BEGITU kaki menapak Desa Bumi Kencana, terasa ada yang berbeda, bukan cuma karena suara tadarus yang merdu bersahutan dari surau, atau karena ibu-ibu Fatayat tampil kompak dengan seragam hijau toska berhiaskan semangat, Selasa kemarin desa kecil itu, seperti disulap jadi panggung besar akhlak dan kebersamaan.
Wakil Bupati Muba, Kiyai Rohman, hadir tak hanya untuk meresmikan Gedung Ranting NU Center, tetapi juga menghidupkan semangat baru bahwa membangun karakter generasi muda bisa dimulai dari satu bangunan sederhana, asal ditopang nilai yang luar biasa. Tapi jangan bayangkan gedung ini kayak kantor notaris atau showroom motor. Gedung ini gedung keumatan, tempat untuk ngaji, rembuk warga, mengaji, dan menenangkan hati, dan bisa jadi tempat curhat yang lebih afdal daripada status Facebook.
Dalam sambutannya, Wabup Rohman bilang bahwa NU bukan cuma organisasi keagamaan. Ia adalah “kain putih pembungkus luka sosial”, peneduh dari panasnya zaman, dan lampu petromaks di tengah kegelapan zaman digital yang makin ramai, tapi minim akhlak. Kalau anak muda sekarang sibuk cari konten, NU sibuk jaga konten batin nilai, akhlak, dan toleransi.
Pepatah lama berkata, “Kalau tak bisa jadi pelita, jangan jadi angin,” Nah, NU ini sudah jelas pelita. Sementara banyak organisasi berlomba jadi viral, NU tetap istiqamah jadi moral.
Gedung NU yang diresmikan ini bukan sekadar tembok dan atap, gubuk kecil di tengah ladang nilai. Di sinilah rindu berkumpulnya ulama, pelajar, dan warga sederhana yang ingin belajar Islam yang sejuk bukan yang hobi debat di kolom komentar. Gedung ini seperti warung kopi rohani, tempat isi ulang batin yang lelah oleh dunia.
Kata Wabup, dari gedung sederhana ini akan lahir ide besar untuk kemaslahatan umat. Kita jadi teringat, bahkan Bung Karno pun memulai revolusi dari pendopo kecil, bukan dari ballroom hotel.
Biar gak cuma ceremonial, Wabup Rohman juga menyerahkan bantuan sosial dari bedah rumah, kursi roda, sampai kambing ternak.
Itu bukan bantuan sembarangan, kursi roda untuk yang butuh, bukan buat drifting di gang sempit, kambing ternak pun untuk ekonomi rakyat, bukan buat lomba fashion qurban. Semua bantuan itu adalah bukti cinta Pemkab Muba yang gak cuma manis di baliho, tapi juga terasa di dapur warga.
Di tengah acara, berkumpul para penggerak NU dari Fatayat, Muslimat, hingga GP Ansor. Kalau ini diibaratkan sepeda motor, mereka adalah tiga roda yang bikin NU tetap melaju mulus di jalan perjuangan.
Yang satu rawat akhlak perempuan muda, yang satu jaga ibu-ibu supaya tetap religius dan waras di era TikTok, dan yang satu lagi siap pasang badan kalau ada intoleransi lewat.
Kata Wabup, NU itu membawa kesejukan. Lagu Yalal Wathon pun bukan sekadar jingle, tapi vitamin cinta Tanah Air, sementara sebagian orang sibuk menuding sesat, NU sibuk menanam akhlak. Ibarat nasi uduk, NU ini lengkap ada nilai, ada tradisi, dan ada lauk toleransi.
Kalau ada yang bilang agama dan nasionalisme tak bisa bersatu, NU sudah sejak lama membuktikan kiblat boleh ke Makkah, tapi cinta tetap ke Indonesia.
Peresmian Gedung NU Center di Sungai Lilin ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah tanda bahwa nilai-nilai keislaman yang santun dan cinta tanah air tetap hidup, bahkan tumbuh subur. Ini bukti bahwa membangun bangsa tak harus dimulai dari menara gading, cukup dari rumah ibadah, majelis ilmu, dan pengajian ibu-ibu yang sesekali membawa anak sambil ngupas semangka.
NU bukan hanya organisasi, ia adalah denyut nadi spiritual bangsa, dan hari itu, di Desa Bumi Kencana, denyut itu terasa kuat, seperti kata pepatah Arab, “Barangsiapa menanam kebaikan, maka dia akan memanen kebahagiaan” NU sudah menanam banyak, tinggal kita jaga dan rawat, agar tak tumbuh menjadi semak belukar konflik, tapi menjadi taman indah keberagaman.
Jadi kalau kau rindu suasana hangat, penuh nilai, dan senyum santri, datanglah ke NU Center. Di sana, iman tak sekadar diucap, tapi dirawat dari doa para ulama, tawa anak-anak ngaji, sampai gemericik air wudhu yang jadi saksi perjalanan akhlak.[***]