KEPALA desa itu ibarat koki dapur negara, maka desa adalah tungku pertamanya. Api menyala dari situ, kalau apinya padam, jangan heran kalau masakan pembangunan juga jadi hambar kekurangan garam, kekurangan sayur, dan kadang malah gosong, karena kebijakan terlalu setengah matang.
Wajar kalau pada Rabu siang yang berkeringat tapi penuh semangat itu, puluhan kepala desa se-Muba ngumpul di Griya Bumi Serasan Sekate.
Tujuannya? bukan buat piknik atau arisan panci, tapi menyampaikan isi hati dan isi catatan, tentang infrastruktur, kesejahteraan, dan masa depan desa yang kadang hidupnya lebih susah dari sinetron tukang ojek pengantar cinta.
Bupati Muba, Pak Haji Toha gayanya sederhana tapi langkahnya sering membuat aspal iri, para kades ini datang dengan semangat seperti petani menyambut pupuk bersubsidi. Mereka bukan cuma bawa proposal dan daftar panjang usulan, tapi juga bawa harapan agar desa tak terus jadi anak tiri dalam drama pembangunan.
Ketua APDESI, Surianto, memulai pidato seperti orator ulung santun tapi mantap, ia menyampaikan permintaan yang bukan kaleng-kaleng Sekretariat operasional, kendaraan dinas, tunjangan yang manusiawi, dan forum catur wulan agar kepala desa bisa diskusi serius tanpa harus tunggu undangan kembang desa.
“Pak Bupati, jangan cuma BUMDes yang dievaluasi, pelatihan-pelatihan pun perlu dicek. Jangan sampai pelatihnya datang cuma buat selfie, lalu pulang dengan honor, sementara perangkat desa masih bingung cara ngoper laptop,” kata salah satu kades, sambil nyengir. Yang lain tertawa setuju, meski tetap formal.
Isu-isu yang dibahas memang serius, mulai dari penetapan batas desa yang kadang lebih rumit dari batas wilayah di Piala Dunia hingga kesejahteraan imam masjid, guru TK, dan marbot yang selama ini sering jadi pahlawan senyap. Mereka ada di setiap kegiatan, tapi tunjangannya kadang lebih kecil dari biaya servis AC di kantor OPD.
Bupati Toha pun tak tinggal diam, beliau menanggapi satu per satu dengan kalimat yang diplomatis tapi tak basa-basi. “Insya Allah akan kita kaji dan tindak lanjuti, sepanjang tak bertabrakan dengan regulasi. Jangan sampai semangat kita malah kena tilang aturan,” katanya, disambut anggukan para kades yang sudah terbiasa bertempur dengan tumpukan formulir.
Pak Bupati juga menyampaikan pesan sakral “Jaga integritas. Jangan sampai jadi kades yang suka nyeruduk aturan, atau tiba-tiba viral gara-gara ngopi di kantor saat warga kebanjiran”.
Sebenarnya, obrolan antara APDESI dan Bupati ini ibarat tempe ketemu sambal, lengkap sudah rasanya kalau ditindaklanjuti dengan tindakan nyata, karena kalau bicara desa, kita bicara nadi utama republik.
Di Jepang misalnya, desa seperti Kamikatsu sudah jauh-jauh hari mandiri dengan sistem daur ulang 100%, bahkan warga bikin sendiri sabun dari minyak jelantah.
Di Finlandia, desa kecil seperti Fiskars jadi sentra seni dan desain dunia, sementara di Indonesia? masih banyak desa yang jaringan sinyalnya suka ngilang seperti mantan waktu ditagih utang.
Desa bukan tempat buang sisa proyek kota, desa adalah akar. Kalau akar dicuekin, pohon pembangunan bisa tumbang diterpa isu, janji palsu, dan dana yang diserap tapi tak terasa. Penting menjadikan APDESI bukan sekadar organisasi seremonial, tapi mitra strategis yang bisa berdiskusi tanpa perlu disuruh ngopi dulu.
Kades bukan anak buah bupati, mereka mitra lapangan yang bersahabat dengan jalan rusak, jaringan hilang, dan warga yang kadang lebih suka lapor di WA grup daripada ke balai desa.
Kalau desa diberdayakan, bukan cuma kesejahteraan naik, tapi juga harga diri republik. Bayangkan kalau semua desa punya akses jalan mulus, sekolah aktif, layanan digital, dan kepala desa yang bisa ngoding sambil ngaji. Mimpi? Bisa jadi. Tapi semua perubahan besar dimulai dari obrolan kecil di Griya Serasan, dari tawa-tawa kecil kades yang berharap besar.
Jadi kalau hari ini kepala desa datang membawa daftar harapan, jangan anggap itu daftar belanja. Itu adalah suara dari bawah tanah demokrasi yang kadang lebih jujur dari laporan tahunan, karena sejatinya, kalau desa sehat, kota akan ikut langsing, dan negeri ini akan berjalan lebih tegap tanpa perlu korset kebijakan yang menyakitkan.
Doakan semoga pertemuan ini bukan hanya jadi album foto di Instagram Pemkab, namun betul-betul jadi awal dari sinergi yang gak basa-basi. Biar desa kita tidak cuma maju di baliho dan akun medsos, tapi juga nyata di jalanan, di sekolah, dan di dapur ibu-ibu yang tiap hari berdoa agar harga beras tak naik sebelum anaknya naik kelas.
Karena membangun desa itu bukan proyek lima tahun, tapi warisan lintas generasi, dan semua itu, dimulai dari satu langkah mendengar dengan hati, lalu bekerja tanpa pamrih walau tanpa kamera.[***]