Sumselterkini.co.id, – Dulu, di sebagian pelosok Musi Banyuasin, hidup itu dijalani dengan prinsip syukur-syukur nyala. Warga bukan takut gelap karena horor, tapi karena listrik dari PT MEP sering main petak umpet. Kadang nyala pas jam tidur, kadang padam pas emak-emak lagi goreng ikan. Ada juga kisah pilu anak sekolah ngerjain PR pakai cahaya lilin sisa ulang tahun bapaknya.
PT MEP alias PT Muba Electric Power sejatinya dibikin karena kondisi darurat. PLN belum sanggup menjangkau semua wilayah, jadi pemerintah daerah bikin solusi BUMD sendiri. Niatnya mulia, eksekusinya ya… lumayan. Tapi kayak cinta lama yang makin sering PHP, MEP akhirnya mulai ditinggalkan satu per satu. Bukan karena gak cinta lagi, tapi karena kebutuhan zaman menuntut lebih listrik harus stabil, harga harus waras, dan colokan harus bisa diandalkan.
Dan akhirnya, PLN datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai jodoh yang sah secara sistem kelistrikan nasional. Terbaru, giliran lima desa di Kecamatan Keluang yang resmi say goodbye ke MEP dan say hello ke PLN. Desa Karya Maju, Tegal Mulyo, Sri Damai, Mulyo Asih, dan Tenggaro kini sudah bisa nyetrika sambil karaokean tanpa takut lampu ngambek.
Seremoni penyalaan listrik perdana di Desa Tegal Mulyo berlangsung dengan gaya. Bupati Muba H M Toha, Wakilnya Rohman, Gubernur Sumsel H Herman Deru, GM PLN Adhi Herlambang, dan segenap pasukan berkumpul di satu titik terang, lengkap dengan doa dan tepuk tangan warga. Gaya peresmiannya kayak grand opening mall, tapi isinya kabel dan trafo.
Pak Bupati bilang, listrik itu bukan cuma penerang malam, tapi juga penggerak ekonomi. Betul sekali. Soalnya di era sekarang, gak ada listrik artinya gak ada hidup. Kompor gak bisa nyala, ponsel gak bisa dicas, bahkan mesin penyemprot hama aja sekarang udah butuh colokan. Kalau MEP dulu kayak pacar LDR kadang ada, kadang tidak bisa dihubungi, maka PLN ini diharapkan bisa jadi pasangan sehidup semati. Tanggung jawab dan tahan lama.
Apalagi, program pengalihan ini bukan proyek kecil. Total ada 56.112 pelanggan PT MEP di 14 kecamatan yang akan bertahap dipindahkan ke PLN. Dan tahapan ini dimulai secara nyata di Keluang. Kalau boleh jujur, untung PLN baik hati, kalo nggak bae pusing juga pemerintah daerah. Bayangin aja kalau PLN masih jual mahal, Pemkab Muba bisa kering ide. Mau bangun gardu sendiri? Biayanya bisa bikin kepala botak sebelum waktunya.
Gubernur Sumsel pun memberikan kredit penuh kepada Pemkab Muba. Katanya, “Baru 56 hari kerja, sudah bisa switch on.” Ini bukan pencapaian receh. Ibarat kepala daerah yang baru masuk kantor, belum hafal letak toilet pun, tapi udah bisa nyalain listrik sekecamatan. Gaya kepemimpinan macam ini bikin hati rakyat hangat, colokan pun ikut bersinar.
Selain soal terang, PLN juga membawa harapan dalam bentuk… penghematan. Tarifnya lebih murah dibanding MEP. Kata Gubernur, bisa turun sampai 40-50 persen. Ini penting. Karena selama ini, ada warga yang rela matiin kulkas tiap malam biar tagihan MEP nggak bikin jantung lompat. Sekarang, mereka bisa hidup tenang, tidur nyenyak, dan beli token sambil senyum.
PLN juga nggak datang asal pasang. Mereka bawa visi pelayanan. GM PLN wilayah S2JB, Pak Adhi Herlambang, menyebut pengalihan ini bukan cuma urusan kabel dan meteran, tapi komitmen bagaimana masyarakat dilayani dengan baik. Karena pada akhirnya, listrik bukan cuma alat, tapi hak dasar. Sama kayak air, udara, dan kuota internet.
Contoh sukses daerah yang sudah lebih dulu dialiri PLN juga banyak. Ada desa yang dulunya sepi kayak kuburan habis maghrib, sekarang ramai dengan aktivitas malam. Warung kopi buka 24 jam, tukang cukur berani pasang neon terang, dan anak-anak bisa ikut kelas daring tanpa harus rebutan colokan. Perekonomian pun pelan-pelan naik kelas. Karena listrik itu ibarat pupuk tanpa dia, tanaman hidup segan, mati pun ogah.
Tentu saja, peralihan ini butuh waktu dan kerja keras. Gak bisa langsung switch all kayak ganti sandi Wi-Fi. Tapi langkah sudah dimulai, dan PLN sudah menyalakan harapan. MEP akan dikenang sebagai solusi sementara yang berjasa, tapi PLN datang sebagai solusi permanen yang ditunggu-tunggu.
Namun, di tengah euforia penyalaan perdana ini, kita tidak boleh lupa bercermin. Muba ini bukan kabupaten biasa. Ia kaya minyak, punya gas, dan batubara pun ada meskipun kalorinya agak malu-malu. Tapi ironisnya, belum semua wilayahnya terang. Di saat kita ekspor hasil bumi ke luar daerah, masih ada dusun yang gelapnya kayak bioskop jam tayang terakhir.
Ini seperti orang yang punya kebun durian, tapi tiap malam masih makan mi instan pakai lilin. Atau punya sumur emas, tapi air mandi masih numpang di tetangga. Sumber daya ada, tapi jaringan belum semua tersambung.
Jadi, sembari kita tepuk tangan atas keberhasilan pengalihan ini, kita juga perlu bertanya pelan-pelan tapi dalam kenapa tanah sekaya ini belum juga bisa nyetrum seluruh warganya dengan adil dan merata?
Listrik bukan cuma urusan teknis. Ini soal keberpihakan. Soal prioritas. Dan soal rasa keadilan. Jangan sampai warga hanya jadi penonton di kampung sendiri, lihat sumber daya diangkut keluar, tapi colokan rumah masih cuma hiasan tembok.
Oleh sebab itu, semangatnya jangan berhenti di seremoni. Jangan cuma menyala waktu wartawan datang. Terangi semua dusun, nyalakan semua mimpi. Biar gak ada lagi warga Muba yang bilang, “Pak, kapan giliran kampung kami nyala?”. Dan kalau PLN tetap baik hati, serta Pemkab Muba terus gesit dan gak lapar pujian, yakinlah satu per satu colokan akan menemukan cintanya.
Sekali semoga proses pengalihan ini terus berjalan lancar. Dan semoga PLN tidak hanya datang nyala, tapi tetap menyala. Karena harapan yang sudah menyala, jangan sampai padam lagi. Jangan sampai listriknya balik pakai sistem tebak-tebakan “Nyala gak ya hari ini?”. Selamat juga buat PLN, terima kasih sudah baik hati. Terima kasih sudah jadi jodoh yang mau diajak serius. Karena hidup tanpa listrik itu berat. Tapi hidup dengan listrik yang stabil? Wah, itu baru cinta sejati.