panti asuhan, dan bocah Palestina yang mencari damai di negeri kita. Judulnya Hayya 3: Gaza. Jangan salah, ini bukan sekuel Avengers, tapi bisa bikin penonton berderai air mata dan menggigit tisu dalam gelap bioskop.
Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, tampaknya sadar betul bahwa kadang yang tidak bisa disampaikan lewat pidato, bisa disampaikan lewat adegan sunyi bocah kecil menggenggam boneka usang.
Maka ia mengapresiasi film ini bukan hanya sebagai tontonan, tapi juga sebagai tuntunan dan diplomasi senyap yang menyentuh jantung nurani bangsa-bangsa. Katanya, film ini selaras dengan semangat Presiden Prabowo. Kalau benar demikian, berarti bioskop kini bukan cuma tempat kencan, tapi juga arena perjuangan.
Kita boleh saja punya ribuan diplomat dan ratusan kedutaan, tapi kadang satu film yang menyentuh bisa lebih menggerakkan dunia. Kata pepatah dari warung kopi “Sekali layar terkembang, film bisa menggetarkan lebih dari sekadar debat panjang”. Bahkan, film kadang lebih cepat viral daripada nota diplomatik.
Hayya 3 berkisah tentang Abdullah Gaza, bocah yatim piatu yang tinggal dipanti asuhan di Indonesia. Ia berjumpa dengan Hayya, gadis Palestina yang tersesat dari tanah airnya, tapi tak kehilangan arah untuk menemukan kasih sayang. Cinta dalam cerita ini bukan cinta-cintaan ala sinetron jam sembilan malam, tapi cinta dalam bentuk pelukan hangat, tawa sederhana, dan keberanian kecil menghadapi kenyataan yang tak ramah.
Bayangkan saja, dua anak yang bahkan belum mengerti diplomasi, bisa membangun jembatan nurani antara Indonesia dan Palestina, kalau ini bukan bentuk diplomasi kreatif, lalu apa?
Menteri Riefky menyatakan bahwa Kementerian Ekraf siap mendukung penuh, termasuk melibatkan tokoh publik dan influencer. Jangan heran kalau nanti TikTok dipenuhi testimoni nangis berjamaah usai nonton Hayya 3. Mungkin pula ada gerakan #TisuUntukHayya atau #DariPantiUntukPalestina. Di sinilah letak kekuatan ekonomi kreatif, ia bisa menggerakkan emosi sekaligus ekonomi.
Acungkan 2 jempol
Deputi Agustini Rahayu dari Kemenekraf juga menekankan pentingnya melibatkan dinas kreatif daerah. Nah ini baru langkah jitu. Jangan sampai film sebagus ini cuma berakhir di bioskop mall mewah, tapi bisa juga tayang di balai desa pakai layar tancap, sambil warga bawa kursi plastik dan bakwan goreng.
Ekonomi kreatif itu seperti gorengan, kalau digoreng dengan niat dan minyak yang panasnya pas, bisa kriuk, gurih, dan bikin ketagihan. Tapi kalau dibiarkan dingin dan tanpa dukungan, ya lembek dan dilupakan. Dukungan kepada film Hayya 3 adalah semacam usaha menggoreng kisah kemanusiaan dengan wajan perfilman nasional.
Di balik layar, kita tahu ada para tokoh hebat seperti Ustaz Erick Yusuf, Helvy Tiana Rosa, dan Asma Nadia, yang sudah lama mengangkat tema-tema religius dan sosial, kehadiran tokoh-tokoh ini seperti bumbu dapur yang diracik tepat, takarannya pas, sehingga rasa film ini bisa menyentuh perasaan, bukan cuma otak.
Kita juga patut berterima kasih kepada para aktor dan kru yang ikut menyumbang air mata, tawa, dan energi mereka untuk menyampaikan pesan damai. Layar lebar bisa menjadi panggung empati global, bukan sekadar tempat ngadem dari cuaca panas dan promo popcorn.
Film Hayya 3: Gaza sejatinya bukan hanya sekadar sekuel. Ia adalah sekuel dari nurani, kelanjutan dari empati, dan bab baru dari diplomasi ala anak panti. Di zaman di mana perang dipertontonkan seperti sinetron sore, kehadiran film yang justru menampilkan damai sebagai fokus cerita patut diacungi jempol dua, bahkan, plus jempol kaki kalau perlu.
Dukungan Kementerian Ekraf patut disambut baik. Tapi semoga dukungan ini bukan cuma hangat-hangat tayang perdana. Harus ada tindak lanjut, termasuk menguatkan jaringan bioskop alternatif, promosi berbasis komunitas, dan platform digital yang mampu membawa film ini menjangkau lebih banyak hati.
Karena, seperti kata pepatah warung kopi lagi lainnya “Kalau diplomasi gagal disampaikan lewat pidato, coba sampaikan lewat cerita. Karena hati kadang lebih mendengar adegan diam daripada orasi panjang”.
Akhirnya kita sadar, bahwa tidak semua diplomasi harus lewat podium dan protokol. Kadang, diplomasi bisa lewat adegan sunyi di panti asuhan, tatapan anak yatim yang kehilangan kampung halaman, atau lewat tokoh bernama Gaza yang memeluk luka kecil bernama Hayya. Film Hayya 3 ini bukan cuma hiburan. Ia seperti ember kecil yang ikut memadamkan api besar di Palestina. Mungkin tak menyelesaikan konflik, tapi setidaknya memberi rasa bahwa Indonesia masih punya nurani, bukan hanya trending topic dan gimik TikTok.
Kita juga perlu apreasi dukungan dari Menparekraf Teuku Riefky terhadap film ini, karena bukan perkara basa-basi konferensi pers. Ini adalah sinyal, bahwa negara hadir bukan hanya di rapat kabinet, tapi juga di ruang pemutaran film, di mana air mata dan empati bisa lebih jujur dari pidato.
Sebagaimana pepatah lama dari kampung saya yang baru saya bikin sore tadi. “Kalau tak bisa mengangkat senjata, angkat naskah. Kalau tak bisa berteriak di forum dunia, berteriaklah lewat film. Tapi jangan teriak di bioskop, nanti diusir”.
Hayya 3: Gaza mengingatkan kita, bahwa cinta dan kepedulian tidak butuh paspor diplomatik. Cukup tiket nonton, hati yang masih bisa merasa, dan keberanian untuk berkata kita peduli. Karena kadang, dunia tak berubah karena kekuasaan, tapi karena sebaris dialog dan sepotong adegan yang menampar hati. Dan semoga, saat anak-anak di Gaza mendengar nama mereka disebut lewat layar lebar di negeri jauh, mereka tahu dunia belum sepenuhnya diam. Ada cinta dari tanah panti di Nusantara.[***]