Sumselterkini.co.id,- Di sebuah hari yang tak terlalu panas dan tak juga terlalu sejuk—pokoknya suhu hati pas untuk bersilaturahmi—Gedung Dharma Wanita di Sekayu mendadak seperti rumah gadang. Ada aroma rendang, senyum-senyum ikhlas, dan sambutan yang lebih hangat dari teh talua. Itulah suasana Silaturahmi dan Halal Bihalal Ikatan Keluarga Minang (IKM) Sekayu, belum lama ini, yang menyulap Sekayu jadi sepotong Sumatera Barat.
Bahan jika Gedung Dharma Wanita di Sekayu bisa ngomong, mungkin dia akan bilang, “Woi, rame nian hari ini, kek pasar durian!” Soalnya, rumah gadang mendadak lengkap dengan canda, tawa, rendang, dan segepok rindu kampung halaman.
Acara Halal Bihalal IKM bukan sembarang kumpul-kumpul. Ini bukan arisan biasa yang isinya cuma rebutan kotak snack dan nyinyir tipis-tipis soal harga beras. Isinya ngumpulin warga Minang dari segala penjuru Sekayu sampai Muba, disatukan dengan tema sakral “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Panjang, tapi mantap. Lebih sakti dari caption Instagram anak senja.
Uniknya, yang datang bukan cuma urang awak. Acara ini kayak nasi padang, lengkap lauknya ada orang Batak, Bugis, Jawa, Sunda, sampai Tionghoa. Pokoknya lengkap, tinggal nambah emping. Forum lintas etnis kayak gini jarang terjadi kecuali pas rebutan promo ayam goreng.
Sekayu hari itu bukan lagi sekadar ibu kota kabupaten. Ia menjelma jadi lapau raksasa tempat di mana politik, adat, seni, dan hiburan bersanding kayak rendang sama ketupat: beda bentuk, tapi nikmatnya satu hati.
Bupati M. Toha dan Wabup Rohman juga hadir, dan langsung disambut hangat, bukan karena bawa amplop ya, tapi karena memang warga Minang ini orangnya ramah, suka memuliakan tamu. “Kami bangga dengan semangat gotong royong urang awak,” kata Pak Bupati sambil senyum, suasana jadi adem, mirip AC tapi tanpa tagihan listrik.
Katanya, warga Minang ini cocok jadi mitra strategis. Cocok, Pak! Tapi ingat, mitra strategis ini bukan sekadar nonton peresmian jalan dan selfie di flyover. Mereka siap kerja, kasih masukan, bahkan kritik kalau perlu tentu dengan bahasa sopan, bukan model netizen kalap di kolom komentar.
Ada juga penampilan dari Chintyia Kim dan Mak Itam, yang suaranya mengalun sampai hati. Kalau lagu-lagu mereka disandingkan dengan nasi kapau, mungkin lidah pun bisa joget. Ketawa ngakak, tepuk tangan, dan goyang malu-malu jadi menu wajib di acara ini. Ini bukan sekadar hiburan, ini semacam terapi kejiwaan gratis pasca lebaran dan sebelum gajian turun.
Ketua Pelaksana, Pak Komarindang (yang namanya cocok jadi judul lagu Minang), menyampaikan dengan mantap bahwa acara ini bukan cuma kumpul nostalgia. Ini penguat ukhuwah, pengingat identitas, dan pecut semangat biar warga Minang tak sekadar jadi penonton pembangunan, tapi ikut masuk gelanggang.
Bayangin aja, kalau tiap rapat pembangunan diawali makan rendang dan pantun adat, mungkin para pejabat bisa debat dengan santun. Nggak perlu lempar-lempar kursi, cukup lempar pantun. “Kalau ke Sekayu jangan lupa bawa kelapa, kalau pemda lelah, mari kita gotong royong bersama.”
Hayo, adem kan? Lebih nyess daripada balsem cabe.
Kalau rakyat dan pemda bisa akur, pembangunan bisa maju. Tapi kalau tiap acara cuma jadi ajang selfie dan pamer seragam, jangan salahkan kalau jalanan masih berlubang dan sinyal 4G-nya lebih galau dari mantan yang belum move on.
Dari Silaturahmi Halal Bihalal IKM Sekayu ini kita belajar satu hal penting: membangun daerah itu bukan tugas satu dua orang pakai dasi, tapi kerja rame-rame kayak masak rendang harus sabar, diaduk terus, dan jangan ada yang sok jagoan sendirian. Kalau terlalu cepat apinya, gosong. Kalau nggak diaduk, lengket. Kalau bumbunya pelit, rasanya hambar.
Warga Minang di Muba sudah memberi contoh walau di rantau, adat tetap dirawat, silaturahmi dijaga, dan yang paling penting, pemerintah tetap diawasi dengan santun bukan dengan demo pakai spanduk typo, tapi lewat masukan dan teguran yang membangun, ala mamak-mamak di dapur yang cerewet tapi sayang.
Acara seperti pengingat bahwa keharmonisan bukan mitos, dan keberagaman bukan kutukan. Ketika semua etnis bisa duduk satu meja, saling sapa, saling suap rendang, maka pembangunan itu tinggal selangkah lagi asal jangan cuma rame pas acara, sepi pas kerja.
Bak pepatah bilang. “Di mana bumi dipijak, di situ rendang dimasak.”. Urang Minang di Muba sudah memberi contoh. Mereka tidak hanya hadir sebagai warga, tapi juga sebagai pewarna kehidupan sosial, penjaga adat, dan pelipur suasana. Mereka tidak menggurui, tapi menginspirasi. Tidak hanya berpantun, tapi juga berkontribusi.[***]