Lingkungan

Karhutla Mengintai Palembang, Ratu Dewa Tegaskan Posko & Patroli Siaga 24 Jam

ist

DARI lantai 8 Kantor Wali Kota Palembang, suasananya seperti ruang kendali satelit NASA yang diawasi bukan cuaca di Mars, melainkan bara api yang ngintip-intip dari balik semak belukar.

Hari  Senin (28/7/2025), Wali Kota Palembang Ratu Dewa tak sedang selfie dengan latar langit kota, melainkan serius ikut rapat nasional tentang kebakaran hutan dan lahan alias karhutla, via Zoom Meeting yang suasananya bisa bikin keringetan meski AC 20 derajat.

Acara ini digagas Kementerian Kehutanan, dihadiri Menteri Raja Juli Antoni, para pejabat level dewa dari BNPB, BMKG, hingga kepala daerah se-Indonesia.

Dari Sumatera sampai Kalimantan, semua hadir online, tentu dengan gaya khas Zoom wajah mendung, sinyal hilang timbul, dan mikrofon lupa dimute saat anak minta susu.

Satu per satu kepala daerah tampil kayak peserta open mic, menyampaikan laporan karhutla di wilayah masing-masing, termasuk dari Palembang, Ratu Dewa melaporkan pihaknya sudah siaga penuh, posko aktif, patroli rutin, dan instruksi ke Camat-Lurah untuk mengawasi daerah gambut yang rawan terbakar.

“Palembang punya titik rawan karhutla, kami minta lurah dan camat jadi mata dan telinga pemerintah, dan tentu saja, kami gandeng warga, TNI, Polri, BPBD, serta Manggala Agni,” ujar Ratu Dewa. Teknologi Satelit canggih, tapi tak menyiram api sendiri.

Menteri Kehutanan pun menyampaikan dengan khidmat pentingnya deteksi dini lewat satelit pemantau titik panas alias hotspot, yang bisa mendeteksi api lebih cepat dari notifikasi WA grup RT.

Teknologi ini memang keren, masalahnya, belum tentu yang terdeteksi langsung ditangani, karena antara tahu api dan mampu menyiram, jaraknya sering selebar jurang gaji honorer dan DPR.

Di sinilah letak titik gatal yang tidak digaruk, semua bicara pencegahan, kolaborasi, teknologi, koordinasi lintas sektor. Tapi satu kata yang paling dibutuhkan malah tidak nongol sanksi.

Ya, sanksi, itu lho, tindakan tegas buat pelaku pembakar lahan, sayangnya, dalam rapat yang durasinya bisa bikin punggung pegal, tak satu pun membahas hukuman buat pelaku. Mereka kayak hantu yang semua orang tahu ada, tapi pura-pura tak kelihatan.

Padahal kita semua tahu, akar dari karhutla bukan cuma kemarau panjang, tapi juga ulah tangan manusia yang sengaja membakar lahan.

Entah demi buka kebun baru, atau karena malas bersihin lahan pakai cara legal, ibarat pepatah api takkan menyala kalau tak ada korek dan niat jahat.

Jika rapat hanya jadi ajang presentasi dan saling menyemangati, tanpa disertai gebrakan nyata untuk menindak pelaku, maka jangan heran jika tahun depan kita menghirup asap lagi. Bahkan, bukan tak mungkin nanti muncul slogan baru “Indonesia, negeri seribu asap”

Sudah waktunya hukum berdiri gagah, bukan sekadar jadi catatan di kertas. Kalau perlu, buat aturan yang menyengat seperti asap karhutla itu sendiri, biar pelaku tak lagi bisa tidur nyenyak di balik kebun sawit.

Kita semua sepakat, mencegah lebih baik daripada mengobati, tapi kalau mencegah hanya pakai spanduk dan imbauan, tanpa efek jera, ya api tetap membara di belakang rumah. Karhutla bukan nasib, tapi kelalaian yang dibiarkan.

Jangan biarkan musim kemarau jadi musim derita, jangan jadikan Zoom Meeting jadi ajang formalitas,  pastikan hutan tetap hijau, langit tetap biru, dan anak-anak kita bisa napas tanpa saringan, seperti kata pepatah “Jangan biarkan api kecil jadi kebakaran besar, hanya karena kita takut menegur si pembakar”.[***]

Terpopuler

To Top