MUBA Terkini

Lebaran & Diplomasi Hati [Kala Rumah Bupati jadi Rumah Rakyat]

foto : ist

Sumselterkini.co.id, – Setelah gema takbir mereda dan aroma ketupat masih bersisa di udara, halaman-halaman rumah mulai dibuka lebar. Pintu-pintu yang biasanya tertutup rapat oleh kesibukan kini menganga penuh harap akan kehangatan silaturahmi. Begitu juga di Desa Sungai Angit, Kecamatan Babat Toman, tempat kediaman Bupati Musi Banyuasin, H M Toha SH, menjelma menjadi panggung kebersamaan tanpa sekat. Rumah itu, yang biasanya menjadi ruang privat seorang pemimpin daerah, hari itu berubah menjadi rumah rakyat, terbuka, hangat, dan tanpa protokol kaku.

Pada Rabu pagi yang cerah (2/4/2025), sejak matahari baru saja naik, masyarakat sudah berdatangan. Tak ada undangan resmi, tak ada daftar tamu eksklusif. Yang dibawa hanya niat tulus untuk bersilaturahmi dan berbagi senyum dalam suasana lebaran. Dari anak-anak yang berlarian sambil memegang balon, hingga para orang tua yang berjalan perlahan dengan kain songket terbaik mereka semuanya menyatu dalam satu bingkai kebersamaan.

Apalagi fitrah yang kita rayakan setiap Idul Fitri sejatinya bukan hanya kembali pada suci, tapi juga kembali pada kesadaran kolektif bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan koneksi emosional. Maka rumah terbuka bukan hanya gestur kebaikan, melainkan simbol bahwa ruang untuk rakyat harus selalu tersedia.

Inilah diplomasi hati dalam bentuknya yang paling jujur. Bukan diplomasi politik yang penuh perhitungan, melainkan diplomasi yang ditulis dengan sapaan, disampaikan dengan pelukan, dan dibumbui oleh tawa kecil yang lahir dari obrolan ringan. Ketika seorang bupati menjabat tangan warganya tanpa sekat kekuasaan, saat itulah kita melihat kekuasaan yang berwibawa tanpa perlu meninggikan suara.

Momentum ini seperti lorong waktu, membawa kita kembali pada esensi Idul Fitri, menyambung yang pernah putus, merajut kembali yang sempat renggang. Idul Fitri bukan hanya perayaan spiritual, tapi juga ruang sosial untuk meleburkan sekat-sekat yang kerap tumbuh karena beda pilihan, beda jabatan, bahkan beda nasib. Dan rumah sang Bupati, hari itu, menjadi perwujudan nyata dari ruang sosial itu, tempat  yang mempersilakan siapa saja untuk hadir dan merasa pulang.

Ketika rumah pemimpin menjadi rumah rakyat, maka harapan pun kembali disemai. Harapan bahwa kebijakan tidak lahir dari menara gading, tapi dari hati yang mau mendengar. Harapan bahwa setiap perayaan bukan hanya euforia, tapi juga evaluasi sudah seberapa dekatkah kita dengan rakyat hari ini?

Dampingi  sang istri, Hj Patimah Toha, yang ramah menyambut para tamu, serta kehadiran Wakil Bupati Rohman dan istrinya, suasana terasa semakin akrab. Tidak terasa seperti mengunjungi pemimpin, tetapi seolah sedang bertamu ke rumah saudara yang sudah lama tak bersua. Ada keintiman yang sulit dijelaskan. Mungkin karena pada dasarnya, manusia memang lebih mudah menyatu ketika ego diredam dan hati dibiarkan bicara.

Terkadang, kita lupa bahwa pemimpin juga manusia. Mereka juga merayakan Lebaran, juga ingin memaafkan dan dimaafkan. Namun lebih dari itu, momen seperti ini adalah pengingat: bahwa jabatan hanyalah sementara, sedangkan hubungan antara pemimpin dan rakyat adalah jembatan yang harus dirawat seumur hidup. Dan tidak ada jembatan yang lebih kuat selain kepercayaan dan kedekatan emosional.

Bupati Toha, dalam sambutannya yang sederhana namun mengandung makna dalam, menekankan pentingnya memanfaatkan Lebaran sebagai momentum silaturahmi. Ia tidak sedang bicara sebagai pejabat, tapi sebagai kepala keluarga besar Muba. “Mari kita manfaatkan momen ini sebagai ajang silaturahmi dan saling sapa,” ucapnya, dengan nada tulus yang menembus protokol dan formalitas.

Saling sapa, yakni dua kata sederhana yang mengandung filosofi besar. Dalam dunia yang makin riuh oleh kritik dan kompetisi, kemampuan untuk menyapa dan mendengar menjadi langka. Open House ini menjadi oase: tempat di mana komunikasi kembali jujur, dan senyum tidak dibebani agenda tersembunyi. Sebuah ruang di mana rakyat merasa tidak hanya dilayani, tetapi juga dihargai.

Ketika rakyat datang bersalaman, bukan hanya tangan yang bersentuhan. Ada harapan yang berpindah, ada doa yang ikut mengalir. Ada energi yang tak terlihat, tapi terasa bahwa di balik semua tantangan dan perbedaan, kita semua masih satu keluarga besar. Dan keluarga, sejatinya, tidak dibangun oleh kesempurnaan, tapi oleh kesediaan untuk terus menyapa meski pernah berbeda arah.

Dalam kerangka lebih luas, inilah model kepemimpinan yang kita dambakan. Kepemimpinan yang hadir bukan hanya di kantor, tapi juga di tengah masyarakat, kepemimpinan yang tidak hanya bicara lewat pidato, tapi juga lewat pelukan hangat dan tawa bersama. Politik yang manusiawi, birokrasi yang membumi.

Jadi, jika ada yang bertanya apa arti Idul Fitri di tengah hiruk-pikuk kekuasaan? Maka jawabannya mungkin bisa dirangkum dalam satu peristiwa sederhana, ketika rumah seorang bupati berubah menjadi rumah rakyat, dan kekuasaan melebur dalam kasih sayang, di situlah fitrah kembali menemukan tempatnya. Lebaran, pada akhirnya, adalah jalan pulang bagi hati baik rakyat maupun pemimpin.

Bahkn semangat yang ditanamkan selama hari kemenangan ini tak boleh ikut pulang begitu saja. Mulai tanggal 8 April 2025, seluruh ASN (Aparatur Sipil Negara) kembali ke meja kerja, ke layar komputer, ke ruang-ruang pelayanan yang menanti senyum dan ketulusan. Maka mari bawa semangat silaturahmi ke dalam etos kerja, bawa ketulusan Idul Fitri ke dalam cara melayani masyarakat.

Karena Idul Fitri bukan akhir dari kebaikan, melainkan awal dari komitmen baru. Setelah saling memaafkan, kini saatnya saling memperkuat. Setelah saling menyapa, kini waktunya saling bekerja sama. Karena sejatinya, pelayanan publik yang baik bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga tentang kehangatan, seperti suasana rumah terbuka di hari raya. Maka biarkan semangat itu menetap, bahkan setelah hari libur lewat, sebab rakyat menunggu, dan pengabdian tak pernah mengenal hari libur yang panjang.[***]

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com