Sumselterkini.co.id, – Bukan cuma popcorn dan gala premiere, Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) kini menjelma jadi etalase diplomasi budaya, generator ekonomi kreatif, dan arena berbagi cerita antarnegara.
Menteri Teuku Riefky tahu betul kalau mau jualan masa depan, ya mulai dari cerita yang bisa bikin orang duduk dan mikir. Apalagi film luar negeri yang dibawa masuk lewat Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) bukan kegiatan santai, tapi bentuk kerja diplomatik yang sangat serius. Apalagi kalau nontonnya di CGV Pacific Place, sambil ngomong soal kerja sama budaya lintas benua.
FSAI 2025 yang diluncurkan Jumat, 9 Mei lalu, bukan cuma urusan popcorn dan tiket premiere. Tahun ini spesial, karena FSAI genap berusia 10 tahun dan akan menjelajah ke 10 kota di seluruh Indonesia., Jakarta, Mataram, Bandung, Surabaya, Manado, Makassar, Padang, Denpasar, Yogyakarta, dan Semarang akan kebagian euforia sinema Australia.
Tapi jangan salah, ini bukan acara rutinan yang asal ada. Ini adalah bagian dari strategi besar ekonomi kreatif yang makin berani tampil di panggung global.
Menteri Riefky tampak sangat optimistis. Di hadapan media, ia menyampaikan bahwa film bukan lagi urusan hiburan receh. Film kini adalah urusan ekonomi, urusan strategi budaya, bahkan urusan politik lunak antarnegara. “Kita tidak hanya menonton, tapi membangun kerja sama, membuka lapangan kerja, dan mempromosikan identitas bangsa,” ujarnya.
Memang tak bisa dipungkiri, sektor film Indonesia sedang berlari. Berdasarkan data Cinepoint, jumlah penonton film lokal di tahun 2024 menembus 82 juta orang. Itu bukan angka kaleng-kaleng.
Bahkan, 21 film Indonesia berhasil menjaring lebih dari 1 juta penonton masing-masing. Tahun ini pun baru bulan Mei, tapi jumlah penonton film lokal sudah tembus 33,9 juta. Ini bukan sekadar tren, tapi sinyal kuat bahwa perfilman nasional tengah menemukan momentumnya.
Dan di titik ini, FSAI hadir sebagai katalis. Bukan sekadar tempat nonton bareng, tapi ruang diplomasi budaya yang cair. Ada masterclass untuk mahasiswa dan sineas muda, ada ruang diskusi antara filmmaker dua negara, ada potensi koproduksi dan distribusi lintas batas. Di balik layar, FSAI sedang membuka pintu-pintu kerja sama yang kelak bisa jadi jalan emas bagi industri perfilman Indonesia untuk menembus pasar global.
Deputi Bidang Kreativitas Media, Agustini Rahayu, yang mendampingi Menteri Riefky, juga tak datang sekadar berfoto. Mereka tahu betul, kalau ingin membawa film Indonesia ke level dunia, tak bisa cuma mengandalkan bakat. Perlu jejaring, kolaborasi, dan kerja diplomatik yang konsisten.
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Roderick Brazier, juga tak main-main. Ia menyebut bahwa momen 10 tahun FSAI adalah peluang emas bagi dua negara untuk memperkuat hubungan lewat medium film.
“Ini bukan cuma soal produksi film, tapi juga bagaimana kita memperkuat reputasi bersama di mata dunia,” ujarnya.
Sektor kreatif film
Kalau kita mau jujur, Australia sudah cukup lama menjadikan sektor kreatif terutama film dan animasi sebagai salah satu motor ekonomi non-tradisional.
Tak heran, mereka bisa bikin film-film berkualitas dengan pasar global seperti Happy Feet, Mad Max, sampai The Dry. Pemerintahnya juga aktif mengembangkan skema insentif untuk koproduksi film internasional. Nah, Indonesia bisa belajar banyak dari situ. Bukan untuk meniru mentah-mentah, tapi untuk mengadopsi semangat membangun ekosistem kreatif yang sehat dan berdaya saing.
Lalu apa yang kita punya? Banyak! Kita punya pasar yang besar, SDM muda yang kreatif, cerita-cerita lokal yang autentik, dan penonton yang setia. Tapi kadang kita kurang percaya diri, atau malah terlalu sibuk saling menjegal antarproduser.
Padahal kalau dikawal dengan baik, ekosistem perfilman Indonesia bisa jadi raksasa baru di Asia Tenggara. Dan FSAI ini bisa jadi gerbang awal ke arah sana.
Pemerintah harus melihat ini sebagai investasi jangka panjang. Bukan hanya soal berapa juta tiket terjual, tapi soal berapa banyak pelaku kreatif yang diberdayakan. Dari penulis skenario, editor, teknisi lampu, aktor lokal, sampai kru katering syuting. Semuanya adalah bagian dari rantai ekonomi kreatif yang bernilai.
Yang lebih penting lagi, lewat kerja sama seperti ini, kita bisa menanamkan cerita kita ke dunia. Film bukan cuma tentang yang ada di layar, tapi juga tentang siapa yang punya suara.
Kalau kita tak punya panggung, cerita kita akan hilang, digantikan narasi dari luar. Maka film bisa jadi alat penting untuk menjaga identitas, sembari tetap bersaing secara ekonomi.
Festival Sinema Australia Indonesia 2025 bukan sekadar pesta film tahunan. Ia adalah simbol bahwa ekonomi kreatif Indonesia, khususnya film, sudah waktunya naik kelas.
Lewat diplomasi budaya, masterclass sineas, dan kerja sama koproduksi, FSAI membuka banyak pintu bagi anak muda kita yang bukan hanya ingin terkenal di TikTok, tapi juga ingin berkarier di industri film yang profesional.
Menteri Teuku Riefky sadar, pertumbuhan ekonomi hari ini tak bisa lagi mengandalkan tambang dan ladang semata. Di era baru, yang dijual adalah cerita, kreativitas, dan kolaborasi. Dan film adalah medium yang lengkap ia menyentuh hati, menyampaikan pesan, menciptakan nilai ekonomi, dan memperkuat nama bangsa.
Kalau negara lain bisa menjual “branding” lewat film, kenapa Indonesia tidak? FSAI 2025 adalah salah satu jawabannya. Jadi jangan anggap remeh, karena kadang langkah besar dimulai dari menonton film bersama. Tapi yang penting, setelah nonton jangan lupa bangun ekosistemnya.[***]